NovelToon NovelToon
Di Ujung Cakrawala

Di Ujung Cakrawala

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / Anak Genius / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Transmigrasi ke Dalam Novel / Tamat
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: kaka_21

Di balik tawa yang menghiasi hari-hari, selalu ada luka yang diam-diam disimpan. Tak semua cinta datang di waktu yang tepat. Ada yang datang saat hati belum siap. Ada pula yang tumbuh di antara luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Namaku Cakra.
Aku anak dari seorang perempuan yang terlalu kuat untuk mengeluh dan terlalu sabar untuk marah. Aku juga anak dari seorang pria yang namanya selalu disebut dengan kebanggaan, namun hanya hidup dalam kenangan.

Sejak kecil aku tumbuh dalam bayang-bayang ayahku yang gugur sebelum sempat menggendongku. Ibuku membesarkanku sendiri, menyematkan namanya dan kenangan tentang ayah dalam setiap langkahku. Aku tumbuh dengan satu tujuan—menjadi seperti dia. Seorang perwira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Pagi Pertama

Sinar matahari pagi menembus tirai jendela rumah Cakra yang sederhana namun hangat. Udara pagi masih segar, dengan aroma embun dan daun basah yang menyelinap masuk dari sela-sela ventilasi. Suara burung dari pepohonan di halaman menambah ketenangan pagi itu.

Shifa baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih setengah basah, menetes pelan di ujung-ujung helai. Ia mengenakan baju rumahan yang simpel dan nyaman, sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Langkahnya ringan menuju meja rias di kamar, namun matanya tiba-tiba membelalak.

Sebuah handuk basah tergeletak begitu saja di atas kasur.

Dengan dahi mengernyit dan tangan bertolak pinggang, Shifa menatapnya seolah sedang memarahi anak kecil.

Tak lama kemudian, Cakra muncul dari balik pintu kamar dengan rambut awut-awutan dan mata masih setengah tertutup. Ia menguap lebar sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Shifa langsung menegur.

“Bang Cakra, ini handuk kenapa ditaruh di kasur?” tanyanya dengan nada datar tapi sarat sindiran.

Cakra melirik handuk itu, lalu menoleh ke arah istrinya yang sudah menatap tajam.

“Lho, tadi buru-buru, lupa, maaf ya, Dek…” jawabnya santai sambil meringis, mencoba meredakan ketegangan.

Shifa menghela napas. Ia mengangkat handuk itu dengan dua jari seolah menjinjing barang bukti dari tempat kejadian perkara.

“Baru juga semalam resmi tinggal serumah, udah mulai nyebar jejak.”

Cakra tertawa pelan. “Kan tandanya Abang udah merasa rumah ini rumah sendiri…”

“Yah, kalau gitu berarti siap ya dimarahin istri sendiri juga?” balas Shifa sambil tersenyum sinis tapi manis.

Debat kecil itu berhenti sejenak ketika perut Shifa berbunyi. Ia melirik Cakra lagi, kali ini dengan ekspresi mengingatkan.

“Tadi malam katanya mau beli bubur ayam pagi-pagi. Mana?”

Cakra diam sebentar, lalu membalas dengan wajah paling polos sedunia.

“Aku... mimpi udah beli.” katanya dengan senyum mengembang.

Shifa langsung memukul lengan suaminya dengan handuk kecil yang masih ia pegang.

“Ya Allah, Bang! Mimpi doang diseriusin! Perut aku kenyang gak kalau Abang cuma mimpi?!”

Tawa kecil pecah di antara mereka.

Dari luar jendela, Dita yang sedang menyapu halaman memperhatikan percakapan itu sambil tersenyum geli. Suara percakapan kecil, sindiran manja, dan gelak tawa itu membuat hatinya hangat.

Dalam hati, Dita membatin,

Akhirnya rumah ini ramai lagi. Ada tawa, ada kehidupan. Setelah sekian lama…

Setelah sarapan seadanya hasil masakan dadakan Cakra yang lebih banyak diisi tawa daripada rasa—mereka memutuskan untuk keluar rumah sebentar. Cakra ingin mengajak Shifa jalan-jalan ringan, katanya untuk menghirup udara segar. Tapi tujuan sebenarnya... tersembunyi manis.

“Abang mau ke mana sih? Kok nggak bilang-bilang?” tanya Shifa curiga saat mereka sudah duduk di atas motor, helm sudah terpasang rapi.

“Rahasia dong,” jawab Cakra santai, menoleh sebentar ke arah Shifa yang duduk membonceng. “Yang penting Adek ikut aja dulu, nanti juga tahu.”

Shifa hanya mendengus pelan, tapi tetap memeluk pinggang suaminya dengan genggaman lembut.

Beberapa menit kemudian, motor berhenti di depan sebuah toko buku kecil di sudut kota. Bangunannya klasik, dengan jendela kaca besar yang dihiasi pajangan buku dan tanaman gantung.

