Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 33 Bi Edah
"Apa maksud lo, Fa?" tanya Tanvir.
Masih dengan keterkejutan atas ucapannya, Raffa menoleh pada Tanvir dengan mata membelalak. "Bi Edah."
Seketika semua orang terpaku dengan pikiran yang sama. Bagaimana bisa mereka melewatkan sosok itu? Bi Edah lah orang yang berpeluang paling besar mengetahui bagaimana kehidupan Dzaka dan perlakuan Tuan Emir pada pemuda itu.
Namun, tak lama Paman Adi menghela napas kasar. Dia kembali teringat apa yang dilakukan pengasuh itu pada tuan mudanya.
Ketiga pemuda di sana sontak menoleh pada Paman Adi dengan sorot penasaran. "Ada apa, Paman?" tanya Raffa melihat wajah tak senang Paman Adi.
"Pengasuh itu ..., ah ... saya bahkan masih tidak bisa memaafkan perlakuannya pada tuan muda," ucap Paman Adi dengan nada datar.
Dimitri mengernyit heran. "Memangnya apa yang dilakukan Bi Edah, Paman?"
Dimitri tak bisa membayangkan gambaran apapun di kepalanya. Sejauh yang dia lihat, Bi Edah memperlakukan Dzaka dengan baik. Bahkan lebih baik dari seorang pengasuh pada umumnya.
"Pengasuh itu ... berani sekali dia menampar tuan muda," ujar Paman Adi.
"Paman ... beneran?" tanya Raffa yang kini memandang Paman Adi dengan wajah kaget.
Ini benar-benar baru bagi Raffa. Selama ini jelas dia melihat sendiri bagaimana lembutnya perlakuan Bi Edah pada Dzaka. Jadi, Raffa benar-benar tak menyangka wanita paruh baya itu akan bertindak demikian.
"Bahkan Nak Raffa tidak menyangka, kan?" Raffa mengangguk membenarkan. Ini terasa tidak nyata sama sekali.
"Tapi saya sendiri yang menyaksikan itu." Paman Adi terdiam. Masih begitu jelas dalam pendengarannya bunyi tamparan itu. Bahkan wajah tuan mudanya yang terdorong ke samping dengan raut tidak percaya.
"Bahkan tuan muda tidak marah. Tuan muda masih sangat menghargai wanita itu. Padahal saya melihat pipi tuan muda memerah karena tamparan keras itu," lirih Paman Adi menunduk dengan perasaan penuh penyesalan.
Suasana ruangan itu menjadi berat lantaran penjelasan tak terduga Paman Adi. Jika seperti itu ... lantas di mana lagi tempat teraman untuk Dzaka? Itu memenuhi pikiran ketiga pemuda di sana yang masih berdiam diri.
Paman Adi berucap kembali menarik atensi mereka bertiga. "Paman yang akan bertanya kepada wanita itu."
Paman Adi beranjak dari sisi ranjang Dzaka. "Paman ... saya ikut." Suara Dimitri akhirnya terdengar setelah sekian lama.
Paman Adi menggeleng. "Tak usah, Tuan Muda. Biar Paman saja. Tuan Muda di sini saja menemani Tuan Muda Dzaka."
Bukan tanpa alasan, Paman Adi khawatir Tuan Emir atau orang suruhannya kembali ke sini. Raffa yang mengerti maksud Paman Adi juga menahan Dimitri. "Kalau Tuan Emir balik lagi atau orang suruhannya datang, kalau gak ada lo ... gue sama Tanvir gak akan mampu menghadapi mereka."
Mendengar penuturan Raffa membuat Dimitri mengangguk paham. Dimitri harus selalu di sisi Dzaka demi menjaga adik kecilnya. Sudah saatnya Dimitri melindungi Dzaka secara langsung.
Paman Adi berlalu ke luar ruangan dengan langkah tergesa. Rasanya dia ingin segera mengeluarkan semua tanya yang memenuhi pikirannya.
Ruangan itu kini hanya berisi kaum muda. Mereka terdiam setelah kepergian Paman Adi. Namun, dering ponsel Tanvir mengejutkan mereka di antara keheningan yang sebelumnya hanya diisi suara monitor di samping ranjang Dzaka.
Tanvir berlalu mengangkat panggilan di teleponnya. "Halo."
Tanvir mengernyit mendengar suara lirih di seberang. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
Suara di seberang terdengar bergetar membuat Tanvir cemas. "Yaudah kamu tunggu di situ. Jangan ke mana-mana. Abang bakal jemput kamu!"
