Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Energi Negatif
"Nggak, sama yang lain!"
Itu jawaban Bram waktu Mala tanya apa Bram menginap di rumah kekasihnya.
"Hah?? Gilaakk!! Mala berujar.
"Sinting, iya memang aku sinting. Ini karena kamu menolakku, Mala!"
"Hah? Okey, singkirkan rasa frustrasimu untukku, yang aku tak habis pikir ... kamu bilang nggak sama kekasihmu semalam, tapi sama yang lain?"
"Iya, dia ada suaminya. Aku nggak bisa ganggu."
Mala terbelalak. "Hubungan.macam apa itu Bram, kamu nggak cemburu?"
"Enggak, kami sadar kok.. punya pasangan masing-masing."
Enteng sekali Bram membahas hal ini dengan Mala. Tanpa rasa bersalah atau khawatir Mala marah.
"Jadi, kalau bukan dengan ...?"
"Nana.."
"Jadi nama pacarmu Nana?"
"Iya, mantan SMA."
"Owh, jadi kalau bukan dengan Nana, lalu semalam dengan siapa?"
"Gampang, ada banyak yang mau sama aku! Kecuali kamu tentunya!" Bram mendengus menyindir Mala dengan lirikan tajam.
Mala sudah tak heran sifat Bram yang menyalahkan orang lain. Yang dia heran kenapa pacar Bram—si Nana itu—membiarkan hal ini terjadi. Tidak cemburu Bram bersama wanita lain lagi sedangkan dengan Mala kebencian itu bisa Mala rasakan sampai menembus sumsum tulang belakangnya.
"Jadi Nana-mu itu sedang sama suaminya, kamu sama yang lain lagi, dan kalian nggak saling cemburu, begitu?"
"Iya," jawab Bram malas.
"Lalu kenapa kalau aku dicemburuin? Nana cemburu kalau kamu lagi sama aku, padahal aku istri sah kamu ... Sedangkan kamu cemburu kalau aku didekati laki-laki lain, walaupun sekadar menyapa."
"Kalau kamu nggak boleh, Mala!" bentak Bram jengkel.
Bagi Bram pagi ini istrinya terlalu cerewet, padahal dia lelah.
"Sudah ya, aku mau tidur. Nggak usah tanya-tanya lagi juga kamu selalu tahu apa yang aku kerjakan."
Bram melangkah menuju kamar. Mala menggelengkan kepala heran. Lebih tepatnya menyerah dengan sikap Bram yang makin tak tahu diri.
Memangnya dia pikir, tindakannya itu ringan? Tidak menyakitkan? Kalau punya pacar saja sudah salah apalagi ini terang-terangan mengaku ada wanita yang lain lagi. Entah terbuat dari aoa otak Bram itu, pikir Mala heran.
Bram muncul lagi membawa pakaian kotor.
"Nih, lihat? Ada noda lipstik di baju."
Bram menunjukkan noda di bajunya lagi-lagi tanpa perasaan kikuk, canggung di hadapan istrinya.
"Masukkan saja ke mesin cuci, nanti aku yang cuci!"
"Tuh kan, kalau istri lain mana mungkin setenang itu. Normalnya marah, nangis!"
"Eh, kamu mau aku nangis?"
"Nggak mungkin kan??"
"Mana kamu tahu aku nangis atau enggak?"
"Akh, nggak mungkin.. kamu kan misterius Mala!"
Apa iya ya, aku se-tidak peduli itu ... sampai Bram justru ingin aku cemburu.
Dulu, awal-awal Bram selingkuh. Aku pun menangis. Dada terasa sesak, dan banyak malam-malam aku bersujud penuh tangisan. Tentu saja, Bram tak perlu tahu hal ini. Dirinya bisa besar kepala.
Begitukah yang Bram mau, melihatku meratap menangisinya? Dulu aku memang bodoh meradakan begitu sakit yang dalam sampai sulit bernapas, lama-lama terbiasa.
Setelah kebangkitan era diriku sepulang dari rumah sakit. Sama sekali tak kurasakan lagi perasaan tercekik mengetahui perselingkuhan yang Bram lakukan.
Mala bertanya-tanya dalam hatinya, apa ini akibat darah seseorang yang mengaliri tubuhnya atau ...
mati rasa berhasil membawanya keluar dari pederitaan. Mala telah mengeluarkan derita itu sampai jiwanya kosong.
