Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Begitu pintu kamar hotel tertutup di belakang, suasana terasa berbeda. Langkah-langkah Almaira terasa ringan, seakan dia sedang berjalan di udara, melayang di antara kenyataan dan sesuatu yang tak bisa dia pahami sepenuhnya.
Almaira menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikiran, lalu menatap lurus ke depan.
Namun saat itu juga, sinar rembulan yang masuk melalui jendela besar membuatnya melebarkan mata.
"Ah"
Sebelum dia sempat menyesuaikan diri dengan cahaya, Yaga sudah berdiri di hadapannya. Dengan satu gerakan mulus, laki-laki itu menariknya ke dalam pelukannya, membalik tubuhnya dengan mudah.
Seolah tak ada lagi yang perlu ditahan, dia menunduk dan mendekatkan wajahnya.
"Suamiku.."
Suara itu hampir tidak terdengar ketika bibir mereka bersentuhan. Kehangatan langsung menyebar di antara mereka, membuatnya tak mampu berpikir jernih.
Yaga menahannya erat, seakan takut dia akan jatuh. Ada sesuatu dalam caranya mencium yang tidak sekadar sentuhan. Itu lebih dari sekadar kerinduan, sebuah keteguhan yang tak tergoyahkan.
Tanpa sadar, jemari Almaira mencengkeram lengan laki-laki itu, berusaha mencari pegangan di tengah pusaran perasaan yang membingungkan.
Saat Yaga sedikit menunduk, hendak kembali mendekatinya, Almaira berusaha mengucapkan sesuatu, namun suara itu hanya tertahan di tenggorokannya.
"Ungh..."
Yang keluar hanyalah napas terputus-putus dan desahan samar, nyaris seperti bisikan yang tersesat di antara jarak mereka yang begitu dekat.
Saat akhirnya Yaga melepaskan ciumannya, dia masih belum benar-benar melepaskan Almaira sepenuhnya. Bahkan dalam jarak yang singkat itu, dia masih menyentuhnya, seakan tidak ingin melepasnya begitu saja.
Almaira mengatur napasnya, menatapnya dengan mata berkilat, tetapi laki-laki itu hanya tersenyum kecil dan mengecupnya sekilas, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun alih-alih mundur, Yaga justru semakin erat menggenggamnya. Tatapan matanya tetap dalam, penuh ketegasan, seolah membaca setiap ekspresi yang berusaha disembunyikan Almaira.
Saat Almaira mencoba menggenggam pergelangan tangannya untuk mencegah gerakan lebih jauh, Yaga justru semakin memperdalam tatapannya, seakan menunggu sesuatu dari dirinya.
Detik itu terasa lebih panjang dari seharusnya, membiarkan mereka tenggelam dalam keheningan yang sarat dengan makna yang belum diucapkan.
Napas Almaira terputus-putus, tersangkut di sela kata-katanya.
Yaga menunduk sedikit, mengecup keningnya dengan lembut, lalu berbisik pelan.
"Haruskah aku melepasnya?''
Jarinya naik ke kancing teratas kardigan Almaira yang telah dikancingkan sampai penuh.
Panik, Almaira buru-buru menangkap tangannya, menghentikan gerakannya.
"Ayo masuk dulu ke dalam..."
"Hm.."
Tatapan Yaga dipenuhi senyum miring yang menggoda, membuat Almaira semakin erat menggenggam tangannya.
Saat dia menatapnya tajam, laki-laki itu justru tertawa pelan sebelum tiba-tiba mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan. Meski lampu belum dinyalakan, kamar tidur tetap terang.
Almaira berdiri diam di tempat Yaga menurunkannya, matanya menatap ujung tirai sifon tipis yang menutupi jendela besar.
Jemarinya tanpa sadar menyentuh kancing atas kardigan yang tadi disentuh Yaga. Lalu, dia berbalik, melirik suami yang kini duduk di tepi tempat tidur.
"Jangan salah paham."
"Tentang apa?"
"Aira masih belum memaafkan Kak Yaga."
"...."
Yaga menundukkan kepala sejenak, menanggalkan jam tangannya. Lalu, dengan tawa kecil, dia mengangguk pelan. Jam itu dilempar begitu saja ke samping, sementara tatapannya kembali ke arah Almaira.
