⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Siapa Dia?
Rafael melangkah santai masuk ke dalam kelas. Sesekali ia bersiul kecil sambil menyunggingkan senyum tipis—ia tahu pasti berita kematian Rio sudah tersebar luas.
Begitu masuk, pandangannya langsung tertuju pada Erlan dan kedua temannya yang tampak pucat. Sementara itu, seluruh isi kelas sibuk memperbincangkan kabar duka tersebut.
Tanpa rasa terburu-buru, Rafael duduk di bangkunya. Ia kemudian menoleh ke arah siswi berambut pendek di sampingnya, tersenyum ramah.
"Hai, Reka," sapanya lebar. XIni ada apa, ya? Kok kelas kelihatan tegang banget?" tanyanya dengan nada pura-pura polos.
Gadis itu, Maureka—yang akrab disapa Eka—menatapnya heran.
"Kamu belum tahu tentang Rio?"
"Belum. Memang… dia sudah ketemu?" tanya Rafael dengan alis terangkat.
Eka menggeleng pelan, lalu menghela napas panjang. Wajahnya tampak putus asa.
"Rio dikabarkan meninggal. Mayatnya ditemukan di depan pagar rumahnya," jelas Eka lirih, berusaha menahan kesedihan.
"Apa? Serius?" seru Rafael dengan suara cukup keras. Ekspresinya dibuat dramatis—matanya terbelalak dan tangannya menutup mulut, seakan benar-benar tak percaya.
Ia memang sengaja melebih-lebihkan reaksinya, agar tak ada seorang pun yang menaruh curiga kalau semua ini sebenarnya ulahnya.
Sontak, seluruh kelas menoleh ke arahnya. Eka buru-buru mencubit lengannya pelan.
"Kamu Kenapa sih? bikin kaget aja. Enggak lihat apa di belakang ada Erlan, Sandi, sama Arnaldo? Kalau mereka enggak suka, bisa habis kamu di tangan mereka," bisiknya memberi peringatan.
Baru saja Eka selesai bicara, Erlan sudah melangkah menghampiri. Tanpa aba-aba, ia langsung menarik kerah baju Rafael dengan kasar. Matanya melotot, dipenuhi amarah yang nyaris tak terbendung.
"Aku yakin kamu senang kan atas kematian Rio!” bentak Erlan dengan nada tinggi, wajahnya merah menahan emosi.
"Bukan begitu, a… aku cuma syok," Rafael berbohong, memasang ekspresi ketakutan.
"Jangan bohong! Aku yakin kau memang brengsek!"
Bugg!
Satu pukulan telak mendarat di perut Rafael. Tubuhnya terhuyung, tangannya spontan menahan rasa sakit di perut.
"Erlan, cukup!" teriak Eka sambil berdiri cepat, mendorong Erlan menjauh dari Rafael. "Apa-apaan sih kamu! Rafael cuma syok, kenapa sih setiap masalah kecil selalu kamu perbesar?!"
Eka menatap Erlan dengan wajah emosi. Matanya berkaca-kaca, bukan hanya karena marah, tapi juga karena sedih dengan suasana kelas yang semakin kacau.
"Kita lagi kehilangan teman, Lan! Rio itu sahabat kamu sendiri. Harusnya kamu bisa tenang, bukannya bikin suasana tambah rusak kayak gini!" suara Eka meninggi, membuat seluruh kelas terdiam memperhatikan.
Erlan mengepalkan tangannya kuat-kuat, napasnya memburu. Namun tatapan tegas Eka membuatnya menahan diri.
"Kalau kamu masih anggap Rio itu teman, berhenti marah-marah seenaknya! Dia enggak bakal tenang kalau lihat kita malah saling ribut di sini!" tambah Eka, suaranya bergetar, penuh emosi.
Suasana kelas hening. Beberapa siswa menunduk, ada yang meneteskan air mata. Erlan terdiam, rahangnya mengeras, tapi tak sanggup membalas kata-kata Eka.
Rafael, yang masih meringis sambil memegang perutnya, melirik sekilas ke arah Eka. Senyum tipis nyaris tak terlihat muncul di wajahnya—senyum licik yang hanya ia sendiri yang tahu artinya.
Di sisi lain, di sebuah ruangan mewah dan megah, aku duduk santai di kursi kulit, kaki bersilang di atas meja kantor. Tanganku sibuk menggulir layar ponsel, menjelajahi media sosial.
Kabar kematian Rio Febrian Feat kini sedang mengguncang jagat maya. Foto tubuhnya yang ditemukan di depan gerbang rumah keluarga Feat tersebar luas, meski polisi berusaha menutupinya. Netizen gempar. Kolom komentar penuh spekulasi dan simpati.
"Anak kepala polisi ditemukan tewas. Siapa pelakunya?"
"Tapi ini terlalu kejam… kasihan banget keluarga korban."
