"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Awal dari Kehidupan Baru
Langit pagi itu cerah, berbeda dengan beberapa hari terakhir yang selalu dibayangi kekhawatiran dan duka. Di lorong rumah sakit, suara langkah kaki menggema pelan, diselingi derit roda kursi medis dan sapaan lembut para perawat. Cakra berjalan perlahan, masih dibantu tongkat kecil di tangan kirinya. Di sisi kanan, Shifa menyertainya, menggenggam erat tas kecil berisi obat dan dokumen. Wajahnya lelah, tapi penuh ketenangan.
"Pelan-pelan, Bang. Nggak usah buru-buru," ucap Shifa lembut. Cakra hanya tersenyum tipis. "Kalau bisa lari, aku udah kabur dari kemarin." Shifa tertawa kecil, meski air matanya sempat menetes saat melihat Cakra berdiri sendiri pagi ini. Ada rasa syukur yang sulit dijelaskan—seolah hidup memberinya kesempatan kedua.
Di luar rumah sakit, mobil dinas sudah menunggu. Udara segar menyambut langkah mereka keluar. Cakra menatap ke langit sejenak, menarik napas panjang. Setelah semua yang terjadi, kini ia bisa kembali pulang. Dalam perjalanan menuju rumah, Shifa melirik ke arah Cakra yang diam menatap jalanan. Ia tahu betul, pria itu sedang berpikir. "Apa yang kamu pikirin?" tanya Shifa pelan. "Timku udah digantikan batalyon lain. Operasi lanjutan juga udah bukan tanggung jawabku lagi."
Shifa mengangguk. "Itu berarti kamu bisa istirahat dulu. Fokus pulih." Cakra tersenyum tipis. “Dan mulai nyusun rencana yang sempat aku tunda…” Tatapan mereka bertemu sesaat. Tak ada kata lanjut, tapi keduanya tahu: rencana itu bukan soal perang, melainkan tentang masa depan—tentang pernikahan mereka. Mobil terus melaju ke arah rumah. Hari itu, bukan hanya tubuh Cakra yang dipulangkan, tapi juga hatinya—yang perlahan mulai menemukan arah pulang.
Sore menjelang ketika mobil berhenti di halaman rumah sederhana yang dikelilingi taman kecil. Shifa membuka pintu, membantu Cakra keluar dengan hati-hati. Begitu langkah mereka menjejak lantai teras, suara pintu terbuka terdengar—dan dari baliknya, Dita muncul dengan mata berkaca-kaca.
“Cakra…” lirihnya, sebelum segera memeluk putranya erat-erat. Cakra balas memeluk, meski tubuhnya belum sepenuhnya kuat. Pelukan itu adalah jawaban atas doa-doa panjang yang Dita panjatkan tiap malam. Di belakangnya, Shifa menyeka air mata haru, ikut larut dalam suasana penuh kehangatan itu. “Ibu masakin makanan favorit kamu,” ujar Dita sambil tersenyum, mencoba menutupi isak bahagianya.
“Wah… ayam kecap ibu, ya?” jawab Cakra, pelan tapi hangat. Ruang tamu sore itu dipenuhi dengan aroma nostalgia dan kelegaan. Tak ada lagi ketegangan atau kabar buruk dari perbatasan—hanya tawa pelan, obrolan ringan, dan ucapan syukur yang berulang-ulang. Malam harinya, suasana menjadi lebih tenang. Setelah makan malam dan duduk santai di ruang tengah, Dita menatap kedua tamunya yang kini duduk berdampingan di sofa: anak lelakinya yang baru pulang dari ujung maut, dan gadis yang setia menunggunya.
“Nak…” suara Dita lembut. “Kalian ini… ada rencana serius nggak? Ibu tuh pengen banget bisa momong cucu sebelum rambut ini makin putih semua.” Cakra sempat tersedak teh yang baru diteguknya. Shifa yang duduk di sebelah langsung menunduk, pipinya memerah. Cakra menghela napas pelan. Ia menatap ke arah ibunya, lalu ke Shifa yang kini menatap ke bawah, jari-jarinya saling meremas canggung. “Jujur, Bu…” katanya akhirnya. “Selama ini, aku belum berani mikirin hal itu. Fokusku cuma satu: tugas.”
Ia berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar. “Tapi waktu aku tergeletak di rumah sakit, nggak tahu bisa bangun atau nggak... aku lihat Shifa ada di situ. Menangis, nyuapin aku makan, jagain aku kayak aku ini... sesuatu yang berharga banget.” Cakra menoleh ke arah Shifa, senyumnya tipis tapi penuh makna. “Aku nggak bisa pura-pura lagi, Bu. Mungkin ini saatnya aku ambil langkah besar. Kita mulai nyusun rencana pernikahan.”