"Baiklah, aku salah. Jadi maafkan aku ya?"
Wajah Almaira menegang. Sesaat, bibirnya terbuka, tetapi tak ada kata yang keluar. Lalu, napasnya tercekat, dadanya penuh dengan sesuatu yang mendidih.
Dengan langkah pelan, Almaira berjalan mendekatinya. Langkahnya mantap, tapi dalam diam, tangannya bergetar.
Dari awal hingga akhir, Yaga hanya menatapnya, sama sekali tak berkedip.
Sementara Almaira menatapnya dengan mata yang memerah dan bergetar. Dan suara yang akhirnya keluar, nyaris seperti isakan yang tertahan.
"Kak Yaga tahu, seberapa sulitnya Aira menunggu?"
Almaira menundukkan kepala, bahunya bergetar halus. Saat itulah Yaga akhirnya berdiri dari tempatnya duduk.
Saat laki-laki itu mendekat, secara refleks dia ingin mundur, tetapi dia tidak sempat. Tangannya yang kokoh menangkup wajahnya, memaksanya menatap langsung ke arahnya.
"Ya, aku tahu."
Dengan gerakan lembut, jarinya menyapu pipinya, seolah menghapus air mata yang bahkan belum sempat jatuh.
Tatapan mata laki-laki itu penuh kehangatan. Begitu lembut, begitu penuh kasih… Dan itu benar-benar mengerikan. Karena tempat ini, di mana dia berada sekarang, di antara lengannya, rasanya goyah. Seolah dia bisa jatuh kapan saja.
"Jika sudah sampai, maka seharusnya Kak Yaga kabari Aira. Kenapa begini..?"
"....."
"Saat Kak Yaga bilang kita harus saling mengabari, Aira setuju dan Kak Yaga pergi begitu saja. Aira sempat berpikir, apakah Kak Yaga ingin kita benar-benar berpisah selamanya?"
Dia terus bertanya, terus memaksa dirinya mengulang kata-kata itu. Seperti sedang menyusun mantra, seperti sedang meneguhkan hatinya sendiri.
Yaga hanya tersenyum tipis.
"Hm, begitukah yang kamu pikirkan?" Lalu, dengan nada santai, dia menambahkan, "Coba renungkan baik-baik, Almaira.... Apa aku pernah benar-benar mengatakan aku ingin berpisah denganmu?"
"……"
"Tidak, sampai maut memisahkan kita. Kamu tidak akan pernah ku lepaskan."
Almaira mengerjapkan matanya perlahan. Saat kelopak matanya terangkat lagi, butiran air mata yang menggenang di sudut matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya.
Betapa lucunya, dengan gerakan cepat, Almaira mengangkat tangannya, menepis jari laki-laki itu dari wajahnya.
"Berhentilah mempermainkan perasaan Aira Kak… Aira tidak suka."
Saat matanya yang basah menatapnya lurus-lurus, laki-laki itu justru tertawa kecil.
"Kita suami istri. Kamu mencintaiku. Aku mencintaimu. Lalu, kenapa kita harus berpisah?"
Itu dikatakan dengan wajah yang begitu tenang, seolah menyampaikan ini adalah fakta yang mutlak.
Saat melihatnya di berita beberapa waktu lalu, dia tetap tenang, tetap berwibawa, tetap bersih dari skandal, Almaira berpikir bahwa mungkin… Mungkin dia adalah satu-satunya yang selalu memikirkannya.
Dia yang menangis, dia yang khawatir, dia yang berantakan. Saat tertawa bersama Anita, saat bercanda dengan Rita dan Pratama, itu terasa normal.
Tetapi setiap kali malam tiba, setelah mengucapkan selamat tidur dan kembali ke kamarnya, semuanya kembali ke kenyataan. Dalam gelap, dia terus mencari namanya. Dia membaca dan membaca lagi setiap artikel yang memuat wajahnya, memastikan dia baik-baik saja. Dia tidak bisa melupakannya. Dia menunggu kabarnya, dia memeriksa setiap pesan yang masuk. Dia merasa bodoh karena tidak bisa lepas dari pikirannya. Tapi sekarang, laki-laki ini dengan santainya berkata,
Apa aku pernah mengatakan aku benar-benar ingin berpisah dengan mu?
