"Rachel dijodohkan demi mahar, lalu dibuang karena dianggap mandul. Tapi pelariannya justru membawanya pada Andrean Alexander—seorang CEO dingin yang tanpa sadar menanam benih cinta… dan anak dalam rahimnya. Saat rahasia masa lalu terbongkar, Rachel menyadari bahwa dirinya bukan anak kandung dari keluarga yang telah membesarkan nya.
Bagaimana kelanjutan kisah nya.
Mari baca!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I.U Toon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengulang Kembali
BAB. 32
"Tapi bagaimana jika berita foto itu kesebar ke seluruh kantor ?" Tanya Rachel pada Andrean
"Apakah kamu takut ?".sahut Andrean tersenyum tipis
Rachel mengangguk. “Dan kalau ini sampai tersebar ke media…”
“Tidak akan,” potong Andrean cepat. “Selama aku masih memimpin perusahaan ini, tidak akan ada yang bisa menyentuhmu.”
Suara Andrean terdengar mantap, namun bukan itu yang membuat Rachel perlahan meneteskan air mata melainkan cara pria itu menggenggam tangannya seolah menjanjikan keamanan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Dalam dunia yang keras ini, Andrean adalah satu-satunya tempat ia bisa bersandar.
Rachel berdiri. “Aku… aku mungkin harus mundur. Mungkin ini semua salahku. Sejak malam itu, semuanya berubah. Aku tak ingin kau kehilangan reputasi hanya karena aku”
“Rachel, dengarkan aku.” Andrean berdiri dan menarik pelan tubuh Rachel agar berdiri menghadapnya. “Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Yang terjadi malam itu bukan karena kesalahan siapa pun. Kita berdua tahu, itu terjadi karena ada rasa.”
Rachel menunduk. “Tapi aku hanya bawahan mu"
“Dan aku hanya seorang pria yang jatuh cinta pada wanita yang setiap harinya membuatnya tak bisa berpaling.”
Rachel mengangkat wajahnya perlahan. Untuk sesaat, semua beban dan rasa takutnya menguap karena satu kalimat itu. Ada getar di dada, namun juga ada damai yang menjalar dari genggaman Andrean.
Dalam hening yang mendalam, Andrean menarik Rachel ke dalam pelukannya. Ia tidak berbicara. Ia hanya memeluk erat, hangat, dan seolah menghapus semua luka. Pelukan itu bukan sekadar pelukan biasa. Di dalamnya ada janji, ada keberanian untuk melawan dunia bersama.
Perlahan, Rachel membalas pelukan itu. Dan mungkin karena pelukan itu begitu nyaman, atau karena emosinya sedang tinggi, pelan-pelan mereka saling menatap.
Dunia di luar seakan berhenti. Hujan mulai turun perlahan, menari di luar jendela. Dan tanpa kata, Andrean mencium kening Rachel dengan lembut. Sebuah ciuman yang menenangkan, bukan sekadar hasrat, tapi kasih.
Tangan Rachel naik ke pipi Andrean, mengusap lembut wajah pria itu. “Aku takut,” gumamnya pelan.
“Aku juga. Tapi aku lebih takut kehilanganmu.”
Dan itulah awal dari segalanya. Ketakutan dan cinta yang berpadu dalam satu ruang—membuat mereka kehilangan logika. Rachel mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia butuh lebih dari sekadar kata-kata saat ini.
Andrean mengecup bibirnya. Lembut. Perlahan. Tak terburu-buru.
Rachel membalas, sama lembutnya. Ciuman itu tak hanya membawa kenangan malam di hotel dulu, tapi juga menghidupkan kembali rasa yang sempat terkubur karena takut dan realita.
Andrean menariknya ke sofa di sudut ruangan. Tangannya menggenggam pinggang Rachel, lalu membawanya duduk di pangkuannya. Mereka berciuman lama. Nafas mereka mulai tak beraturan, tetapi tak satu pun dari mereka ingin berhenti.
Pakaian mulai tergeser perlahan, namun tidak tergesa. Mereka saling memberi waktu, saling membaca satu sama lain, memastikan bahwa malam itu bukan sekadar pelampiasan, tapi penyatuan. Kehangatan tubuh Andrean menyelimuti Rachel seperti selimut di musim dingin. Tak ada rasa takut saat berada di pelukannya.
“Aku merindukanmu seperti ini,” bisik Andrean.
“Aku juga,” jawab Rachel dengan napas tercekat.
Mereka tenggelam dalam keintiman yang dulu sempat mereka tolak, namun malam ini kembali menyala lebih hangat, lebih jujur. Tubuh mereka menyatu dalam ritme yang pelan namun penuh gairah. Hujan di luar makin deras, seolah menjadi latar dari cerita cinta yang selama ini mereka sembunyikan.
Rachel menggigit bibir bawahnya, menahan desahan yang nyaris keluar saat Andrean menyentuh titik-titik di tubuhnya yang paling sensitif. Ia memejamkan mata, menikmati setiap inci perhatian yang diberikan pria itu. Tidak ada yang kasar. Tidak ada yang tergesa. Semua terasa seperti tarian yang sudah lama mereka latih.
Andrean mengecup leher Rachel, membuat gadis itu mengeratkan pelukannya.
“Aku mencintaimu, Rachel.”
Rachel membuka mata, menatap mata Andrean yang kini tampak lebih dalam, lebih jujur dari sebelumnya. “Dan aku... tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”
Mereka mencapai puncaknya bersama, dengan napas yang memburu dan peluh yang membasahi kulit. Setelahnya, Rachel bersandar di dada Andrean, mendengarkan detak jantungnya yang perlahan kembali normal. Tangannya menggenggam jari-jari Andrean, seolah tak ingin terlepas.
Sesaat ruangan hanya diisi oleh suara hujan dan desah napas mereka.
“Kalau dunia tahu… tentang kita…” gumam Rachel.
“Biar saja. Kita bisa atur waktu yang tepat. Tapi aku tidak akan pernah biarkan seseorang mempermainkan mu lagi,” kata Andrean sambil membelai rambutnya.
Rachel mengangguk pelan.
“Tapi aku ingin jadi kuat, Dre. Bukan hanya karena kamu melindungi ku. Tapi karena aku bisa berdiri sendiri.”
Andrean tersenyum. “Itu yang aku cintai darimu. Kekuatanmu. Bahkan ketika kamu merasa lemah, kamu tetap terlihat paling berani.”
Rachel tersenyum, lalu mencium pipinya. Mereka kembali berpakaian, membenahi penampilan. Tapi di dalam hati, tak ada yang sama lagi. Mereka tahu, hubungan ini tak bisa selamanya disembunyikan. Tapi untuk saat itu, cukup bagi mereka tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain.
Rachel berdiri, merapikan rambutnya. Andrean berjalan ke arah meja, mengambil ponselnya dan mulai menelepon tim IT internal perusahaan.
“Kita cari tahu siapa pengirim email itu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu lagi,” katanya tegas.
Rachel memandangnya dengan bangga. Ini bukan hanya tentang cinta. Ini tentang bagaimana cinta bisa membuat seseorang merasa aman, merasa dihargai, dan merasa layak untuk diperjuangkan.
Dan saat Andrean memandang Rachel, ia tahu satu hal yang pasti. Ia tak akan pernah membiarkan wanita itu pergi. Tidak sekarang. Tidak nanti.