Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Leora menggigit madeleine pelan, lalu berhenti di tengah kunyahan. Ia menatap kue kecil itu beberapa detik, seolah rasanya baru nyampe belakangan.
“Lucu ya,” katanya akhirnya. “Dulu aku makan madeleine di rumah cuma mikir, ‘oh ini kue Prancis.’ Sekarang makan di Prancis langsung… tapi rasanya beda.”
Leonard melirik sekilas dari cangkirnya. “Karena tempat.”
“Bukan cuma itu,” sanggah Leora cepat. “Karena momennya. Karena aku nggak sendirian.”
Ia menoleh ke Leonard, senyum kecil terselip di ujung bibir. “Sekarang makannya bareng pak su.”
Leonard mendengus pelan. “Panggilan kamu aneh.”
“Tapi kamu nggak protes,” Leora menimpali ringan.
Ia mengangkat madeleine sedikit. “Serius deh. Rasanya lebih hangat. Kayak… bukan cuma mentega sama lemon.”
Leonard menyandarkan punggung ke kursi. “Kamu selalu lebay soal makanan.”
“Mungkin,” Leora mengangguk. “Tapi aku jarang lebay soal perasaan.”
Ia menunjuk jendela dengan dagunya. “Dan yang ini beneran kerasa.”
Leonard mengikuti arah pandangnya. Menara Eiffel berdiri terang di balik kaca besar, memantulkan cahaya ke ruangan.
“Paris memang jago bikin orang merasa,” ucapnya datar. “Padahal cuma lampu dan besi.”
Leora tertawa kecil. “Kamu bisa bikin apa pun kedengaran dingin.”
Ia bangkit dari kursinya, berjalan mendekat ke kaca. “Tapi lihat deh… kalau cuma dilihat dari sini, rasanya nanggung.”
Leonard mengernyit. “Nanggung kenapa?”
Leora menoleh setengah badan. “Aku pengin lihat langsung. Dari bawah.”
Nada suaranya santai, seolah itu ide kecil yang baru lewat.
Leonard menegakkan tubuhnya. “Sekarang?”
“Iya.”
Leonard menatap jam tangannya, lalu kembali ke Leora. “Ini sudah setengah sepuluh malam.”
Leora mengangkat bahu. “Malam justru bagus.”
“Kamu pikir aku bawa kamu ke sini buat keluyuran malam-malam?”
Nada Leonard naik sedikit, bukan teriak, tapi jelas tidak setuju.
Leora memutar badan sepenuhnya. “Kok jadi keluyuran sih? Kita di Paris, Leonard. Ini liburan.”
“Liburan bukan berarti lupa waktu.”
“Kita di sini berapa hari?” tanya Leora cepat.
“Lima.”
“Nah, lima hari,” ulangnya. “Dan aku nggak mau nanti pulang cuma bisa bilang, ‘aku lihat Eiffel dari balik kaca hotel.’”
Leonard mengusap rahangnya, napasnya berat. “Aku cuma nggak mau kamu ceroboh.”
“Aku sama kamu,” Leora mendekat selangkah. “Dan justru malam gini Paris kelihatan hidup.”
Ia menunjuk ke bawah. “Lihat, turis rame. Orang-orang datang ke sana karena aesthetic-nya keluar.”
Leonard diam cukup lama. “Kamu keras kepala.”
“Kamu protektif,” balas Leora. “Beda tipis.”
Leonard akhirnya berkata, suaranya lebih rendah, “Lain kali kalau kamu pengin ke mana pun, bilang aja. Mau pindah negara sekalian juga.”
Ia mengambil jaketnya. “Kita menikah. Kamu nggak perlu sungkan.”
Leora terdiam, lalu tersenyum pelan. “Berarti kamu ngerti, ya.”
Leonard menyodorkan mantel ke Leora. “Ayo. Tapi dekat-dekat. Jangan bikin aku harus manggil nama lengkap kamu.”