Kita suami istri. Kamu mencintaiku. Aku mencintaimu. Lalu, kenapa kita harus berpisah?
Tidak, sampai maut memisahkan kita. Kamu tidak akan pernah ku lepaskan.
Seolah waktu yang mereka habiskan untuk berpisah hanyalah masa penundaan yang tak berarti.
"Coba pikirkan, kenapa menurutmu, aku pergi tanpa mu saat itu?"
Laki-laki itu bertanya dengan nada lembut, seolah benar-benar ingin dia memikirkannya.
"Karena ada urusan, kan?"
"Almaira, kamu tahu itu bukan alasan yang cukup untuk aku harus meninggalkan mu"
"....."
"Kenapa menurutmu aku mengungkit-ungkit Maura dan Amera, dan membiarkan mantan tunanganmu dipermalukan?”
"....."
"Jika bukan karena kamu, kenapa aku harus peduli? Kenapa aku harus peduli apakah KTV bekerja sama dengan keluarga SIN untuk menyembunyikan dana gelap? Kenapa aku harus peduli apakah Amera bersenang-senang dengan mantan tunanganmu?"
Kata-katanya begitu santai, begitu jelas, seakan ini semua adalah rencana yang sudah dia susun sejak awal.
Kelopak mata Almaira bergetar. Apakah dia baru saja mengatakan bahwa semua yang terjadi… Semua yang membawa keluarga SIN ke permukaan… Bahwa semua itu terjadi karena dia sendiri yang mendorongnya? Jika benar bahwa semua ini adalah perbuatannya, kenapa dia harus berjuang begitu banyak dalam prosesnya?
Pelan-pelan, Almaira mengingat bagan yang pernah dia lihat di sebuah artikel berita.
Di tengahnya, ada foto Yaga
Saat itu, dia berpikir bahwa dia Adalah kunci terbesar dari semuanya. Namun, jika ini semua adalah rencananya dari awal.. Maka semua yang dia ketahui selama ini adalah kenyataan.
Pada saat itu, akal sehat Almaira runtuh seketika dan air mata membanjiri matanya. Sulit untuk berpura-pura baik-baik saja lagi, tetapi saat dia menangis di dalam hati, Yaga tampaknya menganggap seluruh situasi itu cukup lucu.
Dia menunduk sedikit, memperhatikan wajahnya dari samping, lalu tiba-tiba berkata,
"Haruskah kita lanjutkan saja?"
Saat itu juga, Yaga yang baru saja berhasil membuka satu kancing kardigannya terhenti.
Mata Almaira menatapnya dengan ragu.
"Kenapa?"
Yaga balas menatapnya seolah bertanya apa yang salah.
"Aira.. mau mandi dulu."
Begitu Almaira berbalik menuju kamar mandi yang terhubung dengan kamar tidur, Yaga langsung mendekat. Dengan langkah panjang, dia menyusul dan berdiri tepat di belakangnya.
Kehadiran laki-laki itu begitu nyata, begitu dekat, membuat tenggorokannya bergerak menelan ludah tanpa sadar. Dia berusaha tetap tenang, mempertahankan sisa harga dirinya. Menoleh sedikit, tatapan mereka bertemu.
"Jadi kamu boleh, tapi aku tidak?"
Nada suara Yaga terdengar miring, tepat menangkap maksud tersembunyi di balik niat Almaira. Bibirnya terkatup rapat, tak bisa membalas.
"Almaira, kamu istriku yang agak licik, ya?"
Yaga tersenyum tipis, matanya sedikit menyipit dengan ekspresi menggoda.
Begitu dia selesai mengatakan itu, tidak seperti Yaga yang terlihat seperti akan melepas dengan kasar pakaiannya dan menggigitnya, dia secara mengejutkan, langsung masuk ke kamar mandi dan mandi lebih dulu.
Dia keluar dengan jubah mandi, mengambil sebotol minuman dingin entah dari mana, dan duduk di sofa, sambil memberi isyarat singkat dengan dagunya agar Almaira ikut mandi.
Bahkan saat Almaira keluar dari kamar mandi, Yaga masih minum apa yang tampak seperti minuman bersoda.
Di satu tangan ada gelas, di tangan yang lain ada hp... Dengan wajah yang bahkan tampak tidak terbaca dia menghirup udara kosong lalu meneguk minuman.
Mengenakan jubah mandi yang warnanya sama seperti Yaga, Almaira duduk di sofa agak jauh, menatap Yaga. Pemandangan kota malam itu spektakuler, tapi dia tidak bisa melihat apa-apa.
"Almaira"
"Ya."
"Apa aku membawa mu datang ke kesini hanya untuk istirahat?"
Yaga melonggarkan simpul jubah mandinya, menyingkirkannya, dan bergumam sinis sambil meletakkan gelas dan hp di meja.
"Apa kamu sempat berpikir sudah saatnya kamu melompat tanpa aku suruh?"
Saat Almaira berdiri, dia menepuk paha kirinya sekali, memberi isyarat agar dia duduk.
Ketika Almaira duduk dengan sopan di pahanya, Yaga melingkarkan lengannya di pinggangnya. Sentuhan dan kehangatan tangannya terasa sangat menenangkan, dan Almaira menelan ludah.
"Apanya yang cantik ya?"
Almaira mengerutkan keningnya
"Entahlah..."
"Jika kamu tidak tahu, setidaknya coba kamu tersenyum sedikit sayang."
Saat itulah, pikiran Almaira dilanda kebingungan, pertanyaan lain yang bahkan lebih meresahkan muncul padanya.
"Apa mimpimu?"
"Mimpi Aira....?"
Yaga menyesap minumannya dengan tatapan kosong. Seperti orang yang mendengar sesuatu yang tidak mau di dengar. Cairan bersoda yang tersisa di gelasnya mengalir ke tenggorokannya.
"Almaira, dua puluh satu tahun. Bukan hanya kehidupan mu yang kutahu tentangmu. Oh," Yaga menambahkan "Makanan favoritmu masih martabak telur, kan?
"Ya, Aira tidak punya mimpi Kak"
"Tidak lagi? Bagaimana dengan sekarang?"
"Aira ingin kita melupakan segalanya dan hidup seperti dulu. Untuk menghapus semua luka dan kembali seperti keadaan semula."
Cara dia menjawab tanpa beban terasa seperti hembusan angin dingin. Yaga menyipitkan matanya dan meletakkan gelasnya yang kini kosong.
Suara gelas yang beradu dengan meja seakan bergema di seluruh ruang kamar yang sunyi.
"Bagaimana dengan Kak Yaga?"
"Aku? Hmm.., aku tidak tahu."
Jawabnya singkat, Yaga mencengkeram dagu Almaira, memasukkan ibu jarinya ke dalam bibir Almaira yang terbuka.
"Ugh,"
"Almaira, melihatmu membuatku marah dan senang di waktu bersamaan. Rasanya membingungkan."
Almaira tidak mampu menahannya lagi dan berusaha mendorong ibu jarinya keluar dengan lidahnya, namun setiap kali dia melakukannya.
Yaga tidak peduli, malah mendorong ibu jarinya semakin masuk ke dalam mulutnya, seolah dia sedang menghukumnya.
"Aku bahkan rela memotong tali kekangmu sendiri, meskipun aku sendiri yang rugi." Matanya yang dingin menatap ke arahnya, membuatnya merinding.
Memanfaatkan keadaan Almaira yang linglung, dia menarik ibu jarinya, meluncurkan tangannya ke bawah, menyingkirkan jubah mandi yang dia kenakan.
Ah, sebelum Almaira sempat menenangkan diri, kedua jari Yaga menyelinap masuk di bawah jubah mandinya.
Almaira refleks mencengkeram bahunya erat-erat dan menggelengkan kepalanya berulang kali. Yaga yang tampak senang melihat reaksi Almaira, tertawa pelan.
Laki-laki itu pasti merasakan betapa mudahnya dia terangsang hari ini karena dia tersenyum. Itu adalah ekspresi yang sangat puas.
"Mau aku masuk?"
"Huh, Kak Yaga aku...."
"Buka kakimu. Aku akan masuk."
Seolah dia tidak pernah bermaksud mempertimbangkan keinginan Almaira, dia mengendong tubuhnya, dan membaringkannya di tempat tidur.
Yaga merentangkan lututnya dan dengan satu gerakan cepat, dia menarik celana yang didalamnya lalu merangkak di antara kedua kakinya.
"……!"
Almaira tersentak kaget dan dengan cepat meremas kedua bahunya. Pahanya terbuka di depannya.
Yaga mencabut tali jubah mandinya mengikat pergelangan tangan Almaira di atas kepalanya. Tiba-tiba, gelombang ketakutan melanda dirinya, dan Almaira tercengang karenanya.
"K-kak Yaga lepaskan, Aira tidak suka. Ini aneh... Ayo kita lakukan itu seperti biasa.."
Yaga terkekeh pelan, meniup lembut helaian rambut Almaira yang menutupi dahinya. Dari ekspresinya yang dingin, Almaira bisa dapat melihat suasana hati Yaga telah berubah drastis menjadi lebih dingin.
Kapan Aira membuatnya marah lagi? Kenapa dia mengikat tangan Aira seperti ini?
"Kita tidak bisa kembali seperti dulu, Almaira."
"Eh?"
"Karena sekarang aku suamimu. Jadi, mengadu lah padaku sekeras yang kamu mau."
Dia menyentuh leher Almaira, menekan tubuhnya yang besar ke arahnya. Almaira bisa merasakan sesuatu yang keras dan mengancam muncul di antara kedua kakinya lalu masuk sekaligus tanpa peringatan.
Rasanya aneh..
Ini menyenangkan tapi memalukan, menggairahkan tapi dia ingin melarikan diri.
"Lepaskan ikatannya Kak… Aira tidak mau..."
"Katakan sejujurnya Almaira. Rasanya nikmat, kan?"
"Itu..., dasar Kak Yaga mesum!"
"Apa?"
"Kak Yaga mesum"
Tanpa sadar Almaira menggoyangkan pinggulnya. Semakin Almaira bergoyang, semakin keras suara yang dibuat Yaga di bawah..
Tiba-tiba dia merengkuh Almaira ke dalam pelukannya.
"Lingkarkan tanganmu di leherku."
Almaira melakukan apa yang diperintahkan Yaga, mengaitkan lengannya yang mulus di lehernya yang kuat.
"Imutnya...."
Terpesona oleh senyum kekanak-kanakan yang muncul di wajahnya. Jantung Almaira berdebar kencang seolah akan meledak kapan saja.
Dia bilang... Aira imut?
"Buka bibirmu"
Seolah terhipnotis, Almaira membuka bibirnya dan dengan naluri dia memasukkan lidahnya. Menuangkan semua ketulusan dalam ciumannya.
Dengan lengan yang melingkari lehernya, Almaira menatap Yaga dengan mata setengah terbuka, lalu memohon,
"Jangan… jangan tinggalkan Aira lagi Kak... Suatu hari nanti"
Wajahnya kosong, seolah-olah dia bahkan tidak tahu apa yang dia katakan.
"Aira tidak suka... Dan, sebenarnya... Aira tersenyum saat itu, untuk berpura-pura kuat. Bukan karena Aira merelakan Kak Yaga pergi. Tapi..."
Almaira bicara tanpa berpikir, tapi sekarang dia menyesal. Dia menyesal tidak bisa membedakan antara cinta dan ketulusan.
"A_aria kesepian Kak.. Jadi, tetaplah Kak Yaga di samping Aira seperti ini... Aira cinta Kak Yaga."
Mata Yaga membelalak, jantungnya berdebar kencang, seakan ingin meledak di dadanya.
Dasar bodoh Almaira, dasar bodoh. Dari dulu kamu memang benar-benar bodoh.
Yaga menatap Almaira tanpa suara selama beberapa saat, lalu perlahan menundukkan kepalanya. Membelai pipi Almaira dengan lembut seolah-olah itu adalah sesuatu yang berharga, lalu, dengan senyum lembut dia menjawab.
"Baiklah, kalau itu yang kamu mau, dengan senang hati aku akan melakukannya. Almaira."
"Terimakasih Kak.."
Saat itu, helaian rambut halus Almaira berkedip-kedip di antara kedua matanya. Kehangatan kulitnya menyentuh jari-jarinya, kehangatannya yang lembut. Dan aroma tubuhnya yang tidak pernah berubah...
"Hah... Almaira, aku mencintaimu.."
***