Kini memandang Bram bukan sebagai milik, sadar bahwa semua makhluk milik Tuhannya.
Mala tak bisa bertanggung jawab dengan perbuatan orang lain kepada dirinya, tetapi Mala dapat mengendalikan respons atas perbuatan dirinya pada orang lain.
***
Sore hari, Bram masih mendengkur keras. Mia merengek karena Bram tak kunjung bangun. Mala sudah memperingatkan berkali-kali pada Bram untuk tak asal berjanji. Semua orang bisa repot kala Mia ngambek.
Akhirnya demi Mia, Mala bersedia membangunkan Bram. Berjaan mengendap-endap dalam ruang kamar. Mala sendiri heran, apa tujuannya begitu.. bukankah bagus kalau Bram jadi terganggu suara berisik dan bangkit dari kasur.
Mala mendekati Bram. Mengguncang bahu Bram pelan. Memang susah membangunkan Bram yang terlalu larut dakam tidurnya. Mala.jadi membayangkan, kelelahan luar bisa macam apa sehingga Bram terkapar begini.
"Pah, Pah...! Bangun, Pah! Mia menunggu."
Bisik Mala di telinga Bram.Bram merespons, mengintip dengan mata mengantuk, akan sosok yang membisik telinganya. Ketika jelas dan yakin orang itu Mala. Bram seperti mendapat durian runtuh, tak mau melepas.kesempatan tersebut, Bram dengan kekuatan penuh merangkul dan menggulung Mala di atas ranjang.
Mala memekik. Percuma juga berteriak, pikir Mala. Sebab tak elok jika anak-anak menghampiri dan melihat pemandangan orang tua yang bergumul di antara selimut dan sprei yang acak-acakan. Bisa menimbulkan salah paham.
"Oh, tidak!" Mala mendorong tubuh Bram.
Bram terkekeh. Senang bisa mengerjai Mala.
"Papah dipanggil Mia, katanya udah janji jalan-jalan sore, ngambek tuh!" ucap Mala cepat. Kedua tangan masih kuat dipegang Bram.
Bram masih berusaha merangkul pinggang Mala yang ramping. Tentunya sangat mudah bagi Bram untuk merengkuhnya. Satu tarikan bisa membuat Mala terperangkap dalam pelukan Bram.
Rupanya dari Bram sendiri hanya ingin menggoda Mala.
Tertawa dan menggelitiki area pinggang Mala tanpa ampun.
"Sudah, sudah.. aku menyerah!" Mala kehabisan napas.
"Kasih aku apa?" Bram menggoda. Dibarengi dengan isi hati Mala yang berteriak...
What? What? What?
Bisa-bisanya si Bram ini, sudah semalam sama orang lain masih ...
"Emang belum cukup semalam?" tanya Mala
kesal.
"Ya, kan beda kalau sama kamu!" kekeh Bram. Memuakkan bagi Mala. Namun, harus tahan tak mau menghancurkan tujuan membangunkan Bram demi Mia.
Terbesit ide untuk lolos dari cengkeraman Bram.
"Aku nggak bisa deket-deket kamu, Pah. Energi aku bisa terserap ke hal negatif!"
"Kenapa bisa?"
"Bagi orang seperti aku, penyatuan itu tidak bisa sembarangan. Harus bersama seseorang yang direstui semesta. Karena energi kamu baru semalam menyerap energi wanita lain, tentu saja semesta tak merestui aku bersamamu."
"Tapi aku suamimu!"
"Iya, tapi kamu membahayakan bagi energi jiwaku."
"Bagaimana bisa?"
"Ya, kamu kan baru menyerap energi negatif semalam!"
"Bagaimana kalau itu positif?"
"Mana mungkin positif, berzina saja sudah negatif!"
Bram terdiam. Ada semacam benturan baik dan buruk yang terolah dalam pikirannya.
"Omong kosong!" ujar Bram akhirnya.
Bram terlihat kesal. Cengkeraman terlepas dan Bram bangkit dari kasur. Mala lega, setidaknya alasan yang tak masuk akal itu berhasil membuatnya lolos dari Bram kali ini.
"Cepat mandi, tepati janji dengan Mia!" perintah Mala pada Bram yang tengah merentangkan tangan sambil menguap.
Lalu secepatnya Mala kabur dari hadapan Bram.
Terima kasih Ayah, informasi mengenai energi spiritual bisa kugunakan untuk menghindari Bram. Mala membatin dan tersenyum puas.