Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Klarifikasi
Ruang kerja Bayu diselimuti kesunyian.
Jam dinding berdetak pelan, seolah ikut menandai detik-detik menuju klarifikasi besar yang akan mengubah segalanya.
Pintu diketuk pelan. Tak lama kemudian, Rendra masuk dengan ekspresi serius, membawa sebuah map berwarna hitam di tangannya.
“Semua media sudah diberitahu, Tuan,” lapor Rendra dengan nada mantap. “Wartawan dari jaringan nasional hingga internasional akan hadir di lobby kantor ini sore nanti.”
Bayu hanya mengangguk, matanya tak lepas dari map di tangan Rendra.
“Dan ini…” Rendra menyerahkan map itu. “Saya rasa Anda harus tahu alasan sebenarnya Nyonya Ayla kembali ke Indonesia beberapa waktu lalu.”
Bayu membuka map perlahan. Lembar demi lembar dokumen terbuka di hadapannya—kop rumah sakit, hasil tes, laporan internal, dan satu nama yang membuat napasnya tertahan.
Sherin.
“Ayla datang ke Indonesia bukan untuk urusan pekerja,” lanjut Rendra hati-hati. “Dia menuntut pihak rumah sakit karena dua puluh satu tahun lalu dia menerima rekam medis palsu. Diagnosa vaginismus dan EDS vaskuler—ditulis hanya sehari sebelum ia menikah dengan Edward.”
Bayu mengangkat wajahnya perlahan. “Dan itu dilakukan oleh... Sherin?”
Rendra mengangguk. “Sherin mengganti data medis Ayla karena dia tidak ingin Ayla menikah dengan Edward. Dia menginginkan Edward untuk dirinya sendiri. Bahkan... dia sengaja hamil agar bisa menikah dengan Edward, meski saat itu Ayla masih menjadi istri sah Edward.”
Dunia seakan berhenti bergerak di sekitar Bayu.
“Ayla… pernah melakukan tes ulang. Hasilnya, ia sehat. Vaginismus-nya memang pernah ada, tapi sudah diobati dan berhasil melalui terapi bertahun-tahun lalu.”
Bayu terdiam. Tangannya gemetar saat menyentuh pinggiran map itu. Lalu seperti disambar petir, sepotong ingatan lama melintas di benaknya—wajah Ayla muda, suaranya lirih, gemetar, namun tetap tegar malam itu, dua puluh satu tahun lalu.
“Kau butuh seseorang yang utuh. Yang bisa jadi istri. Ibu dari anak-anakmu. Aku bukan itu. Aku punya kekurangan yang bahkan kamu nggak tahu. Aku...”
“Pergilah, Bay... Kumohon. Temukan seseorang yang bisa mencintaimu sepenuh hati. Lupakan aku.”
Bayu menggenggam dokumen di tangannya kuat-kuat.
“Jadi benar… selama ini Ayla menyerah bukan karena tak mencintaiku,” gumamnya lirih. “Dia menyerah karena merasa tidak pantas. Karena kebohongan ini.”
Rendra menunduk pelan, membiarkan majikannya memproses luka lama yang kembali mencuat.
Bayu berdiri perlahan. Sorot matanya berubah. Bukan lagi penuh amarah, tapi tekad.
Tekad untuk membela wanita yang telah dihancurkan oleh konspirasi dan pengkhianatan. Wanita yang selama ini ia pikir pergi karena tak cinta, padahal justru menyerah karena terlalu mencintai.
Layar tablet di meja kerja Bayu menyala.
Sinyal video call tersambung.
Wajah Ayla muncul di layar—wajah yang tak pernah benar-benar bisa ia lupakan, bahkan setelah luka, jarak dan perpisahan begitu lama.
Ayla tampak tenang seperti biasanya, tetapi ada kilatan cemas yang tak sempat ia sembunyikan dari tatapan Bayu.
“Bayu?” sapanya pelan.
Bayu menatap layar dengan sorot mata tajam tapi sarat luka. Ia tak langsung bicara, seolah mencoba menahan ribuan pertanyaan yang berputar di kepalanya agar tak meledak sekaligus.
“Jawab aku dengan jujur, Ayla.” Suaranya rendah, nyaris bergetar, tapi mengandung tekanan luar biasa. “Dulu… kau menikah dengan Edward bukan hanya karena ancaman dan paksaan dari dia dan keluargamu, 'kan?”
Ayla diam.
“Bukan hanya itu,” ulang Bayu, nadanya mulai meninggi meski ia menahan diri. “Tapi juga karena rekam medis palsu itu. Karena kau percaya kau nggak bisa jadi istri yang sempurna… nggak bisa jadi ibu. Karena kau pikir aku butuh perempuan yang utuh.”
Bayu menahan napas, menelan semua rasa pahit yang mulai mencuat ke tenggorokannya.
“Kau menikah dengan Edward… dan kau pura-pura mencintainya, hanya supaya aku bisa menikah dengan wanita lain yang bisa memberiku keturunan. Kau... bahkan menunggu sampai aku hampir menikah sebelum mengajukan gugatan cerai ke Edward, 'kan?”
Ayla menutup mata sejenak. Ada air yang menggenang di pelupuknya, tapi ia tetap berusaha kuat.
Perlahan, ia mengangguk.
“Maaf,” bisiknya. “Aku... hanya ingin kau bahagia. Aku tahu betapa besar keinginanmu punya keluarga. Anak-anak. Dan saat itu... aku pikir aku bukan orang yang bisa memberimu semua itu.”
