Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Satu bulan kemudian...
Pagi itu, udara terasa segar setelah hujan semalam. Jalanan masih basah, memantulkan cahaya matahari yang mulai menghangat. Rehan duduk di balik kemudi, mengenakan kemeja biru muda yang rapi. Di kursi penumpang, Alya duduk diam, memandangi jendela. Rambutnya yang tergerai sedikit tertiup angin dari kaca yang terbuka.
Seperti biasa, perjalanan menuju sekolah Alya berlangsung sunyi. Hanya suara mesin mobil dan gemericik sisa hujan dari ban yang memecah keheningan.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Rehan menghentikan mobil dan menoleh.
“Belajar yang baik,” ucapnya singkat.
Alya mengangguk. “Iya,” jawabnya pelan, lalu turun. Rehan memperhatikan gadis itu berjalan masuk, langkahnya tenang tapi entah kenapa meninggalkan rasa berat di dada pria itu.
Baru saja ia hendak melanjutkan perjalanan menuju sekolah tempatnya bekerja, ponselnya berdering. Nama. Mama. terpampang jelas di layar.
Rehan menghela napas panjang, lalu mengangkatnya. “Iya, Ma… ada apa?” tanyanya datar.
Suara Lidya terdengar tegas, bahkan sedikit tajam. “Kamu ini gimana sih, Rey? Apa kamu lupa sebentar lagi kamu bakal bertunangan dengan Rani?”
Rehan otomatis menginjak rem, menepikan mobil di pinggir jalan. Ia menutup mata sejenak, berusaha mengatur nada suaranya. “Ma, aku sudah bilang aku nggak mau perjodohan ini. Aku bisa mencari pasangan hidupku sendiri. Seseorang yang benar-benar aku cintai.”
Lidya langsung memotong dengan nada penuh keyakinan.
“Cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Dengan menikah, kalian akan menghabiskan waktu bersama, dan perlahan-lahan perasaan itu akan datang. Mama nggak mau ada bantahan.”
Reihan menatap kemudi, jarinya mengetuk pelan. “Tapi Ma...”
“Kalau kamu tetap keras kepala,” suara Lidya meninggi, “Mama akan minta Papa untuk mengambil semua kekayaan yang sudah kamu dapat. Kita lihat nanti, kamu masih bisa bicara seperti ini atau tidak.”
Rehan merasakan darahnya berdesir panas. “Mama nggak bisa gitu dong! Dari dulu Mama selalu berusaha mengatur hidupku. Aku ini bukan anak kecil lagi!” serunya dengan nada meninggi.
Namun Lidya justru membalas lebih dingin. “Semua yang Mama lakukan ini demi kebaikanmu. Sekarang kamu tinggal tentukan saja, kamu mau jatuh miskin, atau kamu mau menuruti perkataan Mama?”
Reihan terdiam. Kata-kata ibunya bagai jerat yang perlahan mencekik.
“Dan satu lagi,” lanjut Lidya tanpa memberi kesempatan Rehan menjawab.
“Datang ke rumah Mama sekarang juga. Kita akan bertemu keluarga Rani untuk membicarakan rencana pertunangan kalian. Setelah itu, kita ke butik perhiasan untuk memilih cincin yang pas untuk hari bahagia kalian.”
Tanpa menunggu balasan, panggilan itu diputus sepihak.
Reihan menjatuhkan ponselnya ke jok penumpang, mengusap wajah dengan kedua tangannya. Napasnya terasa berat, bukan hanya karena ancaman yang baru saja ia dengar, tapi juga karena rasa frustrasi yang semakin menumpuk.
Ia tahu Lidya bukan tipe orang yang mudah dilawan. Sekali ia sudah memutuskan sesuatu, akan sulit, bahkan mustahil, untuk mengubahnya. Dan kini, Reihan merasa seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas. mewah di luar, tapi menyiksa di dalam.
Mobil kembali melaju, namun pikirannya kacau. Wajah Alya sempat melintas di benaknya. Gadis itu tak tahu apa-apa tentang perjodohan ini. Bagaimana reaksi Alya jika nanti ia tahu?
Sepanjang jalan, ia berusaha menenangkan pikirannya. Di satu sisi, ia merasa menyerah pada tekanan orang tuanya. Di sisi lain, ia mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah tahap awal, belum tentu ia harus melangkah sampai ke pelaminan. Tapi tetap saja, ada perasaan seperti kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.
Dari kejauhan, gedung-gedung tinggi mulai berganti menjadi rumah-rumah besar dengan pagar besi tinggi dan taman yang tertata rapi. Reihan sudah hafal betul jalan menuju rumah itu. Setiap tikungan dan lampu merah seolah membawa ingatan masa lalu. tentang tuntutan, aturan, dan harapan yang selalu harus ia penuhi.
Saat gerbang besar berwarna hitam itu terlihat, Reihan merasakan dadanya mengencang. Satpam di pos jaga segera mengenali mobilnya dan membuka pintu pagar tanpa banyak tanya. Mobilnya masuk perlahan ke halaman luas yang dipenuhi tanaman bunga yang tertata simetris.
Ia memarkir tepat di depan pintu utama. Begitu mesin dimatikan, ia duduk sejenak, menatap bangunan megah itu. Rumah ini indah dari luar, tapi baginya selalu terasa seperti arena pertempuran yang tak pernah ia menangkan.
Pintu rumah terbuka, dan Lidya muncul. Penampilannya anggun dengan gaun berwarna pastel, senyum tersungging di bibirnya. “Kamu cepat juga,” katanya sambil menuruni anak tangga.
“Ya… kebetulan jalannya lancar,” jawabnya singkat.
“Ayo masuk. Keluarga Rani sudah hampir sampai. Kita harus membicarakan banyak hal sebelum mereka datang,” ujar Lidya, suaranya terdengar lebih seperti instruksi daripada ajakan.
Reihan melangkah masuk melewati pintu besar itu. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi bunga segar memenuhi ruangan. Ruang tamu sudah tertata rapi, meja dihiasi kue-kue kecil, teh hangat mengepul di cangkir porselen. Semua tampak seperti persiapan untuk sebuah acara resmi, meski hanya disebut “pertemuan keluarga.”
Ia duduk di sofa, mencoba menyembunyikan rasa tak nyaman. Dalam hati, ia berulang kali mengingatkan diri. Ini cuma pertunangan. Bukan pernikahan. Aku masih punya waktu…