Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Bab 33
"Tidak bisa!" tolak Arka dengan tegas, suaranya menekan. Rahang mengeras, bola mata menatap lurus tanpa gentar. "Pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Segala sesuatu harus dipersiapkan dengan matang. Waktu paling cepat itu satu tahun."
Nada suara Arka terdengar jelas menahan emosi, tapi tetap terukur. Ia bukan hanya sedang membela prinsip, tapi juga melindungi Arman dari tekanan yang perlahan mulai terasa tidak masuk akal.
"Itu terlalu lama. Aku harap tiga bulan lagi mereka sudah menikah," ujar Pak Agung tidak kalah tegas, pandangannya menusuk. Wajahnya tidak menunjukkan kompromi. Suasana makan malam yang awalnya hangat kini mendadak tegang seperti benang yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja.
"Tidak bisa!" balas Arka, kali ini lebih keras. Napasnya naik turun, tapi ia tetap duduk tegak dengan kedua tangan terkepal di atas pangkuan. "Pertunangan kemarin Anda yang menentukan. Giliran pernikahan, maka pihak kami yang akan menentukan. Apakah dua belas bulan atau enam belas bulan lagi, biar Arman yang menentukan. Yang jelas aku tidak akan menyetujui jika waktunya kurang dari setahun."
Arka tak mau ada lagi keputusan sepihak. Dia sudah cukup diam selama ini, menahan diri karena menghormati keluarga besar mereka. Namun sekarang, kalau menyangkut masa depan Arman—saudara kembar yang paling ia sayangi—Arka tidak akan tinggal diam.
"Aku harap dalam waktu setahun ini ada hal baik bagi Arman," batin Arka. Sekilas ia melirik Arman yang duduk diam, seperti bayangan tanpa suara. Bagaimanapun juga, dia ingin Arman bahagia karena pilihan sendiri, bukan karena paksaan yang dibungkus manis dalam nama "keluarga".
Wajah Pak Agung mengeras. Sorot matanya jelas menunjukkan ketidaksenangan. Tanpa sepatah kata pun, dia berdiri dan melangkah keluar dari ruangan itu, membuat keheningan menyelimuti meja makan seperti kabut yang mendadak turun.
Tentu saja hal itu membuat yang lainnya bertanya-tanya. Bahkan suara sendok yang menyentuh piring pun terdengar jelas.
Arman melirik ke arah Arka. Ada pertanyaan yang melintas di matanya, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saudaranya itu terlihat seperti biasa—datar, dingin, dan sulit ditebak.
"Papa kenapa, Ma?" tanya Aruna polos, memecah ketegangan. "Apa penyakit wasirnya kambuh lagi?"
Arman langsung tersedak kecil mendengar pertanyaan itu, tapi buru-buru menahan tawa. Arka hanya melirik sekilas tanpa komentar.
"Mama susul papa dulu, ya," kata Bu Alin, lalu berdiri cepat dengan langkah tergesa.
Kini hanya ada mereka bertiga di sana. Arka masih makan dengan tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Gerak-geriknya tetap tertib, potongan makanan dipotong rapi dan dikunyah lambat-lambat. Maka Arman pun meniru, berusaha menjaga suasana agar tetap netral.
"Besok kita pergi makin ke taman hiburan, yuk!" ajak Aruna kepada Arman, suaranya penuh harap seperti anak kecil yang mengajak teman sekelas bermain setelah pulang sekolah.
"Tidak bisa. Besok akan ada rapat direksi dengan para pemegang saham di perusahaan. Aku harus hadir," jawab Arman setelah menelan makanannya, nadanya tetap lembut tapi tegas.
"Yaaaaa, kamu enggak asyik! Sulit diajak bermain," ucap Aruna kecewa, wajahnya langsung cemberut seperti langit mendung yang kehilangan sinar mentari.
Arman melirik sebentar, lalu tersenyum kecil. "Bukannya kamu mau membuatkan aku brownies? Kamu buatlah yang enak, nanti setelah selesai rapat aku akan datang menemui untuk makan brownies-nya."
