Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Satu bulan kemudian....
Langit sore membalut lembut samudra biru, seolah merestui dua insan yang bersiap menyatukan janji. Kapal pesiar itu melaju perlahan, memecah ombak tenang menuju cakrawala. Angin laut membelai rambut Niken yang digelung anggun, sementara Bastian berdiri di hadapannya dengan mata sembab, tak mampu menyembunyikan gejolak haru di dadanya.
Hanya keluarga inti yang hadir. Mama Bastian, orangtua Niken, serta beberapa saudara terdekat. Tak ada hiruk pikuk. Tak ada pesta megah. Hanya sakralnya janji suci di bawah langit luas yang menjadi saksi.
“Aku benar-benar tidak percaya... akhirnya kamu jadi milikku,” bisik Bastian sambil menyeka air mata yang terus jatuh, meski ia berusaha tegar.
Niken tersenyum, jemarinya menyentuh pipi Bastian yang basah. “Kau menangis seperti anak kecil,” godanya lembut.
“Aku memang seperti anak kecil… yang akhirnya mendapatkan mainan impian setelah bertahun-tahun cuma bisa lihat dari kejauhan,” balas Bastian sambil tertawa kecil, masih dengan mata berkaca.
Niken menggeleng pelan, matanya berkaca pula. “Kau tahu? Ini pertama kalinya aku merasa diinginkan seseorang... bukan karena siapa aku, tapi karena apa yang aku punya di dalam sini.” Ia menunjuk dada sendiri.
Bastian langsung menggenggam tangan Niken. “Dari awal, aku tidak pernah lihat kamu cuma dari luar, Ken. Kamu selalu punya cara membuat hatiku terpikat. Kamu manis, kamu cantik… dan kamu satu-satunya alasan kenapa aku percaya cinta itu patut diperjuangkan.”
Ijab qobul Bastian dan Niken berjalan lancar, tidak ada hambatan atau kendala apapun. Bastian benar-benar telah mempersiapkan diri dengan matang untuk menikahi Niken wanita pujaan hatinya sejak masa sekolah dulu.
Niken mencium tangan Bastian, Bastian mencium kening Niken. Suara riuh sanak saudara dan tamu undangan terdengar memeka kan telinga mereka. Air mata bahagia mengalir di pipi Niken, akhirnya dia bisa melepas masa jandanya dalam waktu singkat saja.
Matahari mulai tenggelam saat Bastian dan Niken berdiri di balkon kapal, memandang matahari yang seakan malu-malu pamit.
“Niken…”
“Hm?” Niken menyandarkan kepalanya di bahu Bastian.
“Terima kasih sudah mau memberiku kesempatan. Terima kasih sudah percaya padaku. Bahkan saat aku sendiri belum sepenuhnya percaya pada diriku.”
Niken menggenggam tangan Bastian. “Dan kamu tahu? Aku merasa seperti pahlawan… karena bisa jadi wanita yang kamu idamkan selama ini.”
Bastian menoleh dan menatap wajah istrinya dengan cinta yang tak bisa dituliskan. “Kamu bukan cuma wanita yang ku impikan, Ken. Kamu rumah. Kamu tujuan.”
“Lalu... kamu kapal pesiarnya,” balas Niken geli, membuat Bastian tertawa terpingkal.
“Maksudnya?”
“Kamu yang membawaku berlayar. Ke tempat yang belum pernah aku bayangkan. Dan akhirnya... kamu menambatkan aku di dermaga hatimu.”
Bastian menatap Niken dalam diam, lalu memeluknya erat. “Sampai kapanpun, jangan pernah turun dari kapal ini, ya.”
“Aku tidak akan kemana-mana. Kamu nahkodaku, dan aku… aku penumpang yang bersyukur setiap detik karena telah kau pilih.”
Di balik cakrawala yang mulai gelap, cahaya cinta mereka tak pernah padam. Hari itu, cinta yang lama terpendam akhirnya berlabuh dengan tenang—di pelaminan, di atas laut, dan di dalam hati.
"Aku punya sebuah hadiah rahasia untukmu Niken,"
"Hadiah? Hadiah apa?" Niken berkerut dahi.
"Dengarkan ini baik-baik, karena aku hanya akan membacakannya satu kali."
Bastian menarik nafas dalam, dia bersiap membacakan puisi cinta yang sudah dia buat susah payah selama satu bulan terakhir.
"Telah lama ku pendam dalam diam,
Cinta yang tumbuh sejak pertama pandang,
Kau berjalan ringan dalam hariku yang kelam,
Membawa terang yang tak pernah ku ucapkan.
Aku menanti dalam sabar yang sunyi,
Tak berharap, tapi tak mampu pergi,
Menjaga rasa seperti api kecil di hati,
Yang tak padam meski waktu terus menepi.