Air mata Dita tak bisa dibendung. Ia menggenggam tangan keduanya dan berkata pelan, “Ibu selalu tahu, kamu butuh orang yang bisa membuatmu pulang. Dan itu… Shifa.” Shifa hanya mengangguk pelan, air mata harunya jatuh tanpa suara. Di malam yang hangat itu, sebuah babak baru pun dimulai—bukan dengan janji di medan laga, tapi dengan tekad yang lahir dari cinta dan kesetiaan.
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya tinggi ketika mobil keluarga berhenti di depan stasiun. Cakra turun lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk Shifa yang hendak kembali ke Bandung sementara waktu. Shifa turun dengan koper kecil di tangannya. Ia mengenakan jaket ringan dan kerudung biru langit—warna yang selalu membuat Cakra diam-diam tersenyum. Tapi pagi ini, senyumnya terasa hambar. Ada ganjalan yang menumpuk di dada.
“Ibu nggak usah turun, di sini aja cukup,” ucap Shifa sopan sambil menoleh ke bangku belakang. Namun Dita sudah turun lebih dulu, menghampirinya lalu memeluknya erat. “Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa kabari kalau udah sampai.” “Iya, Bu,” jawab Shifa pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh perasaan berat yang ia tahan sejak pagi.Cakra berdiri di samping mereka, tangannya masih di saku celana, seperti berusaha menahan dingin pagi—padahal yang dingin sebenarnya adalah rasa enggan melepas Shifa pergi.
Setelah pelukan itu lepas, mereka berjalan beriringan menuju pintu masuk peron. Cakra menggandeng koper Shifa tanpa banyak bicara. Mereka berhenti tepat di depan pintu masuk yang dijaga petugas. “Berapa lama di Bandung?” tanya Cakra, pelan. “Dua minggu bang,paling lama mungkin sebulanan. Ada berkas yang harus aku urus,” jawab Shifa sambil menatap matanya. “Tapi... kalau kamu butuh aku balik lebih cepat, aku bisa...”
“Nggak usah buru-buru,” potong Cakra lembut. “Urus aja yang perlu. Aku tunggu di sini.” Hening sesaat. Keduanya seperti tidak ingin waktu terus berjalan. Akhirnya, suara pengeras terdengar memanggil penumpang kereta ke Bandung. Shifa menatap wajah Cakra dalam-dalam. “Bang...” ucapnya lirih. “Makasih udah ngizinin aku nemenin kamu sampai sekarang.” Cakra tersenyum tipis, kemudian membalas, “Justru aku yang makasih. Kamu bikin aku tetap waras.”
Ia tak bisa memeluk Shifa di tempat umum, tapi pandangan mereka cukup mewakili ribuan kata yang tak terucap. Shifa menarik napas panjang, lalu berjalan masuk ke dalam. Beberapa langkah kemudian, ia menoleh ke belakang—dan masih melihat Cakra berdiri di tempat, menatapnya dengan penuh harap. Begitu Shifa menghilang di balik gerbang peron, Cakra menarik napas dalam-dalam.
Dita yang menunggu di dekat mobil menatap anaknya penuh pengertian. “Rindu, ya?” Cakra hanya mengangguk. “Tapi aku yakin… dia bakal kembali.” Dita tersenyum, menggandeng lengan putranya. “Kamu juga harus segera siap-siap, Nak. Pernikahan itu bukan soal pesta, tapi soal hati yang siap.” Hari itu, kereta membawa Shifa kembali ke Bandung. Tapi cinta yang tumbuh di antara keduanya, tetap tinggal—menunggu untuk disatukan dalam waktu yang tak lama lagi.
Latar: Siang hari, rumah sederhana milik Gahar. Udara masih terasa hangat, aroma teh dan kayu manis menguar dari cangkir. Setelah meninggalkan stasiun, Cakra dan Dita memutuskan singgah ke rumah Gahar. Rumah itu tidak besar, tapi penuh nuansa hangat dari perabot kayu dan suara radio tua yang memutar lagu-lagu lawas. Gahar sedang duduk santai di teras saat mereka tiba. Ia langsung berdiri, tersenyum lebar melihat keponakannya datang bersama sang adik ipar.