Shifa mengernyit heran.

“Kok ke toko buku?”

Cakra menoleh dengan senyum. “Adek kan suka baca. Jadi ya... kita mulai hidup barunya dari tempat yang Adek suka.”

Tatapan Shifa melembut. Dalam hati, ia terenyuh. Ia tidak menyangka Cakra akan mengingat kebiasaannya yang dulu bahkan sempat menghilang karena trauma.

Mereka masuk ke dalam. Bau khas kertas dan kayu tua langsung menyambut. Shifa menyusuri rak demi rak dengan mata berbinar. Sementara Cakra sesekali mengamati dari jauh, melihat bagaimana istrinya tampak begitu damai di antara buku-buku.

“Abang, ini bagus deh,” seru Shifa sambil menunjukkan sebuah novel misteri yang sudah lama ia incar.

Cakra mengambil buku itu dan langsung berjalan ke kasir.

“Eh, lho, Bang—aku cuma nunjuk doang, bukan minta dibeliin...”

“Udah, anggap aja ini hadiah ‘pagi pertama’. Besok mungkin kita berantem soal sikat gigi,” jawab Cakra sambil tertawa.

Saat mereka hendak keluar dari toko, Cakra menggoda lagi.

“Besok kita ke mana, ya? Toko alat masak? Biar Adek makin rajin masak buat Abang?”

Shifa langsung mencubit pinggang suaminya.

“Kalau gitu, malam ini makan mi instan aja ya. Itu juga kalau aku masakin.”

Mereka tertawa lagi.

Namun di tengah tawa itu, seorang pria muda berdiri di seberang jalan. Ia memperhatikan Shifa dengan tatapan dalam, seolah mengenalnya.

Wajahnya terlihat gelap saat melihat tangan Shifa menggandeng erat tangan Cakra.

Ia lalu berbalik pergi, menghilang di balik deretan kendaraan.

Bayangan masa lalu mulai mengintai, perlahan tapi pasti.

Sore menjelang senja. Sebuah toko buku kecil berarsitektur klasik, tersembunyi di sudut jalan yang tenang. Plangnya bertuliskan: “Toko Buku Melati – Sejak 2001”. Udaranya hangat, lampu kuning temaram mulai menyala.

Shifa menatap toko buku itu dengan bingung, lalu menoleh ke arah Cakra yang sedang memarkir motornya.

“Bang… ini toko buku? Kita ke sini mau apa?”

Cakra tersenyum, lalu menggamit tangannya lembut. “Lihat aja dulu.”

Begitu pintu toko dibuka, lonceng kecil berdenting. Aroma buku lama langsung menyambut mereka. Rak-rak kayu yang tersusun rapi, meja kasir yang penuh tumpukan kertas catatan, dan suasana sunyi yang damai membuat Shifa diam sejenak.

Dari balik meja kasir, seorang wanita tua dengan rambut sebagian beruban menoleh dan tersenyum ramah.

“Cakra? Akhirnya datang juga… sama istrinya ya?”

Shifa kaget. Ia menunduk sopan, lalu berbisik pada Cakra.

“Ini siapa, Bang?”

Cakra menunduk menghormati wanita tua itu, lalu menjawab lirih, “Ini Bu Lastri… orang kepercayaan Ibu waktu toko ini masih ramai.”

Shifa makin heran. “Ibu? Maksudnya…”

Cakra menarik nafas dalam dan mulai menjelaskan sambil berjalan menyusuri rak buku.

"Sejak Ayah meninggal, Ibu mulai buka toko buku ini. Awalnya buat nambah pemasukan. Tapi lama-lama, toko ini jadi tempat beliau menenangkan diri. Waktu Ibu pensiun dari dokter, toko ini yang nemenin beliau setiap hari… waktu aku masih sibuk pendidikan dan dinas ke luar kota.”

Shifa menatap sekeliling. Ada suasana hangat, seperti toko ini pernah menjadi tempat berdiam hati yang patah dan rindu yang panjang. “Terus,” Shifa berkata pelan, “kalau kalian punya toko buku sendiri… tadi ngapain beli buku di toko lain?”

Cakra tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Karena disini nggak selengkap toko tadi, hehe. Maklum, aku jarang pulang, jadi stok buku nggak lancar. Ibu juga udah tua… kasihan kalau harus angkat kardus buku yang berat-berat itu sendiri.”

Shifa akhirnya ikut tersenyum, paham. Ia memeluk lengan Cakra, menatap rak yang penuh debu dan kenangan. “Kapan terakhir kamu ke sini?”

“Sebelum kita tunangan. Waktu itu aku baru pulang dari Kalimantan. Ibu minta tolong betulin lampu di gudang belakang.”

“Dan sekarang?”

“Sekarang aku pengen kamu tahu, toko ini bagian dari hidup aku. Dan mulai hari ini, bagian dari hidup kita.”

