Perjodohan yang terjadi antara Kalila dan Arlen membuat persahabatan mereka renggang. Arlen melemparkan surat perjanjian kesepakatan pernikahan yang hanya akan berjalan selama satu tahun saja, dan selama itu pula Arlen akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.
Namun bagaimana jika kesalahpahaman yang selama ini diyakini akhirnya menemukan titik terangnya, apakah penyesalan Arlen mendapatkan maaf dari Kalila? Atau kah, Kalila memilih untuk tetap menyelesaikan perjanjian kesepakatan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Informasi Lama Yang Bocor
"Bagaimana ini?" tanya Kalila dengan suara pelan begitu dia dan Arlen masuk ke dalam kamar, sementara Mama masih sibuk dengan ponselnya di ruang tengah setelah mengeluarkan semua isi kantong belanjanya agar Kalila mencoba semua yang sudah Erina belikan.
"Tenang, tenang." Arlen mencoba menenangkan Kalila yang terlihat agak panik. Bahkan dari sorot mata Kalila yang melihat penuh trauma pada ranjang yang ada di dalam kamar itu. "Aku ga akan tidur di sana, La." ucap Arlen lembut.
"L-lalu?"
"Aku akan tidur di lantai, kamu bisa tidur di ranjang. Seperti di rumah Bunda."
"Mana bisa begitu." Kalila protes.
"Jadi kamu maunya kita seranjang?"
"Eh, ga begitu juga." Kalila refleks mundur satu langkah. "Tapi, saat di rumah Bunda, aku yang tidur di ranjang, jadi seharusnya di sini kamu yang tidur di ranjang aku yang di lantai."
"Jadi maksud kamu, aku harus membiarkan istriku tidur di lantai sementara aku tidur di ranjang?"
"Eh? Eee...iya begitu." ujar Kalila dengan nada bingung.
"Mana bisa begitu? Kalo kamu ga mau di ranjang, aku juga akan di lantai. Itu baru namanya adil." kata Arlen memberikan win-win solution.
"Ya udah, aku tidur di sofa itu aja, kamu tetap di ranjang." Masih dengan kepala batunya Kalila menolak untuk tidur di ranjang.
"La, itu single sofa, punggungmu bisa sakit kalau tidur dengan posisi duduk sepanjang malam." Arlen tetap sabar menghadapi Kalila dengan ketakutan dan kecemasan yang berusaha ditutupi oleh wanita itu.
"Aku udah biasa kok, Ar, tidur dengan posisi duduk."
"Tapi engga aku ijinkan." Tegas Arlen melarang Kalila.
"Tapi, Ar,"
"Kamu takut aku berbuat sesuatu padamu lagi?"
Kalila menipiskan bibirnya, dia memalingkan wajahnya, enggan untuk melihat menatap balik Arlen karena tahu Arlen pasti sudah sangat membaca ketakutan dan kecemasannya. Sebenarnya Kalila tidak ingin memperlihatkan kecemasan dan ketakutannya, hanya saja, dia sendiri tidak bisa mengontrol apa yang dia rasakan.
"Atau ranjang itu mengingatkanmu pada kejadian itu?"
Kini Kalila menggigit bibir bagian dalamnya. Dia ingin meng-iya-kan, tapi entah kenapa dia takut kejujurannya malah akan membuat Arlen tersinggung.
"Maaf kan aku, La. Aku ga tau bagaimana aku akan bisa menghilangkan rasa takutmu, tapi aku akan berusaha untuk mengembalikan kepercayaanmu lagi padaku."
Kalila hanya mengangguk. Ia meremat tangannya sendiri.
"Oke, kalo kamu lebih merasa nyaman di sofa." Arlen akhirnya mengalah.
"Benar?" Kedua mata Kalila melebar, terlihat kelegaan terpancar.
Arlen mengangguk.
Namun kemudian mereka menyadari masalah lain selain soal tempat mereka tidur.
"Bagaimana dengan pakaianku, Ar? Semuanya ada si unit sebelah! Ga mungkin kan aku keluar dan datang lagi dengan membawa kopor berisi pakaian-pakaianku." Rasa bingung yang lain menghantam mereka sekarang.
"Ah, ya, benar juga." Arlen berpikir keras. Begitu pun dengan Kalila. Sampai terdengar suara Erina memanggil Arlen dengan diiringi ketukan pada pintu kamar.