Kau tak tahu, betapa dalam rinduku,
Dalam setiap doa, terselip namamu,
Meski kau miliki dunia yang jauh dari ku,
Aku tetap setia dalam bayang hari-mu.
Hari berganti, musim berpindah rupa,
Aku masih di sini, mencintaimu dalam luka,
Hingga takdir menoleh dan berkata,
Kini waktumu tiba, bersanding di pelaminan mulia.
Kau tersenyum, mengenakan gaun pengantin putih,
Dan di sana aku, menggenggam janjimu yang bersih,
Tak lagi dalam diam, tak lagi sembunyi,
Kini kau dan aku, dalam cinta yang abadi.
Air mataku jatuh bukan karena sedih,
Melainkan karena Tuhan akhirnya memberi,
Cinta yang ku pendam tak sia-sia kuterima,
Karena hari ini, kaulah istriku… selamanya."
Niken bertepuk tangan, dia sangat terharu dengan hadiah pernikahan special yang Bastian berikan padanya. Niken memeluk pria itu erat, lalu melayangkan sebuah ciuman manis yang bertubi di wajah suaminya.
***
Bastian membawa Niken ke sebuah kamar hotel yang dia pesan secara khusus. Kamar itu diselimuti cahaya temaram dari lampu gantung kristal dan kilau lilin yang menyala tenang di sudut-sudut ruangan. Aroma vanila dan mawar menguar lembut di udara, menyatu dengan suara halus deburan ombak dari balkon terbuka.
Niken berdiri di tengah ruangan, gaun putihnya masih terpasang anggun, namun napasnya mulai tak teratur ketika tatapan Bastian tak lepas dari tubuhnya. Mata itu menyimpan rindu bertahun-tahun yang tertahan, penuh rasa haus akan kepemilikan—bukan hanya secara fisik, tapi jiwa.
Bastian mendekat perlahan, langkahnya mantap, namun matanya gemetar.
“Aku sudah terlalu lama menahan diri,” gumamnya, nyaris serak. “Malam ini, aku tak ingin menahan apa pun lagi.”
Niken tak menjawab. Dia hanya menatap, membiarkan suaminya membuka setiap lapisan dirinya, luar dan dalam. Gaunnya meluncur turun dengan lembut, dibantu tangan Bastian yang gemetar oleh emosi dan hasrat. Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena tahu malam ini, ia akan benar-benar dimiliki oleh pria yang mencintainya dengan sepenuh hidup.
Bastian mengangkat tubuh Niken ke dalam pelukannya, seolah tak rela kaki istrinya menyentuh lantai. Ia membaringkannya di ranjang bertabur mawar, lalu menunduk, mencium setiap inci kulit Niken dengan sabar dan penuh rasa.
“Malam ini, aku ingin kau tahu... betapa berharganya kamu bagiku,” bisiknya di telinga Niken.
Tubuh mereka menyatu, saling mengisi, saling menggemakan debar. Nafas mereka menjadi nyanyian, keringat mereka menjadi tinta dari cerita yang selama ini hanya tersimpan di benak dan mimpi. Bastian mencintai Niken seperti seseorang yang menemukan rumahnya setelah lama tersesat.
Desahan mereka menggema dalam malam yang dalam. Tidak hanya sekali. Ketika Bastian mengira rasa itu cukup, kerinduan itu kembali membuncah, dan Niken pun menjawab dengan tangan yang menariknya kembali. Dalam malam yang panjang, mereka saling tenggelam dan saling bangkit, membuktikan bahwa cinta bisa menjadi hasrat… dan hasrat bisa menjadi ibadah jika dibalut ketulusan.
Saat malam mendekati pagi, tubuh mereka terbaring lelah, saling membelit dalam selimut yang setengah terbuka. Rambut Niken berantakan, pipinya merah, namun sorot matanya penuh kedamaian.
“Bas…” panggilnya lirih.
“Hm?” Bastian menyentuh lembut pipi istrinya.
“Aku tak tahu, kau bisa mencintaiku sampai seperti ini…”
Bastian tersenyum, lalu mengecup keningnya. “Kau bukan hanya dicintai, Ken… Kau diinginkan, dihormati, digilai dengan cara paling manusiawi yang bisa kulakukan.”
Niken tersenyum kecil, menggenggam jari Bastian. “Kalau begitu… cintai aku seperti ini setiap malam. Eh, setiap waktu.”
Bastian menatap mata itu, lalu berbisik di antara sisa napas yang masih hangat, “Setiap malam, setiap waktu. Setiap pagi. Seumur hidupku.”
Dan di bawah langit yang mulai terang, tubuh mereka tertidur berpelukan—lelah, bahagia, dan utuh. Sebab malam itu, bukan hanya tubuh mereka yang bersatu, tapi seluruh semesta dalam hati mereka telah saling menyerahkan segalanya… tanpa sisa.
Bersambung....