Wajah Aruna berubah ceria seketika. Matanya berbinar, pipinya bersemu merah karena senang. "Aku akan buat brownies terenak!" serunya penuh semangat.
"Aku tunggu. Awas saja kalau rasanya tidak enak, aku tidak mau lagi makan buatan kamu," kata Arman sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
Namun dari ujung meja, Arka sesekali melirik ke arah kembarannya. Ada kekosongan yang samar di balik senyum Arman. Ia tahu senyuman itu palsu, bukan dari hati. Seolah Arman sedang memerankan tokoh dalam sandiwara yang tidak pernah ia pilih.
Sungguh, Arka tidak suka melihat kepura-puraan itu. Tapi untuk saat ini, ia memilih diam. Karena satu langkah salah saja, bisa membuat semua runtuh lebih cepat dari yang mereka bayangkan.
***
Kursi-kursi di ruang rapat dipenuhi oleh para dewan direksi dan pemegang saham yang tampil necis dengan jas rapi. Ruangan besar bernuansa elegan itu dipenuhi ketegangan yang terasa mengambang di udara. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya yang menyilaukan meja marmer panjang tempat mereka duduk.
Di ujung ruangan, Arka dan Arman duduk berdampingan, mengenakan setelan jas berwarna abu tua yang menjadikan keduanya tampak seperti citra sempurna dari pemimpin masa depan. Dagu tegak, bahu lebar, dan tatapan tajam yang mencerminkan keberanian dan kesiapan mereka menghadapi segala tantangan.
Tepat di seberang meja, Soraya dan Citra duduk memandangi si kembar dengan sikap angkuh. Tatapan Soraya menusuk, penuh rasa superioritas, seakan menertawakan fakta bahwa dua anak muda yang lama ‘hilang’ dari dunia keluarga kini datang menuntut hak. Citra menambahkan kesan menghina dengan senyum miringnya, seolah berkata: "Kalian bukan tandingan kami."
Mario, pria paruh baya yang merupakan tangan sana atau kepercayaan Pak Surya, berdiri di tengah ruangan dengan berkas di tangan. Suaranya tegas namun tetap sopan, mencoba menjaga profesionalisme di tengah konflik yang mulai memanas.
“Baiklah, seperti yang sudah kita ketahui bersama, saat ini Pak Surya sudah tidak mampu lagi menjabat sebagai pemimpin perusahaan. Oleh karena itu, kita akan melakukan pemilihan siapa yang berhak untuk menempati posisi pimpinan perusahaan Abimana Grup.”
Soraya membetulkan duduknya, menyilangkan kaki, berusaha terlihat tenang meski kerutan halus di keningnya mengkhianati kekhawatirannya.
“Pemimpin sementara saat ini adalah Bu Soraya. Namun, seperti kita ketahui, Pak Arka dan Pak Arman adalah keturunan langsung dan ahli waris dari keluarga Abimana. Mereka juga berhak untuk memegang kursi kepemimpinan di perusahaan ini,” lanjut Mario, suaranya terdengar mantap.
Belum sempat suasana mencerna ucapan Mario, salah satu dewan direksi yang berpihak pada Soraya angkat bicara. Pria tua berkacamata itu menggeleng pelan, lalu berkata dengan nada menyangsikan, “Kita sudah tahu kemampuan Bu Soraya dalam memimpin perusahaan saat ini, dan bisa dikatakan dia mampu. Sementara mereka berdua, kita sama sekali tidak tahu bagaimana kapabilitasnya dalam mengurus perusahaan.”
Beberapa kepala mengangguk setuju. Soraya tersenyum samar, merasa mendapat angin segar.
