Helen terkejut bukan main, ketika pria asing masuk ke kamar hotelnya. Dia sedang tidak dalam keadaan sadar, entah apa yang diberikan oleh Nicklas Bernando suaminya padanya.
"Kamu dan suamimu ingin seorang anak kan? aku akan membantumu!" ujar pria itu dengan tatapan mengerikan.
Bak sambaran petir di siang hari, Helen tidak menyangka, kalau suaminya akan berbuat seperti ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Ini Baru Awal
"Tuan Andreas, menantuku sudah mengatakannya dengan tulus. Bagaimana kalau setelah acara lelang ini, kami sekeluarga mengundang tuan untuk makan siang?" tanya Vicky.
Andreas Wiratama yang di kenal begitu angkuh, sudah bicara cukup lama dengan mereka. Semua orang bahkan telah menggunjingkannya. Membicarakannya, jadi Vicky pikir, ini adalah kemajuan yang sangat besar.
Tanpa memalingkan pandangannya dari Helen, meski wanita itu sudah kembali menundukkan kepalanya. Dre menjawab.
"Boleh saja! jika nyonya Helen tidak keberatan menggunakan perhiasan Blue Shapire yang aku desain, untuk di lelang hari ini!"
Helen kembali mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Dre. Dia tidak menduga, kalau Dre akan menerima tawaran ayah mertuanya.
Nicklas yang tentu saja tidak akan melewatkan kesempatan yang baik itu segera meraih tangan Helen.
Dan itu membuat Dre mengepalkan tangannya.
"Tentu saja tuan Andreas, ini sebuah kehormatan untuk istriku" ujarnya bersemangat sekali.
"Aku pusing Nicklas...." bisik Helen.
"Helen, aku akan carikan obat pusing. Tolong bantu ayah, ini demi ayah dan ibu!" sela Nicklas yang berbisik menyela ucapan Helen itu.
Helen terlihat tidak senang. Tapi dia juga tidak mau membuat ayah dan ibu mertuanya dalam kesulitan. Keduanya sudah banyak membantu panti asuhan.
"Leon, antar nyonya Helen ke ruang ganti" ujar Dre lagi.
"Helen, apa kamu..." Vicky yang melihat Helen enggan, ingin bertanya pada menantunya itu. Tapi disela oleh Nicklas.
"Dia hanya sedikit pusing ayah, aku akan minta Johan cari obat pusing. Ayah tenang saja" ujar Nicklas.
Mendengar Nicklas bicara seperti itu, Helen pun hanya bisa mendesah kasar sambil mengikuti Leon menuju ke ruang ganti. Sementara Andreas Wiratama juga sudah pergi dengan para tamu terhormat lainnya.
Anika menghampiri suami dan anaknya.
"Mana Helen?" tanyanya khawatir.
"Tuan Andreas minta dia jadi model untuk menggunakan perhiasan yang akan di lelang" jawab Nicklas.
"Tapi dia sakit kepala tadi..."
"Aku sudah suruh Johan beli obat Bu, dia akan antar kesana setelah mendapatkannya" sela Nicklas lagi.
Anika masih khawatir.
"Tapi wajahnya pucat, ibu mau kesana, memastikan..."
"Ibu, tuan Leon bersama dengannya. Dia akan baik-baik saja!" potong Nicklas lagi.
Vicky rasa apa yang dikatakan anaknya itu benar. Tadi juga ada beberapa pelayan wanita mengikuti mereka. Tidak mungkin jika Helen memiliki keluhan, mereka tidak datang memberitahu Vicky dan keluarganya.
"Sudahlah, Anika. Kita tunggu saja, kalau ada apa-apa, mereka pasti beritahu kita"
Sementara itu di ruang ganti, Helen masih terduduk dengan tenang di depan meja rias. Seorang penata rambut juga akan menata rambutnya. Supaya perhiasan yang dia pakai itu akan tampak on poin di leher Helen.
Namun saat sedang menata rambut, ponsel wanita itu berdering. Setelah menerima panggilan itu. Wanita itu menghampiri Helen lagi.
"Nyonya, maaf ya. Saya di panggil manager. Sebentar ya nyonya"
Helen mengangguk dan tersenyum pada wanita itu. Dan wanita itu pun segera pergi meninggalkan ruang ganti itu.
Helen memegang pelipisnya.
"Aku sudah sarapan, tapi kenapa malah tambah pusing. Huh, pasti gara-gara bertemu dengan Dre. Pria itu, bagaimana dia menyembunyikan kalau dia adalah seorang konglomerat. Dia pasti benci sekali padaku, jangan-jangan dia membeli saham perusahaan ayah mertua karena..."