Setelah memutuskan panggilan, Tanvir beranjak kembali ke dalam ruangan dengan tergesa. "Gue pamit dulu, Fa, Bang. Nanti gue balik lagi, kok. Sekalian gue bawain baju ganti buat lo, Fa."
Tanvir sudah berlalu tanpa menunggu jawaban dari Raffa dan Dimitri. Kedua pemuda itu hanya menatap pintu yang kembali tertutup.
Raffa menatap Dimitri yang tengah merapikan selimut Dzaka dalam diam. "Apa yang bakal lo lakuin setelah ini, Bang?"
Ucapan Raffa membuat Dimitri menoleh. Tanpa berpikir pun, Dimitri sudah tahu apa yang akan dia lakukan. "Bawa Dzaka keluar dari penjara itu!" tegas Dimitri.
...----------------...
Paman Adi baru saja tiba di kediaman Dzaka. Tanpa menoleh ke arah para pengawal yang menunggunya, Paman Adi melangkah masuk. Matanya menjelajahi ruang tamu. Namun, sosok yang dicarinya tak ada di sana.
"Edah!" panggilnya dengan nada membentak seraya beranjak menuju dapur. Masih tak menemukan Bi Edah, Paman Adi akhirnya beranjak menuju pintu belakang seraya berteriak. "Edah!"
Suara Paman Adi terdengar berat dan dingin. Tanpa dijelaskan pun orang akan tau bahwa Paman Adi sedang emosi.
Tak lama seorang wanita paruh baya muncul dengan keranjang pakaian di genggamannya. Ketika melihat keberadaan Paman Adi yang menatapnya tajam, wanita itu tersentak.
"A-ada apa?" tanya wanita itu dengan perasaan takut.
Paman Adi tak langsung menjawab. Tatapan tajamnya menghunus Bi Edah. Helaan napas berat terdengar beberapa kali sebelum suara berat dan dingin itu memasuki pendengaran Bi Edah.
"Temui saya di meja makan!" Setelahnya Paman Adi meninggalkan Bi Edah yang masih terpaku di tempat. Perasaannya tak nyaman. Tatapan Paman Adi menunjukkan sesuatu yang buruk telah terjadi. Amarah dari pria paruh baya itu bisa dia rasakan.
Paman Adi menghela napas beberapa kali mencoba menenangkan dirinya. Sejujurnya dia masih marah pada wanita paruh baya itu karena kejadian tempo lalu. Namun, saat ini ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan.
Tak lama Bi Edah datang dengan pandangan tertunduk. Dia bahkan tak berani duduk di hadapan Paman Adi. Namun, pria paruh baya itu memilih acuh.
"Saya memiliki pertanyaan. Saya harap kamu menjawab dengan sejujur-jujurnya. Karena ...." Paman Adi menggantung ucapannya demi menekan rasa bersalah yang menyelinap. "Karena ini demi Tuan Muda Dzaka."
Mendengar hal itu Bi Edah tersentak. Hatinya penuh sesal dan kekhawatiran yang besar terhadap majikannya itu. Ini memang salahnya sudah melakukan hal yang tak seharusnya. Pemuda itu sudah banyak terluka, tapi dia menambah luka lagi di atas luka basah itu.
"Apakah selama ini tuan muda mengalami kekerasan dari Tuan Emir?" Pertanyaan itu membuat wanita paruh baya itu terdiam. Wajahnya menunjukkan keterkejutan, tapi matanya menyorot sendu. Sangat sendu.
"Tolong jawab saya, Edah!" tekan Paman Adi tak ingin membiarkan wanita itu larut dalam keheningan.
Diamnya Bi Edah bukan karena tak ingin bicara. Namun, pikirannya dipenuhi kilas balik luka dan rasa sakit yang diterima majikannya dari Tuan Emir. Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari sudut netra sendunya. Tak lama isakan pilu terdengar.
Bi Edah menyimpan semua kejadian itu sendirian. Tak ada tempat untuk meminta pertolongan. Rasa sakit majikannya selalu dia hadapi sendirian dan setiap kekerasan itu dia saksikan dengan matanya sendiri. Namun, dia tak bisa ikut campur yang membuat penyesalan memenuhi dirinya.
"Jawab saya, Edah!" tegas Paman Adi lagi membuat Bi Edah menoleh dengan netra basahnya.
"Seberapa banyak yang harus saya bagikan?"