Media sosial berubah jadi arena opini liar. Ada yang bersimpati, tapi tak sedikit yang mengungkit masa lalu Rio yang penuh kontroversi.
Sementara itu, Komisaris J. Seno Feat berdiri di depan kamera dalam konferensi pers. Wajahnya tegang, sorot matanya penuh dendam.
"Saya akan cari pelakunya. Sampai ketemu. Tidak peduli siapa dia. Tidak ada yang bisa menyentuh keluarga saya dan lolos begitu saja."
Aku tertawa pelan, puas melihat wajah-wajah panik dan kasihan dari Pak J yang kini kehilangan kendali.
"Cari sampai ketemu," gumamku sambil tersenyum kecil.
***
Hari pemakaman Rio akhirnya tiba. Langit mendung, seolah ikut berduka. Satu per satu teman-temannya datang mengenakan pakaian hitam. Erlan, Arnaldo, dan Sandi berdiri di dekat peti mati dengan wajah muram dan mata sembab. Tangis mereka pecah, mengenang sahabat yang dulu ceria dan dikenal bar-bar dalam kelompok mereka.
Rafael pun datang. Ia berdiri agak jauh, mengenakan kacamata hitam. Kepalanya tertunduk, pura-pura larut dalam kesedihan. Sesekali ia mengusap wajah, seolah menyeka air mata. Padahal, dalam hatinya ia hanya menahan tawa.
"Akhir dari kesombongan… makan tuh," batinnya sinis.
Pandangan Rafael sempat terhenti pada sosok ibu Rio yang menangis pilu di sisi peti mati, tubuhnya nyaris roboh karena kehilangan anak laki-lakinya.
Di sisi lain, Erlan, Arnaldo, dan Sandi menjauh dari kerumunan. Mereka berkumpul di bawah pohon besar, suara mereka pelan namun cukup jelas terdengar bagi Rafael yang kebetulan lewat dan berhenti di balik tembok.
"Aku nggak ngerti… kita pulang dari bar malam itu, nggak ada siapa-siapa. Tapi Rio tiba-tiba hilang, dan sekarang… mati," ucap Sandi dengan suara bergetar.
"Menurut kalian, siapa yang patut dicurigai?" tanya Arnaldo penuh rasa ingin tahu.
Erlan terdiam lama, berpikir keras namun tak menemukan jawaban. Arnaldo menatapnya, menunggu.
"Yang jelas, kita nggak tahu siapa. Saat ini kita nggak bisa asal menebak dalang di balik kematian Rio," jawab Erlan akhirnya. "Aku dengar-dengar, katanya nggak ada sidik jari, nggak ada rekaman CCTV… seolah yang melakukannya orang profesional. Kita cuma bisa mengandalkan pihak kepolisian. Apalagi ayahnya Rio sendiri adalah kepala polisi. Jadi… kita tunggu saja hasilnya."
Rafael yang mendengar semuanya dari balik tembok menyunggingkan senyum tipis. Smirk.
Namun tanpa mereka sadari, seseorang berdiri tak jauh dari tempat itu. Seorang perempuan dengan wajah tertutup sebagian. Matanya tajam, memperhatikan dengan seksama, lalu berbalik pergi. Ia menghilang di antara kerumunan pelayat, menyisakan tanda tanya besar.
Siapa dia? Dan kenapa ia begitu tertarik dengan percakapan itu?
Di sisi lain rumah sakit, seorang pasien duduk di kursi roda. Wajahnya terus menampilkan senyum lebar yang menyeramkan—mirip karakter Joker dalam film. Setiap kali seseorang lewat, senyum itu tak pernah pudar, malah semakin mengembang.
Seorang anak kecil yang berjalan di lorong bersama ibunya langsung memeluk erat sang ibu, ketakutan oleh tatapan dan senyum pasien itu. Beberapa anak bahkan menangis.
"Mama, kenapa kakak itu begitu?" tanya si anak perempuan dengan suara gemetar.
"Hiraukan saja, Dek. Dia sudah gila, jadi wajar begitu," jawab sang ibu sambil menggenggam tangan anaknya dan mempercepat langkah menjauh.
Adam, si pasien yang disebut "gila", mendengar ucapan itu. Ia hanya menatap anak kecil itu dengan senyum yang makin lebar, namun tangannya mengepal erat di atas pangkuan.
Tak lama kemudian, seorang bodyguard suruhan ayahnya datang dan mendorong kursi roda Adam menuju sebuah ruangan khusus. Saat pintu terbuka, tampak seorang dokter dan seorang suster di dalamnya. Suster perempuan itu segera keluar tanpa berkata apa-apa.
"Berikutnya," ucap dokter laki-laki sambil sibuk mencatat sesuatu di clipboard.
Namun saat ia mengangkat wajah dan melihat pasien di depannya, matanya langsung membelalak. Wajahnya berubah tegang. Ia mengenali Adam.
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"