“Wah, ada apa nih tamu mendadak?” sapa Gahar sambil merapikan sarungnya. “Boleh nggak kami ganggu sebentar?” kata Dita sambil tersenyum. “Ada yang mau kami bicarakan.” Tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruang tengah, ditemani teh hangat dan pisang goreng. Percakapan dimulai dengan ringan, seputar kesehatan dan kabar keluarga. Namun suasana berubah saat Dita meletakkan cangkir tehnya dan menatap Gahar dengan serius.
“Gahar… kami ke sini bukan cuma mau silaturahmi,” ucap Dita perlahan. “Kami mau bicara soal rencana pernikahan Cakra.” Gahar yang tengah meneguk teh langsung tersedak pelan, nyaris menyemburkannya. Ia menepuk dadanya sendiri sambil tertawa kecil. “Astaga... Cakra mau nikah?” katanya tak percaya, menatap keponakannya dari kepala sampai kaki. “Kapan kamu tumbuh segede ini, Nak? Dulu masih ingusan, sekarang udah mau nikah.”
Cakra hanya tersenyum malu sambil menggaruk tengkuknya. Gahar bersandar, matanya memandang jauh ke dinding seolah melihat masa lalu. “Aku masih inget waktu kamu kecil… tiap malam nangis cari ayahmu. Aku nggak nyangka, kamu bisa tumbuh sekuat ini, bahkan jadi perwira.” Ia menghela napas dalam. Suasana mendadak hening, penuh emosi yang tak diucapkan.
Dita menatap adik iparnya. “Makanya, aku ke sini. Kami ingin Mas Gahar jadi wali Cakra nanti.”
Gahar menoleh. Ada genangan air di matanya yang tua dan lelah. “Dengan senang hati,” jawabnya, suaranya sedikit parau. “Aku bangga bisa ngantar anak ini ke pelaminan. Dia layak bahagia, setelah semua luka yang dia simpan selama ini.” Cakra menunduk, matanya hangat. Hari itu, tidak ada pesta, tidak ada pelaminan. Tapi di ruang kecil rumah Gahar, sudah dimulai satu langkah penting: penerimaan dan restu.
Pintu pagar berderit pelan, seorang pemuda berjaket hijau loreng masuk sambil menyeret tas ransel besar. Rambutnya sedikit basah oleh keringat, dan wajahnya tampak lelah tapi cerah. Itu Rama — keponakan Gahar lainnya, baru pulang dari batalyon setelah menjalani latihan luar kota.
“Assalamualaikum!” serunya dari depan, sambil menjatuhkan tas di dekat pintu. Dari dalam, Gahar menjawab, “Waalaikumsalam! Lah, pas banget! Sini, Ram!” Rama melangkah masuk dan langsung terpaku melihat dua sosok yang tak asing duduk di ruang tamu. “Bang Cakra? Tante Dita?” Ia langsung menyalami mereka satu per satu. Cakra tersenyum lebar, berdiri sambil menepuk pundak Rama, “Lama nggak ketemu, Dek.”
“Eh iya, Bang. Nggak nyangka ketemu di sini.” Gahar kembali duduk sambil menyesap teh, lalu menoleh ke Rama dan berkata dengan nada ringan tapi penuh makna, “Kamu pas banget pulangnya. Tadi kita lagi ngomongin soal kabar gembira dari si Cakra ini.” “Kabar gembira?” Rama memicingkan mata. “Bang Cakra dapat kenaikan pangkat, ya?”
Cakra hanya menyengir, belum menjawab. Gahar tertawa kecil, “Bukan. Dia mau nikah.” Rama membelalakkan mata. “Lah ente mau nikah, Bang?” Cakra hanya mengangkat bahu dan tersenyum malu. “Ya... akhirnya berani juga.” Rama memukul pelan lengan atas kakaknya itu, masih tak percaya. “Gila... dunia bener-bener berubah. Dulu Bang Cakra kayak tembok—dingin. Sekarang udah mau naik pelaminan.”
Dita hanya tertawa pelan, senang melihat kehangatan di antara mereka. “Siapa yang jadi calon kakak ipar gue, nih?” tanya Rama, duduk di sebelah Cakra dengan antusias. Cakra tersenyum kecil, menatap ke luar jendela. “Shifa.” Rama melongo sebentar, lalu bersiul pelan. “Wah... pantas. Orangnya sabar banget, cocok banget buat ngeredam abang.” Tawa pun pecah di ruang tamu kecil itu, menandai babak baru yang akan segera dimulai—bukan hanya untuk Cakra, tapi untuk semua orang yang menyayanginya.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf