Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Ada Yang Salah?
Masa cuti berakhir, Qila harus kembali ke Daerah Selatan untuk kembali bekerja.
“Bukankah sebulan lagi Abang libur semester?” tanya Qila yang tidak bisa lepas dari pelukan suaminya.
“Sebulan itu lama.”
“Kita sudah bisa berpisah selama 3 bulan, Bang. Satu bulan tidak akan lama kalau Abang melaluinya dengan Ikhlas.”
Zayyan menarik nafas dalam. Dengan rasa tidak rela, ia melepaskan pelukannya. Ia mengecup kening Qila. Zayyan yang ingin berlama-lama harus merelakan istrinya pergi karena mobil travel sudah menjemput.
Dengan berat hati Zayyan melambaikan tangannya melepas kepergian sang istri.
“Zayyan, kenapa dengan nilai ulanganmu hari ini?” tanya Bu Ifah, guru mata Pelajaran ilmu sosial.
“Maaf, Bu. Saya tidak belajar semalam.”
“Kenapa tidak belajar? Bukankah sudah diumumkan kalau hari ini ulangan?”
“Iya, Bu. Maaf.”
Tidak hanya mata Pelajaran ilmu sosial. Hari itu ada dua mata Pelajaran lain yang ulangan dan nilai Zayyan tidak seperti biasanya.
Bu Murni yang mendapatkan laporan segera memanggil Zayyan saat istirahat kedua. Beliau bertanya apakah ada masalah dengan istrinya, hingga membuatnya tidak fokus.
Zayyan hanya diam. Bu Murni yang sudah berpengalaman, tentu tahu kenapa Zayyan seperti itu.
“Istrimu sudah kembali bekerja?” Zayyan mengangguk.
“Sebulan lagi kamu juga liburan. Untuk apa kamu seperti ini?”
“Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa Zayyan ucapkan.
Ia tahu, ia salah. Tidak seharusnya ia membawa perasaannya sampai ke sekolah sehingga mempengaruhi nilainya.
Dalam hati Zayyan berjanji, jika ini adalah yang terakhir kalinya. Setelah ini, ia akan menjadi suami dan pelajar yang bisa diandalkan.
Zayyan membuktikannya dengan nilainya yang kembali cemerlang. Bu Murni yang sempat khawatir kini bisa bernafas lega melihat hasil ulangan semester Zayyan yang kembali menduduki peringkat satu di kelasnya.
Liburan tiba, Zayyan berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk mengunjungi istrinya di Daerah Selatan. Kedua orang tua Zayyan mengizinkan dan memintanya untuk berhati-hati selama perjalanan.
Sementara itu, Qila yang sudah tahu kalau suaminya akan datang mulai membersihkan kamarnya. Ia mengganti seprai dan gorden di kamarnya.
“Deng, aku ada di depan.” kata Zayyan yang menghubungi Qila.
Travel yang ditumpanginya mengalami kendala dalam perjalanan, hingga membuatnya terlambat 3 jam dari waktu yang seharusnya.
Ia sengaja menghubungi istrinya karena takut mengganggu kedua mertuanya di Tengah malam.
“Masuk, Bang!” kata Qila yang membukakan pintu dengan suara lirih.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
“Aku langsung bersih-bersih tubuh, Deng!” Qila mengangguk dan mengambilkan pakaian untuk suaminya.
Selesai mandi, Qila menyuguhkan teh hangat untuk suaminya.
“Aku merindukanmu.” Kata Zayyan yang memeluk Qila.
“Abang, takut Ayah atau Ibu lihat.” Zayyan menggandeng tangan Qila dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Saat Zayyan ingin menerkam sang istri, Qila yang mencium aroma maskulin dari tubuh suaminya merasakan mual secara tiba-tiba.
“Hueekkk…” Qila mendorong tubuh suaminya.
“Kamu kenapa, Deng?”
“Tidak tahu, Bang.” Zayyan mendekat dan ingin mengusap punggung istrinya, tetapi Qila kembali mual.
Suara yang Qila keluarkan, membuat kedua orang tuanya bangun dan mengetuk pintu kamar mereka.
“Oh! Zayyan sudah datang.”
“Iya, Yah.” Segera Zayyan mencium punggung tangan kedua mertuanya.
“Qila kenapa?”
“Tidak tahu, Yah. Tiba-tiba saja Adeng seperti orang mau muntah.”
“Apa kamu ada salah makan?” tanya Ana.
“Tidak ada, Bu.” Jawab Qila yang memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman.
“Sementara kasih minyak angin dulu perutnya. Besok pagi baru periksa ke dokter.” Zayyan mengangguk dan menerima minyak angin dari ibu mertuanya.
Lagi-lagi, Qila mualdan kali ini ia memuntahkan isi perutnya membuat semua orang terkejut.
“Aku tidak suka dengan baunya, Bang!” keluh Qila yang mendorong tangan Zayyan yang memegang minyak angin.
“Aneh?” batin kedua orang tua Qila.
Anak mereka tidak pernah mengeluhkan bau minyak angin selama ini. Kenapa sekarang mengeluhkan baunya sampai membuatnya mual? Jangan-jangan…
Mukhsin dan Ana saling pandang. Segera mereka mengajak Qila ke klinik 24 jam yang dekat dengan rumah mereka untuk memastikan kecurigaan mereka.
Benar saja. Dokter menanyakan seputar siklus menstruasi Qila dan kapan terakhir ia mendapatkan tamu bulanan. Mukhsin dan Ana sudah meninggikan harapan mereka. Hanya Qila dan Zayyan yang masih belum mengerti situasinya.
Saat dokter menyarankan Qila untuk melakukan tes urin dengan alat uji kehamilan, barulah keduanya saling pandang. Mereka sama-sama tidak mengerti mengapa bisa diasumsikan sebagai kehamilan, jika mereka saja tidak ada berhubungan secara langsung.
“Dua garis, Bang!” seru Qila yang keluar dari kamar mandi.
“Kamu yakin, Deng?” Zayyan mengambil alat uji kehamilan dari tangan Qila dan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
“Apa ada yang salah?”
“Maksud, Abang?”
“Aku tidak mengeluarkannya di dalam, bagaimana bisa hamil?” kata Zayyan dengan suara lirih.
“Abang mencurigaiku selingkuh?” tanya Qila dengan mata berkaca-kaca.
“Bukan begitu, Deng!” Zayyan segera sadar dengan apa yang ada dalam pikirannya.
“Sebaiknya kita kembali ke ruangan dokter untuk memastikannya.”
“Selamat ya Pak, Bu. Kalian akan menjadi Kakek dan Nenek.” Kata Dokter.
“Jika di hitung dari tanggal terakhir menstruasi, usia kandungan saat ini sekitar 5 minggu. Untuk memastikannya, besok bisa menemui dokter kandungan untuk melakukan pemeriksaan USG.” Imbuh Dokter.
“Terima kasih, Dok.” Ucap Mukhsin dan Ana.
Mereka keluar dari ruangan dokter dan mengambil obat anti mual di apotek.
Sesampainya di rumah, Mukhsin dan Ana merasa aneh dengan sikap kedua anak mereka. Bukan sikap yang Bahagia karena kabar kehamilan, melainkan wajah kebingungan.
“Anak itu rezeki. Siap tidak siap, kalian harus menerimanya dengan Ikhlas.” Kata Mukhsin yang mengira keduanya belum siap dengan kehadiran anak.
“Iya, Nak.” Ana setuju dengan suaminya.
Baik Qila ataupun Zayyan tidak menjawab. Keduanya masih sibuk dengan pemikiran masing-masing. Merasa keduanya perlu waktu, Mukhsin mengajak Ana masuk ke dalam kamar.
Cukup lama keduanya saling diam, hingga Zayyan mendekati Qila untuk meminta maaf atas pertanyaannya yang menyinggung sang istri.
Tetapi Qila justru merasa mual dengan bau tubuh suaminya dan menjauh. Zayyan mencium bau tubuhnya sendiri dan merasa tidak ada bau aneh di sana.
“Abang tidur di luar!” kata Qila yang segera masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya.
Zayyan tidak bisa berbuat apa-apa karena saat ini Qila masih marah dengannya. Ia akan berbicara lagi besok pagi.
Dengan langkah gontai Zayyan ke ruang Tengah. Di sana ada Kasur lipat yang biasanya digunakan untuk menonton televisi. Zayyan menggelarnya dan merebahkan tubuhnya yang Lelah.
Sayangnya tubuh yang Lelah tak lantas membuatnya bisa memejamkan mata. Ia masih bertanya-tanya mengapa Qila bisa hamil jika mereka saja tidak ada pembuahan. Bagaimana menjelaskannya?
.
.
.
.
.
maaf author sedang radang tenggorokan. beberapa hari ke depan mungkin tidak bisa up teratur