NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33: PERUMAHAN CENDANA PUSPITA

Santi membelokkan mobil, melindas pagar rantai yang sudah roboh. Ban mobil berderak di atas jalan aspal yang retak-retak, suaranya terdengar sangat keras di keheningan fajar.

Mereka telah memasuki "Kota Hantu".

Keheningan itu total.

Berbeda dengan keheningan di "Elysian Spire" yang berbau beton dan karat. Berbeda dengan keheningan "Koreksi" yang berbau ozon.

Ini adalah keheningan yang *hijau*. Keheningan alam yang mengambil kembali apa yang telah dicuri darinya.

Mereka melaju perlahan menyusuri jalan utama yang disebut "Boulevard Cendana". Di kedua sisi jalan, ratusan rumah identik berdiri dalam berbagai tahap pembusukan.

Beberapa hanya fondasi, kini terisi air hujan yang keruh.

Beberapa adalah kerangka kayu yang menghitam, hangus oleh kebakaran bertahun-tahun lalu.

Dan sebagian besar... sebagian besar utuh. Rumah-rumah dua lantai bergaya *mediterania* palsu, dengan cat yang mengelupas seperti kulit yang terbakar matahari. Jendela-jendela mereka pecah, menganga seperti mata-mata kosong. Rumput liar setinggi pinggang orang dewasa telah menelan taman-taman yang seharusnya rapi.

Akar-akar pohon beringin raksasa telah menghancurkan aspal jalanan, mengubahnya menjadi jalur rintangan.

"Ya Tuhan," bisik Santi, melambatkan mobilnya hingga nyaris berhenti. Dia menatap pemandangan itu dengan mata jurnalistiknya. "Ini... ini pemborosan yang luar biasa. Proyek 1998, kan? Krisis moneter."

"Dan mimpi yang gagal," bisik Reza dari kursi belakang. Dia menatap keluar jendela, tidak lagi mencari musuh, tapi terserap oleh melankolia tempat itu. "Tempat ini... seperti kuburan."

"Ini adalah kuburan," kata RANIA, suaranya datar. "Itu sebabnya kita aman."

Dia menatap lurus ke depan, matanya yang analitis memindai. Logikanya bekerja. Ini adalah *safe house* yang sempurna.

"Tidak ada sinyal seluler," katanya, menunjuk ke ponsel Santi yang layarnya bertuliskan "Tidak Ada Layanan". "Terlalu jauh dari menara mana pun. Tidak ada patroli militer—tidak ada yang berharga di sini untuk dijaga. Tidak ada populasi sipil untuk 'dikarantina'."

Dia berhenti sejenak, meraih amulet obsidian di balik kemejanya dan menariknya keluar.

"Ra... jangan," kata Reza cemas, teringat apa yang terjadi di Elysian Spire.

"Hanya sedetik," kata RANIA.

Dia melepas amulet itu dari lehernya.

*...sunyi...*

Dunia tidak meledak. Tidak ada lolongan psikis. Tidak ada jeritan. Tidak ada ribuan Gema panik.

Dia merasakan... *gema*. Tapi gema yang sangat lemah, sangat tua, dan sangat *sedih*. Seperti mendengarkan musik dari kamar sebelah yang pintunya tertutup rapat.

"Bersih," katanya, lega. Dia segera mengenakan kembali amulet itu. *KLIK*. Dunia kembali hening total. "Tempat ini 'mati' Gema. Tidak ada sejarah kuno. Tidak ada konsentrasi emosi manusia yang padat. Ini adalah *noise floor*. Titik Buta alami yang sempurna."

"Aku tidak tahu harus merasa lega atau semakin ngeri," kata Santi, menginjak pedal gas lagi. "Jadi... kita pilih rumah? Seperti... agen properti di kiamat?"

"Kita butuh rumah yang paling bisa dipertahankan," kata RANIA. "Yang paling tersembunyi. Dan yang memiliki titik pengamatan."

"Titik pengamatan... untuk apa?" tanya Reza. "Tempat ini kosong."

Mereka terus mengemudi, menyusuri jalan-jalan buntu yang ditumbuhi rumput. Mereka melewati "Pusat Olahraga" (sebuah kolam renang kosong yang penuh grafiti) dan "Plaza Komersial" (rangka baja berkarat yang diselimuti tanaman rambat).

Lalu mereka sampai di danau.

Atau, apa yang seharusnya menjadi danau. Itu adalah cekungan raksasa yang kering dan retak-retak, ditumbuhi ilalang setinggi manusia. Jalan berputar di sekelilingnya, menuju ke kluster perumahan "premium" di atas bukit.

Dan saat itulah Reza melihatnya.

