Seorang pria yang tak sengaja di dunia lain, ia penasaran dengan goa yang di dekat kereta api, lalu pria itu harus berfikir keras dan menghadapi masalah yang berada di dunia di tempati sekarang.
Sambil ditemani oleh rekan rekannya menjelajahi dunia Baru, pria itu mendapatkan banyak teror yang mengerikan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Taiga あいさか x hmd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ekspedisi
Aku masih memandangi benda itu. Berkali-kali kuputar, kuperiksa, tapi tak ada yang berubah. Kepalaku penat, pikiranku buntu. Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk beristirahat.
Malam pun turun. Di langit gelap negeri Hanibal, sebuah balon udara perlahan melintas, membelah kesunyian angin dingin.
Seseorang mendekat dan membungkuk ringan. "Yang Mulia... apa rencana Anda berikutnya?"
Sang Raja menatap ke luar jendela, wajahnya penuh ambisi. "Aku akan membawa orang itu... yang istimewa itu. Aku yakin, dia bisa membantu teknologi kita berkembang. Bangsa bersalju ini akan segera berjaya."
Orang itu menatap dengan serius. "Anda yakin? Bagaimana jika dia ternyata bukan siapa-siapa?"
"Aku tidak pernah ragu," jawab sang Raja, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kita akan memperalat dia... menipunya. Hahaha!"
Ia berbalik dan melangkah keluar, membiarkan suara tawanya menggema di koridor.
---
Pagi harinya, cahaya matahari menyelinap di balik jendela. Angin pagi berbisik lembut, menari bersama dedaunan.
Ferdy mengguncang tubuhku pelan. "Tuan, bangun."
Aku membuka mata dengan lesu. "Hah? Ada apa?"
"Zafkiel, jangan biasakan bangun siang terus."
"Maaf, aku masih kepikiran soal benda itu."
"Kalau kau terus mikirin itu sendirian, jelas bakal pusing sendiri," sahut Ferdy sambil terkekeh.
Aku tersenyum canggung. "Iya, iya... maafkan aku."
Ferdy menggeleng, tapi tersenyum. "Jadi, kau tetap mau ke Outomania?"
"Hmm... ya, tapi aku butuh waktu buat persiapan."
"Aku ikut. Kau ajak yang lain juga?"
"Tentu. Aku ingin ajak Selfia, Charlos, Kalla, dan Verla."
"Bagus. Penelitian ini bisa jadi awal kejayaan kita."
"Benar. Baiklah, aku akan bersiap."
---
Setelah itu, aku pergi ke Ibukota Zenith. Tujuanku pertama: rumah Selfia.
Dari gerbang, aku memanggil. "Permisi, apakah Nona Selfia ada di rumah?"
Pelayan mengangguk dan menyuruh kami menunggu. Tak lama, Selfia keluar bersama Charlos. Senyum di wajah mereka langsung menghapus letihku.
"Hai, Zafkiel! Ada apa mencariku?" tanya Selfia ceria.
"Selfia, mau ikut ke Outomania?"
Charlos ikut bertanya, agak terkejut. "Lho, ke sana? Jauh sekali. Untuk apa?"
Aku merendahkan suara. "Aku ingin meneliti sebuah benda peninggalan sejarah. Ada potensi besar yang ingin kuaktifkan kembali."
Keduanya terdiam sesaat, lalu Charlos tertawa lepas. "Wah, petualangan di alam bebas! Sudah lama aku menantikan ini!"
"Kapan berangkat?" tanya Selfia antusias.
"Secepatnya. Aku juga akan mengajak Kalla dan Verla."
---
Setelah semua setuju, kami berkumpul dan mulai perjalanan menuju perbatasan Negeri Venesia. Malam harinya, kami tiba di kota besar dan menyewa sebuah penginapan—tentu saja, ditanggung Kalla.
"Serius, Kal? Ini mahal loh," ucapku setengah protes.
"Ah, santai saja. Semalam doang ini," jawabnya sambil tertawa.
Charlos menimpali, "Sebelum istirahat, gimana kalau kita jalan-jalan dulu keliling kota?"
"Aku setuju," kata Ferdy.
"Iya, ayo!" tambah Verla.
Charlos menoleh ke kami. "Kalian gimana? Selfia? Zafkiel?"
Aku menggeleng. "Aku di sini aja, rasanya lelah sekali."
Selfia tersentak, seperti baru sadar ditanya. "Eh? Aku juga... aku juga capek. Kalian duluan saja."
Ketiganya pergi. Aku melirik Selfia. "Tumben nggak ikut mereka?"
"Aku kan udah bilang, capek," jawabnya lirih. Wajahnya sedikit merah.
"Oh iya, Selfia. Kamu ingin bicara sesuatu?"
Selfia mengangguk. "Ayo ke tempat makan."
Kami duduk di ruang makan hotel yang tenang, dengan jendela besar memperlihatkan pemandangan kota di malam hari.
"Wah, indah banget ya, Zafi," gumam Selfia sambil menatap keluar.
"Yap, benar. Tenang banget."
"Ngomong-ngomong, benda apa sih yang kamu bilang itu?"
Aku membuka tas, merogohnya, lalu mengeluarkan benda itu. "Ini."
Selfia menatapnya takjub. "Ini... ini alat komunikasi jarak jauh! Tapi kan penelitiannya dulu dihentikan..."
"Aku ingin melanjutkannya." (Tiba-tiba rasa nyeri menghantam dadaku, suara aneh berdengung keras di telingaku.)
"Nggggh..." Aku menggenggam dada, menahan sakit.
"Zafi! Kamu kenapa?!" Selfia panik, matanya mulai berkaca-kaca.
Namun, rasa sakit itu secepat datangnya, secepat itu pula menghilang. Aku terdiam.
"Aku... aku nggak apa-apa. Maaf bikin kamu khawatir."
Aku tertawa canggung sambil menggaruk kepala. Tapi pandangan Selfia masih penuh cemas.
Lalu dia berkata pelan, "Zafi... kamu masih mau bersamaku, kan?"
Aku yang sedang meneguk teh langsung tersedak. "Uhuk! Hei, kamu ngomong apa?"
Pipi Selfia memerah. "Kita sekarang jarang ketemu... aku takut kamu melupakanku."
Aku tersenyum lembut. "Aku nggak mungkin lupa. Kamu temanku satu-satunya yang selalu di sisiku."
"Zaf... Kiel..." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan.
"Sudah ah, habiskan makananmu. Kamu biasanya tidur jam 9, ini udah jam 11 loh."
Selfia terperanjat. "Hah?! Kok kamu tahu?!"
Aku terkekeh. "Aku terkadang memanggil mu saat aku masih berada di rumah mu, aku memanggil mu di depan pintu kamar mu malam-malam... dan nggak sengaja lihat kamu udah tidur."
Selfia kembali duduk, wajahnya merah padam karena malu.
semangat.../Good//Ok/
ingat mampir juga/Coffee//Coffee//Coffee/
mantap thor
*ilang*