"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Mulai Peduli
Di Dalam Kamar
Kanya menggelar sejadah. Lalu berdiri. Tak lagi ada siapa-siapa di ruangan itu, hanya dirinya dan Tuhannya.
Tak ada cadar di wajah.
Tak ada ketegaran yang dipertahankan.
Hanya Kanya, seorang istri yang kelelahan menahan luka.
Dan seorang hamba yang ingin pulang pada Sang Pemilik ketenangan.
"Allahu akbar…"
Takbir itu lirih, tapi di dalamnya ada gemuruh air mata.
Sujudnya lama. Penuh. Tertahan.
Dan di dalam sujud itu, ia berkata dalam diam yang menyayat:
"Ya Allah… jika aku salah dalam mencintai, bimbing aku. Jika aku lemah dalam bersabar, kuatkan aku. Tapi jika aku benar dalam memilih jalan-Mu… maka cukupkan aku dengan ridha-Mu."
Pundaknya berguncang pelan. Tapi tak ada suara tangis. Hanya air mata yang menetes membasahi sajadah, saksi atas pergolakan hati yang tak pernah ia ceritakan pada siapa pun.
Usai salam, ia masih diam. Duduk lama. Matanya sembab tapi teduh.
Seolah tangis tadi membasuh luka-luka yang menyesaki relungnya.
"Aku hanya ingin menjadi istri yang baik…
Meski aku tahu… mungkin aku tak akan pernah jadi istri yang dicintai."
Ia menghapus air matanya, lalu berdiri. Mengenakan kembali cadar.
Bukan untuk menyembunyikan luka. Tapi untuk menguatkan diri.
Lalu ia pergi, melanjutkan hari, dengan luka yang tak ditunjukkan, dan cinta yang tak pernah diminta untuk dibalas.
***
Langit mulai meredup, dan lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menumpahkan cahaya ke trotoar yang masih ramai oleh lalu lalang orang.
Kanya berdiri di tepi jalan, menatap ke arah minimarket di seberang. Ada beberapa barang yang perlu dibeli sebelum malam, dan ia ingin segera kembali sebelum adzan magrib berkumandang.
Langkahnya hendak maju, tapi tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat sosok seorang ibu paruh baya melangkah ke tengah jalan. Tangan ibu itu menenteng tas belanja, satu lagi menggenggam ponsel. Pandangannya tidak sepenuhnya ke depan.
Sebuah motor melaju dari arah kanan, cepat.
Mata Kanya melebar. Refleksnya bergerak lebih cepat dari pikirannya.
"Awas!" serunya.
Dalam satu tarikan napas, ia melompat ke arah wanita itu dan menarik tubuh renta itu ke belakang, tepat sebelum motor melintas dan membunyikan klakson keras.
"Hati-hati, Bu!" pekik pengendara motor, lalu menghilang di tikungan.
Tubuh Kanya dan si ibu terjatuh ke aspal trotoar.
Suasana di sekitar mereka hening sesaat. Beberapa orang yang melihat kejadian itu mulai mendekat.
Kanya buru-buru bangkit. Sakit menyengat terasa di lututnya yang membentur keras, tapi ia tetap membantu ibu itu lebih dulu.
"Bu, Ibu nggak apa-apa?" tanyanya cemas.
Ibu itu mengangguk pelan, tapi wajahnya meringis. Rok batiknya tersingkap sedikit, memperlihatkan luka lecet dan darah yang mengalir tipis dari lututnya.
"Lutut Ibu berdarah..." Kanya membuka totebag kecilnya, mengeluarkan tisu, lalu menekannya perlahan ke luka sang ibu.
"Astaghfirullah... kamu juga jatuh, Nak. Gimana lututmu?" tanya ibu itu balik, melihat gamis Kanya yang sedikit kotor di bagian bawah.
Di balik cadarnya, Kanya tersenyum kecil. "Aku nggak apa-apa, Bu. Serius."
Tapi saat ia berdiri, rasa nyeri memukulnya dari dalam. Lutut kirinya terasa ngilu, memar mungkin. Tapi tidak berdarah. Gamis tebal yang ia kenakan cukup melindunginya dari gesekan kasar aspal.
Orang-orang mulai bubar setelah tahu keduanya selamat.
Kanya tetap di sisi wanita paruh baya itu, membantu memapahnya ke bangku di pinggir trotoar yang teduh di bawah pohon, meski langkahnya sendiri terpincang, sisa dari kecelakaan beberapa tahun silam, kini diperparah oleh nyeri baru akibat jatuh tadi.
Wajah sang ibu menyiratkan kekhawatiran saat melihat cara jalannya.
“Kakimu…?” tanyanya pelan, hampir tak tega.
Kanya tersenyum samar di balik cadarnya.
“Kakiku memang begini, Bu. Sudah lama. Karena kecelakaan.”
“Maaf…” suara wanita itu melemah, penuh sesal.
“Ibu malah bikin kamu terluka lagi.”
