Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Belum ada flashback.
BEBERAPA HARI KEMUDIAN
TK KYOKO, TOKYO
Langit sore membentang seperti kanvas yang dicat perlahan-lahan—biru pucat yang melarut ke ungu muda di ufuk, diselimuti awan tipis yang melayang seolah kapas yang ditarik angin lembut. Ssshhh… ssshhh… Angin berbisik melewati dedaunan pohon sakura di taman TK, mengayunkan mereka seperti jari-jari yang menyapa, menjatuhkan bayangan bercorak yang bergeser-geser di tanah berpasir yang masih terhangat oleh sisa cahaya matahari. Permukaan pasir itu mengkilap lembut, seperti penuh dengan butiran-butiran emas yang terluput.
Di bawah pohon sakura terbesar yang batangnya tebal dan tua, dekat ayunan kayu yang sudah lapuk, Catalina, Kurumi, dan Mayuri duduk berjajar di bangku kayu kecil yang cat hijaunya mulai pudar dan bergaris-garis retak. Setiap kali mereka bergerak sedikit, bangku mengeluarkan bunyi krik… krik… yang lembut, menyatu dengan nada alam di sekitar.
Di tangan masing-masing, ada roti bakar buatan Andras—pinggirannya renyah dan kecoklatan sempurna, bagian tengahnya lembut dan keju yang ada di dalamnya masih sedikit meleleh. Aromanya manis dan harum melayang di udara, bercampur dengan bau bunga sakura yang lembut dan pasir yang hangat.
Kruk…
Kurumi menggigit roti dengan puas, pipinya mengembang sedikit seperti chipmunk yang sedang menyimpan makanan. Matanya yang berwarna hijau cerah bersinar, dan dia mengibas-ngibaskan kaki pendeknya yang memakai sepatu kecil berwarna biru muda—setiap gerakan membuat sepatunya hampir menyentuh pasir, menghasilkan bunyi tap… tap… yang ringan.
“Enak banget…” gumamnya dengan suara yang melengking, lidahnya menyikat sisa keju yang menempel di bibirnya. Dia mendekatkan wajahnya ke roti seolah itu adalah sesuatu yang berharga, ekspresinya penuh kepuasan yang tulus.
Sampingnya, Mayuri makan dengan gaya yang lebih anggun—atau setidaknya berusaha sekuat tenaga terlihat begitu. Dia duduk tegak, punggungnya lurus, kaki disilangkan rapi di bawah rok kecil berwarna putih yang bergaris-garis biru. Rambutnya yang kuncir dua putih dengan mata emasnya terlihat menonjol di tengah cahaya sore. Dia menggigit roti dengan lembut, tapi sayangnya, sepotong kecil roti masih jatuh ke roknya. Dia mendecak pelan, “Aah…!” suara yang penuh kesal pada dirinya sendiri. Matanya menyipit, alisnya terangkat ke atas, dan dia cepat-cepat memungut remah roti itu dengan jari-jari kecilnya yang rapi, wajahnya memerah sedikit karena malu.
Catalina tidak langsung makan. Dia menatap roti di tangannya—jari-jari dia meraba-raba permukaan roti yang hangat—lalu matanya melayang ke depan, ke taman yang riuh oleh suara anak-anak lain. Ada tawa yang ceria, langkah kaki kecil yang tap tap tap di pasir, dan bunyi ayunan yang berderit krek… krek… krek… setiap kali digerakkan. Wajahnya yang tadinya tenang pelan-pelan berubah serius—garis-garis di dahinya muncul, mata biru muda yang biasanya cerah sekarang terlihat dalam dan penuh pemikiran.
“…Sampai sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya lebih pelan dari biasanya, seolah takut terdengar orang lain, “aku belum dapat flashback apa pun.”
Kurumi berhenti mengunyah. Matanya membesar, dan dia menoleh ke Catalina dengan ekspresi yang khawatir. “Flashback? Kamu berarti… potongan-potongan kejadian masa lalu atau depan?” tanyanya, suaranya juga menjadi pelan.
Mayuri juga menoleh cepat, “Hah?” matanya membelok ke Catalina, ekspresi kesalnya tadi hilang digantikan kekhawatiran. Dia menyimpulkan roti yang tersisa di tangan, seolah lupa akan makan.