Namun, Pak Agung yang duduk di barisan depan, tidak tinggal diam. Wajahnya memerah oleh semangat membara. “Kalian jangan meremehkan kemampuan mereka berdua. Jika dilihat dari keberhasilan mereka dalam mengembangkan usaha tanpa melibatkan nama keluarga Abimana, maka sudah bisa dipastikan kemampuan mereka luar biasa. Mereka bukan hanya mengandalkan darah, mereka juga punya integritas dan keberanian.”
Suasana mulai memanas. Nada-nada suara meninggi. Pembicaraan tidak lagi sekadar diskusi bisnis, tapi sudah masuk ke ranah emosi dan sentimen pribadi.
Seorang dewan direksi lain, pria yang cukup tua dan dikenal sangat menghormati mendiang Bu Anita—ibu kandung Arka dan Arman—ikut menyuarakan pendapatnya.
“Pak Arka dan Pak Arman mewarisi darah keluarga Abimana yang terkenal hebat dalam urusan berbisnis. Ditambah mendiang Bu Anita juga yang membantu mengembangkan perusahaan ketika masa krisis ekonomi global, aku yakin mereka berdua tidak kalah hebat dari kedua orang tuanya. Jadi, aku ingin melihat mereka memimpin perusahaan ini.”
Debat demi debat pun mencuat. Nada tinggi dan ketukan-ketukan jari di meja menciptakan denting tegang yang menyesakkan. Akhirnya, Mario mengangkat tangannya sebagai tanda meminta ketenangan.
“Karena perbedaan pendapat tak bisa dielakkan, maka kita akan melakukan voting dari para pemegang saham. Siapa yang mendapatkan suara tertinggi, dialah yang akan menjadi pemimpin perusahaan selanjutnya.”
Semua mata mulai berputar ke layar dan ke tangan masing-masing pemegang saham. Napas ditahan, detak jantung berpacu cepat. Ini bukan hanya tentang posisi, ini soal harga diri, masa depan, dan sejarah.
Di tengah ketegangan yang membekap ruangan, ponsel Arman tiba-tiba bergetar pelan di atas meja kaca. Suara notifikasinya terdengar nyaring di telinga sendiri. Dengan dahi berkerut, dia meraih ponselnya dan membuka pesan yang masuk,/sebuah video.
Arman mengetuk layar. Gambar mulai bergerak. Suara rekaman terdengar samar. Sekejap, wajahnya berubah pucat. Matanya membelalak, tubuhnya kaku seperti patung.
Di layar, Karin terlihat dalam kondisi mengenaskan—diikat, wajahnya lebam, rambutnya acak-acakan. Napas Arman tercekat. Dia mengenali kalung bermata ruby yang melingkar di leher gadis itu. Hadiah ulang tahun pertama hubungan mereka.
“Karin ....” gumamnya lirih, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tangan Arman gemetar. Ruang rapat yang semula menjadi pusat perhatiannya kini tampak mengabur. Fokus dia bergeser total. Di balik layar ponsel, hidup seseorang yang ia cintai sedang dalam bahaya.
Arka yang duduk di sampingnya melirik cepat. Dia tahu ada yang tidak beres. Tatapan Arman cukup menjelaskan segalanya.
Sebuah notifikasi pesan masuk membuat ponsel di tangan Arman bergetar pelan. Dia melirik layar, dan seketika jantungnya berdegup lebih cepat. Sebuah pesan singkat terbaca jelas di sana:
[Berikan suaramu untuk Nyonya Soraya. Jika tidak, kekasihmu akan mati!]
Arman membeku. Napasnya tercekat, matanya membesar menatap layar, tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Amarah mendidih dalam dadanya, bercampur dengan kegelisahan yang mencengkeram erat.
"Pantas saja aku tidak bisa menemukan Karin. Rupanya dia diculik—dan semuanya untuk alasan ini!" batinnya menjerit penuh sesal. Tangan Arman bergetar saat membalas pesan itu.
[Siapa kamu? Lepaskan Karin!]
Namun balasan yang datang justru menambah tekanan pada pikirannya.
