NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:684
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keajaiban di Kampus London

Ruangan seminar yang luas di Universitas London terasa mencekam bagi sebagian mahasiswa. Sebuah presentasi proyek telah selesai, dan kini saatnya penilaian. Seorang dosen bule bertubuh jangkung, Profesor Davies, menatap tajam ke arah seorang mahasiswa yang duduk di barisan depan.

"Denny Louis! Come here!" Profesor Davies memanggil, suaranya menggelegar di aula.

Denny dengan langkah gontai mendatangi sang dosen. Dag dig dug der, jantung Denny serasa mau copot, berdebar kencang di dadanya. Ia takut kalau seluruh pekerjaan kerasnya selama ini sampai sia-sia, proposalnya kembali ditolak.

Profesor Davies mengambil beberapa lembar kertas dari mejanya. Denny menahan napas. Namun, senyum tipis akhirnya terukir di wajah bule itu. "Good!" gumamnya, lalu menyerahkan beberapa lembar kertas itu kepada Denny.

Denny terbengong sesaat, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia melirik kertas tersebut dan hanya ada beberapa coretan merah saja, bukan tanda penolakan. Ini jauh lebih baik daripada yang sebelumnya, yang selalu dipenuhi coretan tebal. Denny merasakan kelegaan yang luar biasa.

"Guys, gue berhasil yey…," Denny berteriak kegirangan, suaranya memenuhi aula, tidak peduli dengan tatapan mata mahasiswa lain. Ia begitu bahagia, sebuah beban berat terangkat dari pundaknya. Untuk merayakan keberhasilannya, Denny berjanji mentraktir semua best friends forever-nya di sebuah pub malam itu. Mereka semua merayakannya dengan pesta minuman keras yang riuh.

Denny minum dengan sangat banyak, tanpa kendali, hingga membuatnya mabuk berat. Dunia terasa berputar, langkahnya sempoyongan, dan bau alkohol menyeruak dari sekujur tubuhnya. Penglihatannya sudah rabun, buram oleh efek minuman, hingga menyebabkan ia salah masuk apartemen. Bukan pintu unitnya yang ia tuju, melainkan justru memasuki pintu 141 yang kebetulan adalah pintu apartemen milik Haisya, yang sedang dalam keadaan tidak terkunci.

Dengan sisa kesadarannya, Denny menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa yang ia kira adalah miliknya. Dalam sekejap, ia terlelap begitu saja di sana, lelap dalam mabuknya.

***

DI APARTEMEN Haisya, TENGAH MALAM.

Haisya baru saja selesai melipat mukenanya usai menunaikan shalat tahajud. Ia teringat bahwa ia belum mengunci pintu apartemennya. Dengan sedikit rasa cemas, ia berjalan menuju pintu. Saat ia kembali, matanya membulat. Sebuah siluet tubuh tergeletak di sofanya.

"Aaaaa…" Haisya menjerit, terkejut. Ia melihat sosok laki-laki berbadan tidak terlalu tinggi, berkulit manis, namun sedikit gelap, terkapar di sofanya.

Setelah mengatasi keterkejutannya, ia mengenali sosok itu. "Denny?" Ia berusaha membangunkannya, menggoyangkan bahunya perlahan, tetapi Denny telah benar-benar berada di alam mimpi, bergerak sedikit pun tidak.

"Duh, gimana ini... Denny nggak mau bangun lagi... iiiih bau alkohol, dia pasti baru saja mabuk, dasar laki-laki," Haisya menggerutu, namun ada nada prihatin dalam suaranya. Ia berpikir sejenak, memutar otak.

Hati Haisya teringat akan sebuah prinsip yang selalu ia pegang: Terkadang kita harus berlaku baik, meskipun kepada orang yang tidak berbuat demikian terhadap kita. Ia mengingat kembali ajaran tentang pengampunan dan ketulusan, bahwa kunci untuk 'Berfokus Pada Tujuan' adalah Heal Your Heart: Memaafkan, Melupakan, Mengikhlaskan.

Haisya berjalan menuju kamarnya dan mengambil sebuah selimut tebal. Ia kembali ke ruang tamu, dan dengan perlahan menyelimuti tubuh Denny agar ia tidak merasa kedinginan. Setelah itu, Haisya kembali ke kamarnya dan mengunci pintu kamar rapat-rapat. Kini ia bisa tidur dengan tenang, meskipun ada seorang pria mabuk di ruang tamunya.

***

KEESOKAN PAGINYA, DI APARTEMEN Haisya.

"Huaaam…" Denny terbangun dari tidurnya, mengerjapkan mata, kepalanya pusing. "What, gua di mana?" Ia tersadar bahwa dirinya berada di tempat yang asing, bukan apartemennya. Ia lihat sekelilingnya, dan pandangannya tertuju pada seorang gadis yang sedang sibuk memasak di dapur, membelakanginya.

"Loe...?" Denny bergumam, suaranya serak.

Haisya menoleh, sedikit terkejut namun tetap tenang. "Eh, sudah bangun? Jam berapa ini?" Haisya melirik sebuah arloji di dinding yang menunjukkan pukul 07.30 AM. Denny langsung tersentak, wajahnya menunjukkan kecemasan. Ia takut akan terlambat dan akan berurusan dengan Profesor Davies, dosen killer yang paling ia benci.

"Sudah, tenang aja, jam kuliah diundur menjadi satu setengah jam lagi," ucap Haisya, seolah-olah mengerti kecemasan Denny. Ia tersenyum tipis.

"Heh, cewek cupu, lo apain gue semalem, hah?" Denny bangkit dari sofa, berjalan mendekat dengan tatapan mengintimidasi, hingga akhirnya mentok ke dinding. Ia menghalangi Haisya dengan kedua tangannya, membuat Haisya tak bisa pergi ke mana-mana.

"Apaan sih... mundur nggak!" Haisya menuntut, sedikit panik karena jarak yang begitu dekat.

"Jawab dulu pertanyaan gua, atau jangan-jangan loe sudah..." Denny mengintimidasi, matanya menyipit.

"Sudah apa, hah! Kamu sendiri yang masuk tempat orang tanpa permisi, main tidur sembarangan lagi!" Haisya membantah, nada suaranya meninggi.

"Mana mungkin gue salah masuk, seingat gua tuh gua sudah benar masuk tempat gua. Lo pasti culik gua ya... hayo ngaku!" Denny menuduh, tidak percaya bahwa ia salah masuk.

"Idih, ogah amat nyulik orang kayak kamu," Haisya menjawab ketus, merasa terhina. "Asal kamu tahu ya, kamu tuh semalam mabuk dan salah masuk ruangan, kamu tidur di sofa dengan pulasnya. Makanya aku ambilin selimut biar nggak kedinginan. Harusnya kamu tuh bersyukur karena masih aku baikin, coba aja kalau semalam aku seret kamu keluar dan ngebiarin kamu kedinginan tidur di lobi." Haisya membalas dengan nada kesal namun jujur.

"Hmm, gitu ya..." Denny melepas tangannya dari dinding, melangkah beberapa langkah ke belakang, wajahnya sedikit berpikir. "Siapa suruh lo baik sama gua, gua juga enggak butuh kebaikan loe. Loe baik pasti ada maunya kan? Secara orang miskin kayak lo pasti mau manfaatin orang kaya, kayak gue kan?" Nada bicaranya kembali merendahkan.

"Guard your mouth," Haisya memperingatkan, matanya menatap tajam.

"I don't care," Denny membalas arogan. Tanpa menunggu balasan Haisya, ia berjalan dengan sombongnya keluar dari apartemen Haisya, membanting pintu.

"Denny Louis...! I hate you!!!" Haisya berteriak, melampiaskan kekesalannya, kemudian menangis terisak. "Aku benci kamu, Denny... hiks hiks."

***

Kecelakaan dan Titik Balik

Beberapa hari kemudian, Haisya, gadis berhijab hijau army, berjalan dengan tatapan kosong di jalanan London yang sibuk. Wajahnya pucat dan tampak sedang memikirkan sesuatu yang berat, kata-kata Denny masih terngiang-ngiang di telinganya.

"Kenapa hatimu sekeras baja, Denny? Kenapa kamu tidak bisa berubah?" batin Haisya.