"Sebenarnya kamu cukup pintar Helen!"
Helen menoleh dengan cepat. Pria yang baru saja dia bicarakan, sudah berdiri di belakang pintu. Dan mengunci pintu itu.
Helen panik, dia segera berdiri. Helen memegang kuat pinggiran meja rias yang ada di belakangnya.
"Ka.. mu..."
Dre terkekeh pelan, dan pria itu berjalan perlahan ke arah Helen.
"Kenapa Helen? dari nada suaramu, kamu terdengar seperti orang yang ketakutan. Aku dengar, hanya orang yang punya dosa yang ketakutan. Atau memang kamu merasa berdosa padaku, Helen?"
Cengkeraman tangan Helen semakin kuat ke arah meja yang ada di belakangnya itu.
Rasa berdosa itu, Helen memang memilikinya di dalam hatinya. Dia memang sangat merasa bersalah. Terakhir kali, mengatakan hal-hal yang begitu merendahkan dan menyakitkan untuk Dre. Sebenarnya hatinya juga sakit. Dia bukan orang yang kejam, dia adalah satu-satunya tulang punggung utama di panti itu selain para donatur.
Menyakiti Dre, entah kenapa dia juga merasa sakit. Tapi saat itu yang dia pikirkan hanya tidak ingin melibatkan Dre terlalu jauh.
"Menurutmu, kompensasi 800 juta itu, cukup?" tanya Dre yang sudah berada di hadapan Helen.
Helen sama sekali tidak berani menatap Dre. Tapi pria itu mengangkat dagu Helen, membuatnya menoleh ke arah pria yang tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca itu.
"Kamu benar-benar kejam. Apa hatiku semurah itu?" tanya Dre lagi.
Bibir Helen bergetar, dia ingin meminta maaf. Tapi, dia juga tidak tahu bagaimana mengatakannya. Apakah akan bisa diterima oleh Dre? dia sendiri tidak yakin akan hal itu.
Namun saat Helen ingin menepis tangan Dre. Matanya melebar, pria itu menciumnya. Mencium bibirnya dengan begitu kuat dan menekannya sampai bokongnyaa menabrak meja rias. Beberapa barang di atas meja rias itu jatuh.
Mata Helen sudah berkaca-kaca. Dre tidak memberikannya kesempatan untuk bernafas. Dada Helen sudah sesak, pria itu tak memberikan sedikit saja celah, meski Helen sudah membuka mulutnya berusaha mencari oksigen di sekitarnya.
Tangan Helen mencoba mencengkeram lengan Dre, satu lagi bahkan sudah berusaha mendorong dada pria itu. Tapi sia-sia. Dre seperti seseorang yang sudah tidak terkendali. Dia menyesapp begitu kuat, sampai rasanya lidah Helen pun akan tercabut dari tempatnya.
'Dia sangat marah!' batin Helen.
Ya, pria itu memang sedang sangat marah saat ini. Dan sedang melampiaskan kemarahannya pada wanita yang sudah sangat kejam padanya. Tapi sangat dia cintai.
Helen sudah tidak bisa menahannya lagi, dadanya benar-benar sesak. Tangan yang tadinya mencoba memberontak, perlahan lunglai menjauh dari lengan Dre.
Mata Dre yang tadinya terpejam, segera terbuka. Menyadari Helen mungkin sudah kekurangan oksigen.
"Hahhh... hahhh"
Setelah di lepaskan oleh Dre, Helen segera meraup udara di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Dengan nafas tersengal-sengal, dia mendongak ke arah pria yang masih menatapnya itu.
"Marah?" tanya Dre yang segera merubah ekspresi khawatirnya menjadi sangat datar ketika Helen menoleh ke arahnya.
Helen tidak bicara, dia kembali menunduk, bahkan duduk di kursi. Dia terlalu lemas, bahkan hanya untuk menjawab pertanyaan Dre.
"Ini baru permulaan, Helen!" ucap pria itu yang bahkan segera keluar dari ruangan itu.
Helen mengepalkan tangannya. Entahlah, dia ingin marah. Meski dia salah, apa Dre berhak memperlakukannya seperti ini.
"Nyonya, maaf aku agak lama. Tadi pak manager..." penata rambut itu menjeda ucapannya melihat bibir Helen, "nyonya, bibir anda bengkak, anda alergi?" tanyanya heran. Kenapa bibir Helen menjadi sangat bengkak dalam waktu yang cukup singkat.
Helen menoleh ke arah cermin.
'Ya ampun, pria itu benar-benar seperti vacum' keluhnya dalam hati.
***
Bersambung...
salam kenal kak Author😊🌹