Bayu merunduk, meletakkan tangannya di atas kening. “Tapi kenapa kau nggak pernah bicara padaku, Ay?”
“Aku takut,” suara Ayla pecah, lirih namun tulus. “Aku takut kau tetap memilihku... padahal aku mungkin tidak bisa memberimu apapun. Aku takut jadi beban... dan akhirnya kau membenciku karena aku mengecewakanmu. Jadi aku pikir... lebih baik aku jadi luka daripada jadi penyesalan.”
"Maaf, Bayu... Aku cuma ingin kamu bahagia. Meski bukan denganku."
Bayu mendongak kembali ke layar. Matanya basah, tapi bukan hanya karena marah.
Karena sesal.
Karena patah hati yang selama ini ia simpan, ternyata berdiri di atas fondasi kebohongan dan pengorbanan diam-diam.
“Kau menghancurkan hatiku, Ayla… demi membebaskan aku dari beban yang bahkan tak pernah kuanggap sebagai beban.”
Ayla tersenyum pilu. “Dan kau melukaiku… karena terlalu percaya aku bisa hidup tanpa cintamu.”
Hening.
Bayu memandangi wajah perempuan itu. Wanita yang pernah ia yakini telah meninggalkannya, ternyata selama ini menjauh untuk menyelamatkan perasaan mereka berdua.
Dan sekarang, dua hati yang dulu dipisahkan oleh kebohongan dan ketakutan, akhirnya berdiri di ambang kebenaran—telanjang, rapuh, dan penuh luka.
Langit sore mendung ketika Bayu keluar dari gedung kantornya. Udara terasa berat, seolah dunia bersiap menyaksikan babak baru yang akan dimulai.
Seorang pria asing dengan jaket lusuh mendekatinya pelan.
“Tuan Bayu?”
Bayu menoleh. “Ya?”
Pria itu menyerahkan sebuah amplop cokelat lusuh. “Ini titipan dari seseorang yang... katanya ingin bebas dari sangkar emas.”
Sebelum Bayu sempat bertanya lebih jauh, pria itu sudah berbalik dan menghilang di kerumunan.
Dalam mobil, Bayu membuka amplop itu.
Beberapa lembar berkas. Dan satu flashdisk.
Tangan Bayu gemetar saat menancapkan flashdisk itu ke laptop. Apa yang ia saksikan di layar membuatnya membeku.
Wajah Leo, supir pribadi Ellen yang selama ini diam, kini duduk di kursi tua dengan sorot mata penuh penyesalan. Suaranya bergetar saat mengucapkan kalimat pertamanya.
“Aku bukan Lia. Namaku Leo. Dan selama ini aku... dipaksa melayani Ellen. Dengan ancaman, dengan utang budi. Dia paksa aku diam. Bahkan saat dia merencanakan sesuatu untuk menjatuhkan Ayla…”
Dua jam kemudian, Bayu berdiri di atas podium, menghadapi ratusan awak media yang menyorotinya dengan kamera dan mikrofon.
Tapi kali ini, ia tidak bersembunyi. Tidak berputar-putar dalam bahasa diplomatis.
Ia menatap kamera dengan tatapan yang tak tergoyahkan.
“Ada kebenaran yang selama ini dikubur. Dan hari ini... saya memilih untuk tak diam lagi.”
Bayu mengangkat remote kecil dan memutar rekaman pertama di layar besar di belakangnya.
Rekaman dua puluh satu tahun lalu:
“Aku harap kamu nggak keberatan dengan rencana ini, Bayu.” Suara Ellen terdengar begitu angkuh.
“Sebaiknya kalian pikir ulang soal pertunangan ini,” jawab Bayu dengan nada datar. “Karena kalau kalian mengharapkan kebahagiaan... aku tidak bisa menjanjikannya.”
Layar berganti.
Rekaman perdebatan hebat antara Bayu dan ayahnya, Shailendra.
“Kau mempermalukan keluargamu sendiri di depan jutaan pasang mata!” Suara Shailendra menggema, penuh amarah.
Bayu berdiri. Tatapannya tegas. “Aku tak butuh semua itu, Pa. Karena kenyataannya, aku tak pernah benar-benar bahagia dengan harta yang Papa banggakan itu.”
“Mulai hari ini, aku hanya Bayu. Bukan Abimanyu Shailendra.”
Layar berganti lagi.
Rekaman suara Shailendra, tajam dan dingin.
“Kalau kau berani meninggalkan rumah ini, Bayu... dan tak menuruti semua perintahku, maka aku akan lakukan apa pun untuk menghancurkan Laras!”
Bayu menahan napas. Sorot matanya menajam saat rekaman terakhir muncul di layar:
Rekaman pengakuan Leo.
Ellen terlihat masuk ke hotel dengan Leo. Lalu pengakuan itu…
“Dia—Ellen—memaksaku. Berkali-kali. Aku takut. Tapi... setelah semua yang ia rencanakan untuk menjatuhkan Ayla, aku nggak bisa diam lagi.”
Para wartawan terdiam. Beberapa bahkan menyeka air mata.
Bayu menatap lurus ke arah kamera. “Saya sudah mengetahui identitas Lia sejak lama. Tapi saya memilih diam demi menyelamatkan seseorang yang dipaksa, diancam, dan disalahgunakan. Hari ini, saya melindunginya sebagai saksi.”
Ia meletakkan mikrofonnya. Sorot matanya tak goyah.
...🍁💦🍁...
To be continued
berhadap Ayla Dan debaynga Selamat Ellen yg hancur kalau g di penjara seunir hidup bisa meninggal Karna tertembak
lanjut kak....