"Aarrgghh!!!!" Haisya tiba-tiba berteriak, melampiaskan segala kekesalan dan keputusasaannya, di jalanan yang kebetulan tak seorang pun pengendara melintas.

Namun, tak lama setelah teriakannya, "Derrrr..."

Suara benturan yang sangat keras mengagetkan Haisya. Ia menoleh, dan melihat sebuah mobil BMW putih yang mengeluarkan asap tebal dan penyok parah di bagian depannya. Darah seketika berdesir di tubuh Haisya.

"Denny!!" Haisya berlari sekuat tenaga ke arah mobil tersebut. Ia melihat orang yang ia benci sekaligus ia kasiani—Denny—berada di balik kemudi. Denny tidak sadarkan diri, dengan darah segar yang mengalir dari pelipisnya.

"Denny, sadar... Denny, tolong sadarlah... aaaa... Denny..." Haisya panik, tangannya gemetar meraih ponselnya. Dengan cepat, ia menelepon nomor ambulans. Tak lama kemudian, tim medis tiba dan segera membawa Denny ke rumah sakit terdekat.

Haisya dengan setia mengikuti Denny ke rumah sakit. Lukanya langsung ditangani oleh tim medis. Setelah beberapa pemeriksaan, dokter keluar dan mengabarkan kepada Haisya bahwa Denny tidak apa-apa, lukanya tidak terlalu parah, dan untungnya ia segera dibawa ke rumah sakit.

Haisya merasa lega, sebuah beban besar terangkat dari dadanya. Ia menjenguk Denny sebentar di ruang perawatan, melihat Denny masih terbaring lemah. Haisya hendak pergi, merasa tugasnya sudah selesai. Namun, sesuatu telah menahan tangannya. Denny, yang sudah sedikit sadar, menggenggam tangannya erat.

"Jangan pergi, temenin gua," pinta Denny, suaranya lemah.

"Untuk apa? Supaya kamu bisa terus menghinaku?" Haisya bertanya balik, mencoba menahan emosi.

"No, bukan itu maksudku." Denny merintih, tangannya memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Aahh!"

Melihat kondisi Denny yang kesakitan, akhirnya Haisya tetap tinggal di situ dan menemaninya untuk sesaat. Ia tidak tega bila harus meninggalkannya dalam keadaan lemah. Ia pun duduk di samping ranjang rumah sakit, mengesampingkan segala rasa kesal.

"Thanks..." gumam Denny, matanya menatap Haisya.

"Untuk apa?" tanya Haisya.

"Thank you very much karena lo udah nolongin gua," Denny mengucapkan terima kasih, sebuah hal yang jarang sekali ia lakukan.

"You are welcome," Haisya tersenyum kepada Denny, tulus. Dan untuk pertama kalinya, Denny membalas senyumannya, sebuah senyuman tipis namun tulus. Ada sesuatu yang berubah di antara mereka.

***

Perubahan Hati Denny

Hari-hari berikutnya, Haisya selalu sabar dan telaten mengurus Denny. Ia membawakan makanan, membacakan buku, dan menemaninya berbicara. Namun, saat itu, ketika Haisya hendak menemui Denny, teman-teman Denny sedang menjenguknya. Haisya melihat mereka, beberapa cowok berambut pirang dan beberapa cewek berpakaian super mini, tertawa terbahak-bahak. Merasa dirinya sudah tidak dibutuhkan di tengah keramaian itu, dan tidak ingin merusak suasana Denny dengan teman-temannya, Haisya memilih untuk tetap di luar. Dilihatnya Denny yang sedang tertawa dikelilingi oleh teman-temannya, Haisya merasa dirinya sudah tidak dibutuhkan, maka ia pun pergi, memutuskan untuk memberi ruang.

Bunga-bunga bermekaran, musim semi telah tiba di London, menghadirkan keindahan. Haisya duduk pada sebuah batang pohon di tepi danau yang tenang, menikmati keindahan alam. Ia menyempatkan diri untuk murojaah hafalannya, melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Mega keemasan mulai menampakkan sinarnya, pertanda sore menjelang malam. Haisya beranjak, lalu kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Denny.

Di koridor rumah sakit, ia berpapasan dengan beberapa cowok berambut pirang dan beberapa cewek berpakaian super mini. Mereka adalah teman-teman Denny yang barusan berkunjung, baru saja meninggalkan kamar rawat Denny.

