Apa yang akan kalian lakukan jika tiba-tiba kalian terbagun di tubuh orang lain. Apa lagi tubuh seorang idola terkenal dan kaya raya.
Itulah yang sedang di rasakan Anya. Namun, ia bangun di tubuh Arka, seorang Leader boyband Rhapsody. Ia mendadak harus bersikap seperti seorang idola, tuntutan kerja yang berbeda.
Ia harus berjuang menghadapi sorotan media, penggemar yang fanatik, dan jadwal yang padat, sembari mencari cara untuk kembali ke tubuhnya sendiri sebelum rahasia ini terbongkar dan hidupnya hancur.
Mampukah Anya bertahan dalam peran yang tak pernah ia impikan, dan akankah ia menemukan jalan pulang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUJIYAKAR 34
"Arka? Sekarang?" bisiknya lirih.
Dengan susah payah, ia mencoba bangkit dari sofa, kepalanya berdenyut hebat.
"Halo?" sapanya ragu saat panggilan tersambung.
"Anya, bisa kau temui aku di taman penthouse sekarang?" Suara Arka terdengar datar, tanpa emosi.
"Taman penthouse? Tapi ...." Anya menggantung kalimatnya, mencari alasan yang masuk akal. "Aku sedang tidak enak badan. Apa tidak bisa besok saja?"
"Tidak, ini penting. Aku tunggu," jawab Arka singkat, lalu memutuskan panggilan.
Anya menatap nanar ponselnya. Penthouse? Penting? Apa yang sebenarnya terjadi? Perasaan tidak enak semakin kuat menghantuinya. Ia melirik ke arah Lex dan Jasper yang masih terlelap di sofa, tak menyadari apa pun.
Dengan langkah gontai, Anya berjalan menuju kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa sedikit menjernihkan pikirannya.
Bayangan dirinya yang mabuk dan meraba dada Jakson kembali berputar di benaknya. Rasa malu dan bersalah semakin menghimpit dadanya.
'Aku harus bagaimana?' batinnya kalut.
Ia tahu, Arka tidak akan memintanya bertemu jika tidak ada hal yang sangat penting. Dan firasatnya mengatakan, ini bukan hal yang baik.
Dengan tekad yang dipaksakan, Anya melangkah keluar dari kamar mandi. Ia harus menemui Arka, apa pun yang terjadi. Ia harus menghadapi konsekuensi dari perbuatannya.
"Bagaimana kalau Arka menyadari aku mabuk ya bisa mampus aku," bisiknya lirih, sebelum melangkah keluar dari apartemen.
Udara malam yang dingin menyambutnya, seolah ikut merasakan kegelisahan yang tengah melandanya.
Langkah Anya terasa berat saat menaiki lift menuju penthouse.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk hatinya. Pintu lift terbuka, menampilkan taman penthouse yang temaram diterangi lampu-lampu taman.
Arka berdiri membelakanginya di dekat air mancur, siluet tubuhnya tampak tegang.
Anya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum mendekat.
"Arka?" panggil Anya pelan.
Arka berbalik, tatapannya dingin dan menusuk. Anya terkejut melihat ekspresi wajah Arka yang biasanya lembut kini terlihat datar tanpa ekspresi.
"Kau kenapa? Benaran kau sakit?" tanya Arka tanpa basa-basi, suaranya datar namun terlihat khawatir.
Anya terdiam, lidahnya kelu. Ia tahu, ia tidak bisa berbohong pada Arka. Ia harus mengakui semuanya.
"Aku ... aku minta maaf," ucap Anya akhirnya, suaranya bergetar. "Aku tahu aku salah. Aku tidak seharusnya minum sebanyak itu dan ... dan ..."
"Dan apa?" desak Arka, matanya menuntut kejujuran.
Anya menunduk, tidak berani menatap mata Arka. "Dan aku ... aku melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan dengan Jakson," lirihnya.
Hening.
Anya tidak berani mengangkat kepalanya, menunggu reaksi Arka. Ia bisa merasakan amarah Arka yang menguar di udara.
Tiba-tiba, Arka tertawa. "Jadi begitu? Kau bilang sakit dan tidak mau ketemu aku karena kau sedang minum-minum dengan mereka, ya?"
Anya seketika membelalak. Ia tak mengira Arka justru akan tertawa. Padahal ia sudah merasa ketakutan setengah mati.
"Tapi tunggu, apa yang kau lakukan dengan Jakson? Kau tidak melakukan hal-hal yang aneh-aneh kan? Aku tahu kau mengagumi Jakson, tapi ingat dong, itu kan tubuhku, jangan cari-cari kesempatan dong," ujar Arka.
Anya mengangkat kedua tangannya, menyangkal. "Mana mungkin. Aku tadi tidak sengaja, kok. Beneran ..."
Arka lalu duduk di kursi panjang dekat air mancur. Ia menepuk sisi tempat duduknya.
Anya perlahan mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Lain kali, jangan membiasakan minum-minuman seperti itu. Aku tidak pernah melakukan itu, nanti mereka bisa bingung."
Anya mengangguk. Ia tertunduk merasa bersalah.
Arka lalu menceritakan semua kejadian hari ini. Tentu hal itu membuat Anya terharu dan menangis.
"Jangan nangis dong. Nanti dikira aku putusin kamu lagi," ujar Arka.
Anya segera mengusap air matanya. "Terima kasih banyak, Arka. Aku tidak tahu lagi bagaimana membalas semuanya."
"Aku tidak minta apa-apa, hanya saja aku mau untuk beberapa saat sebelum kita kembali ke tubuh masing-masing. Aku ingin bebas berada di tubuhmu, melakukan hal yang selama ini belum pernah aku lakukan," ucapnya.
Seketika Anya terkejut. "Memangnya apa yang ingin kau lakukan dengan menggunakan tubuhku? Jangan macam-macam, ya!"
Arka menjitak kening Anya. "Tenang saja. Aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh, kok."
Mereka terlihat asyik menikmati malam itu seperti tanpa beban. Langit penuh bintang menambah rasa senang di hati mereka berdua.
Namun, saat Anya melihat ke arah samping dekat tembok penghalang, ia seperti melihat siluet seseorang yang bergegas pergi.