Shifa terdiam. Hatinya hangat. Bukan karena buku-buku yang berjejer, tapi karena ia melihat versi Cakra yang belum pernah ia temui — anak dari seorang ibu yang kuat, dan seorang pria yang kini mulai membangun makna rumah yang baru.

Sore hari, halaman samping toko buku yang dipenuhi tanaman pot dan bangku kayu. Langit berwarna jingga lembut, burung-burung mulai kembali ke sarang.

Shifa duduk bersama Bu Lastri di bangku kayu panjang. Mereka tengah menyiapkan cangkir-cangkir untuk teh sore. Cakra keluar dari dalam toko sambil mengusap tangan dengan lap kecil.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan toko. Dita keluar, membawa bungkusan kecil dan senyum di wajahnya. “Assalamualaikum…”

Shifa berdiri menyambut. “Waalaikumsalam, Bu!”

Cakra ikut menyapa, sedikit heran. “Lho, Ibu ngapain ke sini?”

Dita berjalan mendekat sambil menyerahkan bungkusan kepada Bu Lastri. “Bawain onde-onde hangat. Bu Lastri suka kan?”

Bu Lastri tertawa kecil. “Masih aja inget cemilan saya, Bu Dita. Terima kasih, bu.”

Namun, wajah Cakra tetap menyimpan sedikit kerut. Ia menatap ibunya yang baru saja keluar dari dalam toko dengan kantung plastik kecil berisi buku-buku bekas.

“Ibu… kan Cakra udah bilang, istirahat aja di rumah. Kenapa masih ke toko?”

Ibu Cakra, dengan langkah pelan dan sorot mata lembut, duduk di kursi rotan di dekat mereka.

> “Di rumah terus bosan, Cak. Toko ini bikin Ibu merasa hidup. Lagipula, Ibu cuma mau menata buku kok, bukan ngangkat kardus.”

Cakra menghela napas, tapi tak bisa menolak. Wajah ibunya terlalu damai untuk dibantah.

Shifa ikut duduk, lalu menuangkan teh yang telah disiapkan Bu Lastri. Aroma melati dari tehnya menyebar, menciptakan suasana santai.

Mereka semua duduk melingkar: Dita, Cakra, Shifa, Ibu Cakra, dan Bu Lastri. Di antara tegukan teh hangat dan gigitan onde-onde, percakapan ringan mengalir.

Dita menatap sekeliling dan berkata, “Toko ini tenang ya… rasanya kayak bukan di tengah kota.” Bu Lastri tersenyum sambil mengaduk tehnya, “Dulu waktu baru buka, pelanggan Ibu Cakra banyak. Apalagi anak-anak sekolah. Sekarang tinggal sisa-sisanya… tapi tempat ini punya jiwa.”

Cakra memandangi wajah ibunya yang sedang tersenyum menatap langit. Ada gurat lelah, tapi juga keteguhan yang tak pernah pudar.

“Toko ini yang nemenin Ibu selama aku jauh,” kata Cakra pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. Shifa meraih tangan Cakra di bawah meja, menggenggamnya erat."Sekarang kamu nggak jauh lagi, Bang” bisiknya lembut.

Angin sore bertiup pelan. Daun-daun mangga di atas halaman bergoyang ringan. Di sela tawa kecil dan teh yang hangat, ada kedamaian sederhana yang mulai tumbuh di antara mereka.

1
🇮🇩 SaNTy 🇵🇸
Laaaaaaaaaah... Muter2 BABnya.
cenil
so sweet, seorang perwira dan dokter pasangan ideal..
cenil
semangat berkarya teman...maaf baru berikan komen....dr awal blm begitu tertarik dan akhirnya terimakasih alurnya meninggalkan jejak dan menghibur ...
Siyantin Soebianto
ceritanya jadi penisirin gini ya😇
Nanang
SEMANGAT Thor berkarya nya ya 😇
kaka_21: siap kakak,terimakasih udah mampir
total 1 replies
piyo lika pelicia
semangat ☺️
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf
kaka_21: baik kak, terimakasih
total 1 replies
piyo lika pelicia
Assalamualaikum, paman pulang! waduh ... makan apa nih?"
piyo lika pelicia
Tiba-tiba pintu terbuka
piyo lika pelicia
Rama
piyo lika pelicia
"Ee.. kamu mau kemana" pake nanya. Virza tertawa kecil. "Aku mau
piyo lika pelicia
"Terimakasih, sepertinya tidak pernah."
piyo lika pelicia
ibu dan juga bapaknya kemana
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
tidak boleh berkata kasar pada anak mu sendiri 😒
kaka_21: sabar kak, sabar
total 1 replies
piyo lika pelicia
"Ma, dengarkan aku
piyo lika pelicia
iklan untuk kakak ☺️
piyo lika pelicia
dasar ibu yang buruk
piyo lika pelicia
adik yang baik ☺️
piyo lika pelicia
"Eh, Riz. Ada apa?"
Inumaki Toge
Ayatnya enak dibaca,lanjut semangat ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!