"Keluarlah, aku akan mencari cara." ujar Kalila dengan suara pelan.
Arlen mengangguk kemudian keluar dari kamar dan mendapati Mamanya sudah berdiri tak jauh dari depan pintu kamarnya.
"Ada apa, Ma?" tanya Arlen dengan suaranya yang tenang.
"Kalila sudah tidur?"
"Belum, Ma. Ehh, lagi di kamar mandi." Hanya itu yang terlintas dalam pikiran Arlen untuk memberikan alasan kepada Mamanya.
Lalu dengan sangat tiba-tiba, Erina menarik telinga Arlen seperti bocah yang ketahuan mencuri mangga di pohon tetangga.
"Aduh Ma! Sakit! Astaga!" Meskipun mengeluh, namun dia tetap mengikuti langkah Erina menuju balkon, setelah anak dan ibu itu sudah berada di balkon, Erina langsung menutup pintu sehingga perbincangan apapun tidak akan terdengar ke dalam.
Baru setelah itu Erina melepaskan jewerannya dari telinga anak laki-lakinya itu.
"Astaga, kupingku bisa copot sebelah, Ma!" ujar Arlen kesal sembari mengusap-usap daun telinganya yang memerah.
"Biarin saja copot, dasar anak nakal!" Tak puas sudah menjewer telinga anaknya, Erina memberikan bonus dengan menabok punggung lebar Arlen.
"Ya ampun, kenapa Mama jadi bar-bar gini!" Keluh Arlen, namun tidak menghindarinya.
"Kamu ini mau bikin Mama mati muda, ya?!"
"Memangnya Mama masih muda?"
Plok! Satu tabokan lagi mendarat di lengan Arlen.
"Kamu pikir Mama ga tau soal kontrak pernikahan gilamu?!"
Usapan tangan Arlen terhenti begitu menyadari ada kebocoran informasi yang bisa sampai ke telinga Erina.
Tapi siapa?
"Mama tau dari mana?"
Pertanyaan itu justru membuat Erina semakin memelototkan kedua matanya dan semakin semangat memberikan tabokan-tabokan pedas pada punggung dan lengan Arlen.
"Jadi benar?! Jadi benar kamu memberikan Kalila kontrak pernikahan?! Hah?!" Suara Erina meninggi diiringi pelototan mata yang penuh dengan hujaman pisau tajam.
"Sabar, Ma! Sabar!" ujar Arlen seraya, kali ini dia berusaha menghindari Erina. "Biar Arlen jelaskan dulu."
"Jelaskan apa?!" Erina berkacak pinggang dengan napasnya yang ngos-ngosan setelah meluapkan energinya untuk memberikan pukulan pada anak lelakinya yang sudah dewasa itu. "Kamu pasti masih berhubungan sama model yang penuh dengan skandal itu, kan? Yang sukanya memamerkan buah dadanya kemana-mana itu!"
Arlen sampai merinding mendengar Mamanya yang kalau sudah emosi bicaranya bisa sangat vulgar.
"Udah engga, Ma."
"Berarti waktu itu masih?"
"Soalnya waktu itu aku masih belum terima perjodohan itu, Ma. Kan, Mama tau sendiri, udah lama aku dan Miranda menjalin hubungan, kami udah berusaha untuk mendapatkan restu dari Mama, jadi-"
"Sampai kiamat pun Mama ga akan merestui Miranda jadi menantu Mama!" Erina melotot sampai-sampai Arlen khawatir Mamanya akan kehilangan bola matanya karena menggelinding keluar dari kelopaknya.
"Iya, iya." sahut Arlen penuh sabar tapi juga gemas. "Maaf karena Arlen ga mendengarkan Mama. Arlen menyesal."
"Lalu sekarang kontrak itu masih ada?"
"Nah, itu dia-"
"Itu dia apa?! Kamu masih meneruskan kontrak itu?!"
"Ya ampun, sabar, Ma, ingat tekanan darah." Gemas sekali Arlen pada Mamanya yang kalau sudah marah lupa dengan tekanan darahnya.
"Katakan kontrak itu sudah kamu bakar, atau Mama yang bakar!"
Arlen membuang napasnya panjang. Sepertinya dia harus memanjangkan urat kesabarannya untuk menjelaskan kepada Mamanya tentang situasi yang sedang dia usahakan saat ini untuk memperbaiki kesalahpahaman yang telah terjadi.
"Jadi begini, Ma..."
.
.
.
Bersambung.