Zian Ali Faradis
Putih dan hitamnya seperti senja yang tahu caranya indah tanpa berlebihan. Kendati Ia hanya duduk diam, tapi pesonanya berjalan jauh.
Azaira Mahrin
kalau kamu lelah, biarkan aku jadi jedanya.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Ketika lima macam Love Language kamu tertuju pada satu orang, sedangkan sudah ada satu nama lain yang ditetapkan, maka pada yang mana kamu akan menentukan pilihan.
Dira: pilih saja yang diinginkan.
Yumna: pilih yang sesuai dengan hati.
Aira; gak usah memilih, karena sudah ada
Yang memilihkan.
Kita mungkin bisa memilih untuk menikah dengan siapa. Tapi, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa.
Ada yang menganggap cinta pilar yang penting dalam pernikahan. Tapi, ada pula yang memutuskan bahwa untuk memilih pasangan, cinta bukan satu-satunya alasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Pembicaraan yang sempat menguras emosi di antara tiga gadis berhijab itu berakhir di sini. Di rumah sakit Mutiara Bunda. Mereka pindah posisi dengan bantuan roda empat yang dikemudikan Aga dengan cepat.
Apa maksudnya mereka memilih rumah sakit sebagai tempat pembicaraan part 2, tentang rasa, dan tentang Zian dengan segala kontroversinya?
Tidak.
Bukan itu.
Tentang pembicaraan tersebut, tidak ada lagi part 2, apalagi part 3. Sudah cukup.
Tentang rasa, dan tentang Zian tidak perlu lagi dibahas, yang penting masing-masing pribadi sudah paham apa yang akan dilakukan sekarang terkait itu semua. Selain itu mereka yakin akan kinerja Sang penentu nasib, yang sudah menggariskan akan kemana, dan bagaimana.
Aira, Yumna, dan Dira bergegas ke rumah sakit, karena mendapat kabar bahwa semalam ustadz Raizan dan istrinya mengalami kecelakaan sepulangnya dari Darul-Fata. Dan mereka sedang dirawat di rumah sakit Mutiara Bunda.
"Kak ponselmu berisik, dari tadi malah." Yumna menatap Aira yang mengotak-atik ponselnya, dan meletakkan kembali dalam tas.
"Siapa yang telpon?" tanya Yumna.
"Prima."
"Mau ngapain dia telepon kak Aira?" Yumna menampilkan raut wajah tidak senang.
"Katanya ada hal yang ingin dibicarakan."
"Pasti modus aja dia," tukas Yumna, yang tak mendapat tanggapan apa-apa dari Aira.
"Gimana ustadz Raizan? Kalian udah boleh masuk ruang perawatannya gak?" Dira datang tergesa membawa dua paper bag, dan langsung duduk di antara keduanya.
"Ini lagi, modus aja. Bilang mau beli minuman sebentar, setahun baru nongol. Pasti nyambi jalan-jalan sama Aga." Yumna langsung mendamprat sahabatnya itu.
"Eh." Dira sesaat kaget mendapat sambutan 'rangkaian bunga' dari Yumna.
Tapi saat berikutnya dia merotasi pandangan pada Aira. "Dia kesurupan apa, Kak?"
"Penunggu tiang rumah sakit," sahut Aira asal.
Dira tergelak dan menyerahkan minuman yang dibeli untuk masing-masing sahabatnya itu.
Yumna bersemangat menenggak minuman dingin kemasan kaleng tersebut, sampai habis.
"Haus banget, Bu," sindir Dira.
"Untuk marah, dan kesal itu butuh energi ekstra, jadinya aku haus banget," kata Yumna.
"Emang kamu marah dan kesal sama siapa?" tanya Dira.
"Kami udah dari ruangan beliau barusan, tapi sebentar doang, banyak yang antri mau jenguk. Ustadz Raizan gak mengalami banyak luka, hanya sedikit dislokasi di bagian lengan kiri. Kalau Ning Raya, emang gak luka. Tapi janin beliau yang baru usia 3 bulan gak bisa diselamatkan. Itu yang bikin aku kesal," urai Yumna, dan memang raut wajahnya menampakkan rasa kesal itu.
"Innalillahi." Dira terlihat sangat menyayangkan. "Tapi Yum, Ning Raya kena musibah gitu, kok kamu malah kesal?"
"Bukan ke ning Raya, atau ke ustad Raizan. Tadi supir ustad Raizan cerita kalau kecelakaan itu terjadi karena ada mobil yang kayaknya sengaja menyerempet mobil mereka. Kesal kan, ada ya orang jahat gak bertanggung jawab kayak gitu. Ustadz Raizan itu orang baik. Kok malah mau dicelakai."
Sekarang alasan kesalnya Yumna bisa dibenarkan, bahkan mendengar hal itu Dira juga merasa kesal. Begitu juga dengan Aira, meski gadis itu hanya diam, dan tak menampakkan ekspresi yang bisa dipaham.