[Berikan suaramu! Maka dia akan kami bebaskan]
Kepalanya dipenuhi keraguan dan kecemasan. Hatinya bergulat dalam dilema yang rumit—ia tidak mungkin mengkhianati Arka, saudaranya sendiri, yang selama ini berdiri bersamanya tanpa ragu. Namun, bagaimana bisa dia berpaling dari orang yang dicintainya? Karin bukan hanya kekasihnya, dia adalah satu-satunya perempuan yang mampu meluluhkan hati dan menjinakkan jiwanya yang keras dan liar.
Belum sempat berpikir lebih jauh, sebuah pesan video kembali masuk. Kali ini, suara deringnya terasa lebih menusuk daripada sebelumnya. Arman membuka file itu dengan napas tercekat.
Layar ponsel menampilkan gambaran neraka pribadi yang menghantam dadanya—Karin, dalam keadaan lemah dan tak berdaya, terikat di kursi, wajahnya memar, rambutnya berantakan. Tapi yang paling menyayat hati adalah kalung bermata ruby yang tergantung di lehernya. Kalung itu adalah hadiah ulang tahun pertama hubungan mereka—bukti cinta yang kini berubah menjadi simbol penderitaan. Namun itu belum selesai.
Cuplikan berikutnya membuat darah Arman mengalir dingin. Kedua orangtua Karin dan adik-adiknya juga ikut disandera. Mereka duduk kaku di kursi kayu reyot dalam ruangan gelap dan penuh debu. Tali menjerat tubuh mereka, mulut mereka dilakban. Matanya menatap nanar, seakan memohon pertolongan yang tidak kunjung datang.
Lalu suara dari balik layar terdengar kasar, tajam seperti belati.
"Nyawa mereka berempat juga ada di tangan kamu!"
Suara itu menghantam Arman seperti tembakan jarak dekat. Napasnya terhenti. Wajahnya memucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ruang rapat yang semula hanya dipenuhi ketegangan bisnis, kini berubah menjadi medan perang emosional dalam benaknya.
Saat itulah suara Mario terdengar nyaring, menggema di ruangan.
"Silakan isi kertas yang sudah kalian terima. Pilih siapa yang layak menjadi pengganti Pak Surya menurut kalian."
Seluruh anggota rapat mulai mengambil kertas suara, wajah mereka serius dan penuh pertimbangan. Namun Arman hanya duduk terpaku. Tangannya gemetar memegang pulpen, kertas suara terasa seperti lembaran takdir yang akan menentukan hidup dan mati.
Matanya tak fokus. Dia bisa melihat sekilas wajah Arka yang duduk tak jauh dari sana—tenang, percaya diri, seperti biasa. Namun hanya Arman yang tahu badai yang sedang menggulung di dadanya.
Masa depan perusahaan, harapan keluarga besar mereka, dan nyawa orang-orang yang dia cintai—semuanya kini berada dalam genggamannya.
"Apa yang harus aku lakukan ...?" batin Arman menjerit.
Keheningan ruang rapat kini terasa begitu bising di kepala Arman. Setiap detik berlalu seperti cambuk yang menyayat pikirannya, menuntut sebuah keputusan yang akan mengubah segalanya.
***
krna harta yg digunakan soraya utk membantu pak surya dulu adalah harta pak baharuddin berarti pak surya harusnya balikin lg ke pak bahruddin kan 🤔
Haloo Pak Surya bagaimana hasil kerja keras anakmu Arka..?? mantap kannn
seorang ayah yg seharusnya melindungi & menyayangi anaknya ini malah menyia nyiakan.. 🤦🏼♀🤦🏼♀
Soraya mulai menuai apa yg udah di tanam selama ini .. se.pandai² tupai melompat pasti ada waktunya terjun bebas juga dari ketinggian.. selamat ya kalian duo ulet bulu & antek²nya.. masuk kandang kerangkeng istimewa.. 👋👋👋
Lanjut Thor sehat semangat terus 😘😘😘💪💪💪