Leora tertawa kecil sambil mengenakan mantel. “Siap, Pak Su.”
Dan Paris pun menunggu mereka di bawah cahaya menara yang akhirnya tak lagi hanya mereka pandangi dari balik kaca.
Udara malam Paris menusuk tipis saat mereka berdiri di area terbuka tak jauh dari Menara Eiffel. Cahaya lampu kuning keemasan jatuh dari rangka besinya, membuat bayangan orang-orang bergerak pelan di trotoar. Suasananya ramai, tapi tidak berisik lebih seperti gumam panjang kota yang tak pernah benar-benar tidur.
Leora berhenti mendadak.
“Leonard,” katanya sambil merogoh tas kecilnya, “fotoin aku, dong.”
Leonard menoleh, refleks. “Sekarang?”
“Iya.” Leora sudah berdiri beberapa langkah ke depan, membelakangi menara. “Pakai HP kamu. Kameranya kan mahal.”
Leonard menghela napas pendek, tapi tetap mengangkat ponselnya. Layar menyala, membingkai Leora dengan rambut hitamnya yang terurai, tertiup angin malam. Lampu Eiffel membuat garis wajahnya terlihat lembut terlalu lembut untuk sekadar foto liburan.
Leonard terdiam sepersekian detik.
Kenapa tangannya terasa kaku?
“Eh,” Leora menurunkan bahunya. “Kamu malah bengong.”
Leonard berdeham, mengatur fokus. “Diam.”
Ia menekan layar. Sekali. Dua kali.
Di balik kamera, ada perasaan aneh yang lewat begitu saja bukan kagum yang besar, bukan juga emosi yang bisa ia beri nama. Hanya… jeda. Dan ia tak tahu kenapa.
Belum sempat Leora mendekat, dua turis asing sepasang pria menghampirinya dengan senyum ramah.
“Excuse me,” salah satunya berkata dalam bahasa Inggris, “could we take a photo with you? You look lovely with the Eiffel Tower.”
Leora tampak terkejut sesaat, lalu tertawa kecil. “Oh—sure.”
Ia menoleh ke Leonard. “Pak su, fotoin lagi ya.”
Leonard mengangguk, kini memotret Leora berdiri di tengah dua turis itu. Setelah selesai, salah satu dari mereka melirik Leonard, lalu kembali ke Leora.
“Is he your boyfriend?” tanyanya ringan, penuh rasa ingin tahu.
Leora hanya tersenyum. Tidak menjawab. Tidak mengoreksi.
Leonard menangkap itu. Jelas.
Para turis mengucapkan terima kasih lalu pergi dengan ceria. Begitu mereka menjauh, Leonard menurunkan ponselnya.
“Kamu kenapa nggak jawab?” tanyanya datar.
Leora mengedikkan bahu. “Harus jawab?”
Leonard memalingkan wajah. “Terserah.”
“Kok marah sih?”
Ia menyenggol lengan Leonard pelan. “Mereka cuma nanya.”
“Kamu bisa bilang nggak,” balas Leonard singkat.
Leora menahan senyum. “Kalau aku jawab, nanti malah panjang. Aku males.”
Leonard tidak menjawab. Langkahnya sedikit lebih cepat.
Belum sempat Leora bicara lagi, seorang pria paruh baya dengan kamera profesional menghampiri mereka.
“Excuse me,” katanya sopan dalam bahasa Inggris. “May I take a photo of you both? Eiffel Tower background. Professional photo there’s a small fee.”
Leonard langsung menggeleng. “No.”
“Leonard,” Leora menarik ujung mantel Leonard. “Sekali aja.”
Leonard menoleh. “Kamu barusan bikin aku kesel.”
Leora mendongak. “Makanya… satu foto buat damai.”
Hening beberapa detik. Leonard menatap Leora, lalu ke menara di belakang mereka.