“Potongan kematian… kejadian di masa depan…” Catalina melanjutkan, matanya sedikit menyipit seolah mencoba menembus udara yang mulai memerah. “Biasanya muncul tiba-tiba. Tapi sekarang… kosong.” Dia mengangkat bahu sedikit, gerakan yang penuh keraguan. “Seolah-olah semua itu hilang. Atau… ditahan.”
Huuu… Angin lewat sebentar, mengibaskan poni putih-pink Catalina yang terikat rapi di belakang kepala. Rambutnya bergoyang lembut, menyentuh pipinya yang sedikit dingin.
Mayuri menelan ludah, suara gluk… yang terdengar jelas di antara keheningan yang tiba-tiba. Tangannya yang memegang roti mengendur sedikit, sampai roti itu hampir terjatuh. Dia segera mencengkeramnya kembali, jari-jari dia memerah permukaan roti sampai sedikit penyok.
“Kalau begitu…” katanya ragu, alisnya berkerut halus membentuk garis ‘V’ di dahinya, “bagaimana caranya aku melatih CIP Rhapiel-ku?” Nada suaranya tidak keras, tapi ada kegelisahan yang terasa jelas di sana—suaranya sedikit gemetar, dan dia menggeser-geser kaki di bawah roknya. Jarinya mencengkeram roti lebih kuat, sampai keju yang masih meleleh mulai keluar dari pinggiran.
Kurumi menghela napas panjang, “Heem…!” lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran bangku—bunyi duk! yang sedikit keras, membuat bangku bergetar. Kedua tangannya terangkat ke atas dengan gaya malas, jari-jari dia melipat-lipat sembari menatap langit yang semakin memerah.
“Duh… sabar, Mayuri,” katanya, matanya menyipit seolah melihat sesuatu di awan, “latihan itu nggak bisa dipaksa… kalo dipaksa malah jadi kesusahan, loh.” Dia berhenti sejenak, lalu memiringkan kepala ke samping, mata hijaunya berkilat nakal yang khas. “…Tapiii~ kalau kamu mau,” katanya sambil duduk tegak lagi, badan dia sedikit condong ke arah Mayuri, “kenapa nggak latihan sama aku aja?”
Mayuri mengedip. Sekali. Dua kali. Matanya membesar sedikit, dan dia memalingkan wajah sebentar sebelum kembali menatap Kurumi dengan ekspresi curiga. Bahunya sedikit terangkat, seolah tidak percaya. “…Jadi?” tanyanya, suaranya sedikit kaku. “Kamu mau ajarin aku? Atau… mau main-main aja?”
Catalina yang sejak tadi diam tiba-tiba mengangkat telunjuknya ke atas, “Ah!” suara yang penuh kegembiraan. Matanya menyala seolah menemukan ide brilian, dan dia sedikit condong ke depan, badan dia mendekat ke Mayuri dan Kurumi.
“Gini,” katanya cepat, mata dia berkelap-kelip, “Kurumi bisa munculin kloning tanpa batas, kan?” Dia menoleh ke Kurumi dengan senyum yang ceria.
Kurumi menyeringai bangga, dagunya terangkat. “Hehehe~ iya dong! Kloningku bisa banyak banget, sampe bikin orang pusing!” Dia membuka tangan kedua, seolah menunjukkan kemampuannya. “Dan tiap kloningnya sama kuat kayak aku loh!”
“Jadi,” Catalina melanjutkan, matanya kembali ke Mayuri, “biar kamu nggak ngomel terus… kamu latihan sama kami. Lawannya kloning-kloning Kurumi.” Dia menggoyangkan bahunya sedikit, ekspresinya santai tapi penuh keyakinan. “Begitu kamu bisa mengalahkan kloning Kurumi, berarti kemampuanmu udah nambah deh!”
Hening sepersekian detik. Ssshhh… Hanya bunyi angin dan ayunan yang terdengar. Mayuri memandang Catalina, lalu ke Kurumi, lalu kembali ke Catalina. Matanya terlihat bingung, tapi juga ada cahaya harapan yang tersembunyi di situ. Lalu, tiba-tiba dia memalingkan wajah ke samping dengan gerakan cepat—fsh!—poni putihnya menutup setengah wajahnya. Pipinya memerah sampai ke telinga, dan dia mengepalkan tangan kecilnya di dada.