Dalam hening sesaat itu terusik oleh suara notifikasi dari ponsel Aira. Sebuah pesan masuk dari Prima.
Kamu bilang hari ini mau angkat telepon saya, Aira. Kenapa diabaikan saja dari tadi?
Maaf saya lagi ada di rumah sakit.
Di rumah sakit? Siapa yang sakit?
Jenguk ustadz Raizan, semalam mengalami kecelakaan.
Ooh.
Usai tanggapan singkat dari Prima, Aira meletakkan ponselnya kembali. Namun urung saat satu notifikasi terdengar lagi.
Chat dari Prima lagi.
Saya pikir orang sholih yang dekat dengan Allah, dan pantas jadi calon suami idaman seperti ustadz Raizan gak bisa celaka ya, ternyata bisa juga.
Aira tersentak membaca chat itu. Segera ia balas.
Apa maksud kamu.
Tidak ada jawaban dari Prima meski chatnya sudah dibaca. Gadis itu bangkit dan melangkah menjauh.
"Kak mau kemana?" tanya Dira.
"Mau telepon sebentar."
Aira menelpon Prima setelah berada cukup jauh dari Dira, dan Yumna.
"Apa maksud kamu di chat barusan, Prima?" Terlupa mengucap salam, saat teleponnya diangkat, gadis itu langsung bertanya demikian.
"Gak ada maksud apa-apa." Terdengar suara tawa ringan. Tawa kemenangan tepatnya dari Prima. "Akhirnya, kalimat saya berhasil bikin kamu telepon duluan ya."
Nah benar. Prima modus.
Namun, Aira punya alasan kuat yang lebih dari hanya sekedar penasaran ketika memutuskan untuk menelepon lelaki itu duluan.
"Dengan siapa kamu ke rumah sakit, Aira? Dengan Zian?"
"Tidak." Aira hanya menjawab singkat.
"Aira kamu masih penasaran dengan hadiah ultah yang saya maksud semalam?"
"Iya."
"Saya jelaskan sekarang. Kamu siap mendengarnya kan?"
Aira tak menjawab, hanya memperdengarkan hembusan napas.
"Azaira Mahrin??"
"Katakan saja langsung Prima. Saya tidak ingin ada budi orang lain pada saya, yang tidak saya balas meski hanya dengan ucapan terima kasih. Saya pernah bilang kan, orang yang gak bisa berterima kasih pada sesamanya, tanda dia gak mampu bersyukur pada tuhannya."
"Nah ini dia yang saya suka dari kamu, Aira. Jiwa religius kamu yang bikin saya makin sayang dan cinta sama kamu."
"Katakan sekarang, atau saya tutup teleponnya." Aira sedikit mengancam.
"Baik. Kamu lagi sendirian sekarang kan, saya tidak ingin ada orang lain yang mendengar penjelasan dari saya."
"Saya sendirian. Katakan saja langsung."
***********
Dira, dan Yumna masih tetap duduk di kursi besi berderet yang ada di koridor ruangan rawat inap Lotus 2, saat Aira datang dengan langkah bergegas. Gadis itu mengambil tasnya seraya berkata, "Aku pergi duluan ya."
"Mau kemana, Kak?" tanya Yumna.
"Mau ketemu sama Prima."
Jawaban Aira sontak membuat Yumna, dan Dira terpana, lalu sama-sama mengudarakan tanya dengan kata yang sama. "Mau ngapain?"
"Ada hal yang harus kami bicarakan."
"Harus dengan ketemu?" Yumna terlihat tidak suka.
"Iya. Ini penting. Gak bisa hanya diomongin di telepon."
"Kak Aira yakin mau ketemu dia? Mau ketemu Prima?" cecar Yumna.
Aira mengangguk singkat.
"Aku temenin." Yumna bangkit dari duduknya.
"Gak usah," tolak Aira cepat.
"Aku sendiri saja, kalian tetap di sini."
Dan tanpa menunggu jawaban Yumna dan Dira, Aira segera melangkah pergi dengan langkah pasti.
"Ekspresi kak Aira kayak tegang gitu, ada apa sih?" Dira mengutas rasa penasaran yang bersemayam dalam dada.
"Gak tau." Yumna juga bukan tak merasakan hal yang sama. "Ini gak biasanya. Kok aku ngerasa gak enak ya," lirih Yumna sambil kembali duduk perlahan.
"Apa kita susul saja, Yum?" usul Dira.
Yumna menggeleng.
"Kalau ketahuan kak Aira akan tersinggung. Setidaknya aku masih percaya kalau Prima gak akan nyakitin kak Aira. Dia memuja kak Aira dari dulu. Masa iya dia mau nyakitin wanita yang dicintainya."
Sebenarnya ucapan Yumna itu hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri. Karena yang sesungguhnya dia tidak percaya dengan Prima yang menurutnya penuh dengan drama.