Kanya menggeleng lembut.
“Ini bukan salah Ibu.” Ia berusaha tetap tenang, walau lututnya terasa berdenyut.
“Ibu duduk dulu, ya.”
Dengan hati-hati, Kanya menuntunnya hingga duduk, lalu berjongkok di depannya, meski lututnya sendiri seolah menjerit, ia tetap memastikan lutut sang ibu tak berdarah parah.
“Bu aku pesankan ojek online, ya,” lanjutnya, jemarinya sigap membuka ponsel.
Wanita itu memegang tangan Kanya, matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, Nak… Ibu nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak cepat narik Ibu tadi.”
Kanya membalas genggaman tangan itu dengan hangat.
“Sebagai sesama manusia, kita harus saling tolong-menolong, 'kan, Bu?” suaranya lembut tapi tegas.
Wanita itu tersenyum, terharu.
“Kau baik sekali…” bisiknya, lirih tapi penuh syukur.
“Jarang sekarang ada anak muda yang seperti kamu.”
Kanya hanya tersenyum dari balik cadarnya. Ia tak merasa telah melakukan sesuatu yang luar biasa, hanya apa yang seharusnya dilakukan siapa pun yang punya hati.
Beberapa menit kemudian, saat ibu itu telah diantar pulang dengan aman, barulah Kanya duduk sendiri di bangku yang sama. Ia menghembuskan napas panjang dan menyentuh lututnya yang masih berdenyut.
Hari ini, ia tak jadi ke minimarket. Tapi hatinya tenang.
Karena hari ini, ia masih bisa menjadi alasan seseorang selamat.
***
Kanya membuka pintu kamar perlahan.
Langkahnya masuk dengan hati-hati, pincangnya lebih kentara dari biasanya. Rasa nyeri di lututnya makin tajam setelah jatuh tadi, tapi ia berusaha tetap tenang, seolah tak ada yang terjadi.
Kamar masih lengang. Tak ada deru mobil yang menandakan kepulangan Kian. Ia menghela napas lega, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Usai berwudhu dan menunaikan salat Magrib sambil menahan nyeri di lutut, ia duduk di tepi ranjang. Gamisnya disingkap pelan hingga paha, memperlihatkan lutut kirinya yang sudah membiru. Jemarinya membuka tutup salep, dan saat hendak mengoleskan, klik.
Pintu kamar terbuka.
Refleks, Kanya menarik ujung gamisnya menutup kakinya, tapi terlambat. Kian sudah berdiri di ambang pintu, sorot matanya langsung menangkap gerakan cepat itu.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya datar.
Kanya bangkit dari ranjang, menahan rasa sakit, berusaha berjalan biasa sambil berkata, "Tak ada."
Tapi Kian menatapnya lebih tajam. Ia menjatuhkan jasnya ke ranjang tanpa melepaskan pandangan. "Cara jalanmu... beda dari biasanya."
Kanya menunduk sejenak, lalu mendekat dan mengambil jas pria itu. Namun mata Kian menelusuri langkah Kanya yang tidak seperti biasanya.
"Kakimu kenapa? Masih sakit karena kecelakaan itu?" tanyanya lagi. Nada suaranya tenang… tapi ada sesuatu yang terselip di sana, rasa bersalah? Atau peduli yang belum ia sadari? Entahlah.
"Nggak kok," jawab Kanya seraya menggantung jas Kian. Suaranya ringan, seperti biasa. Tapi jawabannya mengandung sebagian kebenaran saja.
Kian menyipitkan mata. "Kau bohong. Cara jalanmu jelas berbeda."
Di balik cadarnya, senyum kecil muncul di bibir Kanya.
"Oh? Suamiku mulai peduli padaku?"
Kian mendengus pelan dan memalingkan wajah. "Aku cuma pengen tahu. Kalau terjadi apa-apa sama kamu dan aku gak tahu, nanti Papa dan Mama negur aku. Sejak kamu tinggal di sini… aku kayak anak tiri."
Kanya terkekeh pelan, lalu menghela napas.
"Hanya sedikit sakit... tadi jatuh." Ia tak menjelaskan lebih lanjut.
Wajah Kian mengeras. "Biar kulihat."
"Enggak usah."
"Aku mau lihat lututmu. Jangan membantah."
Tiba-tiba ia menarik tangan Kanya. Refleks Kanya menahan, tapi tarikan itu membuat lututnya berdenyut tajam.
"Awh!" erangnya tertahan.
Kian langsung berhenti. Tubuhnya menegang. Tatapannya berpindah cepat dari wajah Kanya ke kaki yang tertutup gamis. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia membungkuk dan mengangkat tubuh Kanya ke pelukannya.
"A-apa yang kau lakukan?!" pekik Kanya kaget, tangannya spontan melingkar ke leher Kian.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk
jangan sampai deh takut syok😁😁😁
yang menyepelekan Kanya,yang merasa dia paling sempurna