“Hmph!” katanya, dagu terangkat ke atas dengan gaya sombong. “B-bukan berarti aku menerima kebaikan kalian, ya!!” Suaranya sedikit keras, tapi terdengar canggung. Dia melihat ke tanah, seolah terlalu malu menatap mereka. “Aku cuma…” suaranya sedikit turun, menjadi lembut seperti bisikan, “…ingin jadi lebih kuat. Biar… nggak jadi beban orang lain.”
Catalina dan Kurumi saling pandang. Keduanya berkerut kening bersamaan, ekspresinya terkejut tapi juga penuh kasih sayang. Mereka tahu betul bahwa Mayuri adalah anak yang pemalu dan suka menyembunyikan perasaannya, jadi kata-kata itu terasa sangat berharga.
“…Baiklah, Mayuri,” kata mereka hampir serempak, suaranya penuh kelembutan.
Sebelum suasana sempat berubah canggung—
“KAKAK CATALINAAA!!”
Suara ceria yang kuat memecah udara, membuat ketiganya terkejut. Tap tap tap! Dua sosok kecil berlari mendekat dengan cepat, kaki mereka menginjak pasir dengan kuat.
Matsu lebih dulu sampai, rambut hitamnya dengan highlight pink gelap bergoyang kencang. Dia langsung menarik tangan Catalina dengan dua tangan kecilnya yang hangat, matanya yang pink keunguan bersinar dengan antusiasme. Dia memijat-pijat tangan Catalina, badan dia melompat-lompat sedikit karena senang.
“Kak Catalina! Ayo main ayunan!!” katanya dengan suara yang meriah, membuat orang di sekitar menoleh. “Kurumi sama Mayuri harus ikut juga! Ayo ayo ayo!!” Dia menggoncang tangan Catalina dengan kuat, ekspresinya penuh harapan.
Yoru segera menegur, dia berlari sampai ke samping Matsu dan menarik lengan Matsu pelan dengan jari-jari kecilnya. Matanya kiri kuning dan kanan biru tua terlihat tenang, dan dia menggelengkan kepala. “Matsu… jangan tarik-tarik tangan kak Catalina. Nanti sakit.” Suaranya lembut tapi tegas, seolah dia selalu menjaga adiknya.
Catalina tersenyum kecil, tapi matanya tiba-tiba tertuju pada wajah Yoru. Lebih tepatnya… mata kiri kuningnya yang terlihat sedikit merah di sekelilingnya. Dia berjongkok sejajar dengan Yoru, tangannya dia luruskan untuk menyentuh pipi Yoru dengan lembut.
“Yoru…” katanya pelan, ekspresinya khawatir. “Matamu… bagaimana? Masih nyeri?”
Yoru berkedip, lalu menggaruk belakang kepalanya dengan santai—kruk kruk—rambutnya yang pendek bergoyang. “Ah, ini?” katanya tenang, seolah tidak terlalu peduli. “Agak nyeri sih… kalau aku terus mencoba melihat satu detik ke depan.” Dia menoleh ke Matsu, lalu kembali ke Catalina dengan senyum yang lembut. “Tadi aku ingin lihat reaksi kakak waktu Matsu ngajak main.” Bibirnya melengkung tipis. “Dan… yang kulihat barusan, sama persis.”
Catalina mengangguk pelan, dalam. Dia mengusap pipi Yoru dengan lembut, matanya terlihat penuh penghargaan. “Kamu hebat banget, Yoru,” ucapnya. “Tetap hati-hati ya, jangan paksakan diri.” Dia berdiri kembali, senyumnya kembali hangat. “Baiklah,” katanya akhirnya, “kita main. Ajak juga Shinn, Remi, Asuna, Dheon, Kasemi, Rintaro, dan Haken—”
“NGGAK MAU!”
Matsu menyela cepat, tangannya dia letakkan di pinggang, pipinya mengembang seperti balon. Matanya yang pink keunguan menyipit, dan dia mengangkat kaki sedikit seolah marah. “Haken berisik! Telinga Matsu sakit!” Dia menggoyangkan kepala dengan kuat, rambutnya bergoyang kencang. “Jangan ajak Haken! Jangan!!”