Dia menempelkan wajahnya ke kaca jendela. "Ra..." bisiknya. "Berhenti. Santi, berhenti."

Santi menginjak rem. Mobil berhenti di tepi danau yang kering.

"Apa?" tanya RANIA, matanya memindai semak-semak, mencari ancaman.

"Di sana," kata Reza, menunjuk ke seberang danau, ke puncak bukit.

Rania dan Santi mengikuti arah telunjuknya.

Di antara puluhan rumah yang membusuk, yang ditutupi tanaman rambat dan coretan grafiti...

Ada *satu* rumah.

Rumah itu *sempurna*.

Rumah itu identik dengan yang lain—gaya *mediterania* palsu, dua lantai, garasi dua mobil. Tapi hanya itu kesamaannya.

Catnya berwarna krem segar, seolah-olah baru dicat minggu lalu. Rumput di halaman depannya terpotong rapi. Bunga-bunga *bougainvillea* berwarna merah muda cerah bermekaran dengan subur di teralisnya. Jendela-jendelanya bersih, memantulkan cahaya fajar yang sakit-sakitan.

Di jalan masuknya yang bersih, terparkir sebuah sepeda roda tiga anak-anak berwarna merah cerah. Sepeda itu berdiri tegak, tidak berkarat.

Keheningan di dalam mobil terasa berat.

"Itu... itu tidak mungkin," kata Santi, otaknya yang jurnalistik mencoba memproses anomali itu. "Pasti... pasti ada penjaganya? Seseorang... pengurus? Tinggal di sana?"

"Tidak ada jejak ban," kata RANIA pelan. "Jalanan menuju ke sana sama retaknya dengan yang lain. Tidak ada kabel listrik yang terhubung."

Dia menatap rumah itu. Dia bisa merasakan getaran samar di amuletnya.

Tempat ini *tidak* mati Gema.

Dia menatap Reza. "Za... kamu merasakan sesuatu?"

Reza, yang traumanya telah membuatnya menjadi "Sensitif" yang rusak, hanya menatap rumah itu. Dia tidak terlihat takut. Dia terlihat... bingung.

"Aku... aku tidak tahu," bisiknya. "Aku... aku merasa... sedih. Aku merasa... *kangen rumah*. Tapi bukan rumahku."

Rania memprosesnya. *Nostalgia.* Emosi yang tidak efisien. Gema yang berbahaya.

Santi meraih kamera cadangannya. "Aku harus ke sana. Kita harus..."

"Tidak," kata RANIA, suaranya setajam baja.

"Tapi, Ra, itu petunjuk! Itu satu-satunya hal yang hidup di sini!"

"Itu jebakan," kata RANIA. "Atau... anomali yang tidak kita mengerti. Sebuah Titik Buta yang aktif."

Dia menatap rumah itu dengan mata analitisnya. Rumah yang sempurna itu adalah kesalahan desain yang mencolok di tengah-tengah reruntuhan ini. Itu adalah *perangkap*. Itu terlalu rapi. Itu adalah **Tatanan** di tengah **Kekacauan**.

Dan Rania baru saja belajar untuk membenci Tatanan yang sempurna.

"Kita tidak akan mendekati rumah itu," katanya. "Kita akan mengawasinya."

Dia menunjuk ke arah yang berlawanan. Sebuah rumah yang hancur di sisi *danau* mereka, tersembunyi di balik rumpun bambu yang mati dan pohon beringin besar yang akarnya telah menghancurkan fondasi. Rumah itu adalah reruntuhan total, nyaris tidak terlihat dari jalan.

"Kita akan tinggal di sana," katanya. "Rumah itu memberi kita titik pengamatan yang sempurna ke anomali itu, sambil tetap tersembunyi."

Santi ingin berdebat. Ini adalah cerita terbesarnya. Tapi dia melihat tatapan di mata Rania. Itu bukan lagi tatapan temannya, atau narasumbernya. Itu adalah tatapan seorang komandan lapangan yang baru saja memilih pos pengamatan.

"Oke," kata Santi pelan. "Kita awasi."

Rania mengangguk. "Parkirkan mobilnya di belakang rumah yang hancur itu. Sedalam mungkin di antara pepohonan. Matikan mesin. Kita akan masuk berjalan kaki."

Santi menurut. Dia memarkir mobil, dan mereka bertiga melangkah keluar ke keheningan pagi yang baru. Mereka mengambil perbekalan mereka—air, *hard drive* Rania, dan sisa biskuit.

Mereka berjalan menuju markas baru mereka—sebuah rumah busuk—sementara dari seberang danau, rumah yang sempurna itu mengawasi mereka dalam keheningan yang bersih dan abadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!