Haisya mendorong pintu kaca itu dan nampak seseorang berbaring membelakanginya di ranjang. Itu Denny.

"Dari mana saja tadi, kenapa seharian nggak nemenin gua?" Denny langsung bertanya, nadanya terdengar sedikit merajuk.

"Sorry, aku tadi ada urusan," jawab Haisya, berbohong sedikit.

"Oh, ada urusan. Urusan apa yang membuatmu berbalik dari sini? Sangat pentingkah?" Denny mendesak, seolah tahu ada yang disembunyikan.

"Emm... itu... anu... adadeh," Haisya tergagap, berusaha mengelak.

"Lo itu nggak bakat bohong, jadi nggak usah sok bohong sama gue deh. Loe tadi kesini kan? Dan loe enggak jadi masuk karena ada teman-teman gua kan?" Denny menebak dengan tepat.

"Nah, itu kamu tahu," Haisya akhirnya menyerah.

"Yaelah, kenapa sih pakai kabur segala, kenapa nggak ikut gabung aja?" Denny bertanya, heran.

"Memang kamu nggak malu kalau teman-temanmu tahu kamu berteman denganku?" Haisya balik bertanya, wajahnya sedikit sendu.

"Ya malu sih," jawab Denny singkat, tanpa berpikir.

"Tuh kan, sudah aku duga," Haisya tertunduk, hatinya sedikit perih.

"Ha... ha... ha... bercanda... bercanda, just kidding, honey," Denny terkekeh, mencoba mencairkan suasana.

"Ish, apaan sih, tahu ah aku mau pulang," Haisya merajuk, pura-pura kesal.

"Eeeeeeeeeee, jangan pulang dulu, aku lapar, hee," Denny menahan tangan Haisya, memperlihatkan deretan giginya yang rapi.

"Ya sudah, tinggal makan," Haisya menunjuk mangkuk bubur yang ada di nakas.

"Cobain dulu makanya," Denny meminta Haisya menyuapinya.

"Nggak mau."

"Ya sudah, situ biarin kelaparan," Denny membalas, seolah tak peduli.

"Tegaaaanyaaa... eep!" Haisya mendengus, namun akhirnya membuka mulut menerima suapan bubur dari tangan Haisya. Sesuap bubur masuk ke dalam mulutnya dan berhasil ditelannya.

Haisya menyuapi Denny dengan begitu tulus, sesekali membersihkan sisa bubur di sudut bibir Denny. Ia sama sekali tidak mengingat perlakuan-perlakuan Denny yang telah menyakitinya. Denny memperhatikan Haisya lekat-lekat, wajahnya serius. (Ini cewek tulus banget ternyata, cantik juga kalau diperhatiin, batin Denny selagi masih disuapi bubur.)

"Kenapa lo masih baik sama gue? Padahal gue sudah jahat sama lo," Denny bertanya, suaranya pelan, seolah sedang merenungkan diri. Ia membayangkan berbagai macam perbuatan dan kata-katanya kepada Haisya selama ini. Ia pernah mengeluarkan kata-kata kasar, menghina, dan selalu mengganggu Haisya hingga kesusahan.

Haisya tetap diam ditanya seperti itu, ia menunduk sesaat.

"Jawab, Sha, kenapa?" Denny mendesak.

"Agamaku selalu mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik kepada semua makhluk," Haisya menjawab, nadanya lembut, lalu meletakkan mangkuk bubur di atas nakas.

"Meskipun gua sudah jahat sama loe?" Denny masih tak percaya.

"Yes, so?"

"So bagaimana kalau lo nggak dapat perlakuan baik dari orang yang sudah lo baikin?" Denny bertanya lagi, mencoba memahami logika Haisya.

"Aku berbuat baik bukan untuk mencari imbalan. Sudah dulu ya, aku mau pulang. Bye," Haisya bangkit, menjawab dengan tegas, lalu berjalan menuju pintu.

Denny menatap, mengikuti arah punggung Haisya yang menghilang di balik pintu, dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Haisya terus bergema di benaknya. Hatinya mulai tersentuh, perlahan, ada benih perubahan yang tumbuh.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!