Catalina menahan napas sebentar, “Hmm…” ekspresinya terlihat berpikir. Di dalam hatinya, suara lain berbisik: Padahal… kalian berdua sangat dekat di masa depan. Saling melindungi, seperti dua sisi mata uang. Senyum licik tipis muncul di wajahnya, seolah dia tahu rahasia yang tidak diketahui orang lain.
Dia berjongkok lagi sejajar dengan Matsu, menatapnya dengan mata yang lembut dan penuh kasih. “Adikku yang cantik,” katanya dengan suara yang manis dan merdu, “Haken itu berisik karena dia mau… dan sangat mau bermain denganmu.” Dia melirik ke Mayuri dengan ekspresi yang menyiratkan, “Benar kan, Mayuri?”
Mayuri tersentak, “Eh?!” matanya membesar. Dia seharusnya menyetujui bahwa Haken berisik, tapi melihat ekspresi Catalina yang licik, dia tiba-tiba merasa ingin menolong. Dia mengangkat bahu sedikit, lalu tertawa kecil, “Hihi!” “Tapi… benar juga! Haken itu suka main sama Matsu loh, cuma dia nggak bisa ngomong dengan baik.” Dia mendekat ke Matsu, matanya berkelap-kelip. “Yaudah, ajak Haken! Sekalian Kasemi! Biar rame!”
Catalina menahan senyum di dalam hati. Yap… romance kecil itu datang juga. Dia melihat Mayuri yang tiba-tiba semangat, dan dia tahu bahwa Mayuri hanya ingin bertemu Kasemi. Dia pura-pura polos, mengangkat alisnya. “Loh, Mayuri,” katanya santai, “semangat banget mau ngajak Kasemi?”
Mayuri membeku. Tubuhnya kaku, dan wajahnya merah sampai ke telinga—bahkan ke ujung hidungnya. Dia menunjuk jari-jari kecilnya ke Catalina, matanya menyipit dengan marah tapi juga malu. “KAU!!” teriaknya, suaranya sedikit tinggi tapi terdengar canggung. “AKU MAU BIAR RAME AJA! JANGAN SALAH PAHAM!!” Dia memalingkan wajah ke samping, rambutnya menyembunyikan wajahnya yang memerah. “M-Maksudku… mainnya jadi seru kalo banyak orang… bukan karena… bukan karena Kasemi…!”
Catalina terkekeh kecil, “Hehe…” suara yang lembut. Dia mengangguk, seolah percaya. “Oh ya,” katanya santai, seolah baru saja teringat, “Kasemi suka main mobil-mobilan. Dia punya koleksi mobil-mobilan kayu yang banyak banget, loh.”
“B-BENARKAH!?” Mayuri refleks berseru, matanya membesar dan berkelap-kelip. Lalu dia langsung menutup mulutnya dengan tangan, “Aah!” suara yang penuh kesalahan. Dia memalingkan wajah lagi, pipinya semakin merah. “Maksudku— AKU NGGAK PEDULI!! Dia suka apa itu urusannya dia!!”
Semua yang ada di sana—Catalina, Kurumi, Yoru, dan Matsu—saling pandang. Kemudian, mereka semua tertawa serentak, “Hahaha!!” suara yang ceria dan penuh kebahagiaan. Mayuri mendengarkan tawa mereka, dan meskipun dia masih malu, bibirnya juga melengkung sedikit menjadi senyum.
Kurumi menyipitkan mata, mendekatkan wajahnya ke Mayuri dengan gaya nakal. “…Mayuri,” katanya pelan tapi menusuk, “kamu bikin aku kesal, tau.” Dia menyeringai dengan cara yang membuat Mayuri merinding.
Mayuri langsung kaget, tubuhnya sedikit mundur. “E-Eh? Kenapa?” suaranya gugup.
Flashback singkat menghantam kepalanya—pop! Kurumi muncul tiba-tiba di kamar tidurnya. Pop! Lalu di toilet saat dia mau mandi. Pop! Lalu di belakang pintu saat dia mau keluar rumah. Semua kloning Kurumi itu menyeringai dengan gaya yang sama: nakal dan menyebalkan. Tubuh Mayuri merinding sepenuhnya, dan dia menggigit bibirnya.
“B-b-baiklah…” katanya gugup, pundaknya mengendur. “Kurumi… maaf…” Dia menundukkan kepala, seolah minta maaf dengan tulus.