Entah sejak kapan, ia berhenti merasa terganggu oleh hal-hal kecil seperti ini.
“Cepat,” katanya akhirnya.
Leora langsung tersenyum lebar. “Yes.”
Mereka berdiri berdampingan. Tidak saling merangkul hanya cukup dekat. Lampu Eiffel menyala penuh di belakang mereka. Kamera berbunyi beberapa kali.
Leonard menatap lurus ke depan. Leora tersenyum santai, tanpa pose berlebihan.
Di momen singkat itu, Leonard sadar tanpa kalimat puitis, tanpa kesimpulan besar bahwa ia tidak sedang ingin pergi ke mana-mana.
Selesai.
Leora menoleh padanya. “Makasih.”
Leonard mengangguk.
Kamera akhirnya diturunkan. Photographer itu tersenyum puas sambil melihat hasil fotonya sekilas.
“Perfect,” katanya. “Please wait a moment.”
Leonard mengangguk singkat, lalu menghampiri pria itu sedikit menjauh dari Leora. Ia mengeluarkan dompetnya tanpa banyak bicara, membayar sesuai yang diminta. Mesin kecil di dekat tas kamera mulai berdengung pelan, mencetak dua lembar foto.
Leora memperhatikan dari jauh, alisnya terangkat.
Beberapa menit kemudian Leonard kembali, menyelipkan dua foto itu di antara jarinya.
Ia menyerahkan satu ke Leora tanpa ekspresi.
“Ini.”
Leora menatap foto itu mereka berdiri berdampingan dengan Menara Eiffel di belakang, cahaya malam membingkai segalanya dengan pas.
Ia tersenyum kecil, lalu melirik Leonard. “Tadi nolak huuu.”
Leonard memasukkan satu foto lain ke saku mantel. “Terserah gue lah”
“Dasar,” gumam Leora sambil menatap fotonya lagi. “Padahal bagus.”
Leonard berjalan lebih dulu beberapa langkah. “Hmmm.”
Leora menyusul, masih memegang foto itu. “Kamu simpen yang mana?”
“Yang sama,” jawab Leonard cuek.
Mereka berjalan menyusuri trotoar, keramaian malam Paris mengalir di sekeliling. Lampu-lampu toko kecil menyala hangat. Bau gula karamel dan mentega menyeruak dari sebuah toko di sudut jalan.
Leora berhenti mendadak.
“Eh,” katanya sambil menunjuk. “Itu kayaknya enak.”
Leonard menoleh. “Kamu baru aja makan.”
“Beda,” sanggah Leora. “Ini jajan jalanan. Rasanya selalu beda.”
Leonard menghela napas, tapi langkahnya berbelok mengikuti Leora. “Kamu memang nggak pernah kenyang sama ‘beda’.”
Toko kecil itu menjual crêpes dan churros, dengan etalase sederhana dan antrean pendek. Leora membaca menu dengan antusias.
“Aku mau crêpes cokelat ,” katanya cepat. “Kamu?”
Leonard menatap papan menu. “Satu aja.”
“Satu apa?”
Leonard meliriknya. “Yang kamu mau.”
Leora tersenyum puas. “Berarti dua crêpes cokelat .”
Leonard tidak membantah.
Sambil menunggu pesanan, Leora melirik foto di tangannya lagi.
“Lucu ya,” katanya pelan. “Biasanya foto itu buat dipajang. Tapi aku kayak pengin nyimpen aja.”
Leonard menatap lurus ke depan. “Simpan.”
“Hm?”
“Kalau mau disimpan, simpan,” ulang Leonard. “Nggak semua hal harus dipamerin.”
Leora menoleh ke arahnya, menahan senyum.
“Iya.”
Pesanan datang. Mereka berdiri di pinggir jalan, membagi crêpes hangat itu tanpa banyak bicara. Paris bergerak di sekitar mereka orang-orang lewat, tawa asing, musik samar dari kejauhan.