NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

" Lamaran "

Menara Eiffel, malam hari.

Langkah-langkah mereka akhirnya terhenti di taman Champ de Mars, di hamparan rumput yang masih basah sisa embun malam. Lampu taman menyala redup, seperti menjaga agar malam tetap tenang. Di depan mereka, Menara Eiffel berdiri megah, perlahan mulai menyala, satu demi satu cahaya kecil menari naik dari kakinya hingga ke puncak, seperti bintang-bintang yang dipanggil turun dari langit.

Liana duduk begitu saja di atas rumput. Nafasnya masih tersengal, pipinya memerah, rambutnya sedikit berantakan. Jaketnya separuh terbuka, dan ujung sepatu sendal hotelnya tertutup tanah basah. Tapi ia tidak peduli.

Johan menyusul, duduk di sampingnya. Lututnya menekuk, kedua tangannya bertumpu di belakang. Ia menatap langit dan menara di depannya, keringatnya belum kering, tapi matanya teduh. Di wajah mereka, kelelahan dan kekaguman bercampur jadi satu.

Mereka tidak bicara.

Tak perlu.

Suara kota Paris terdengar jauh, seperti musik pengiring yang sengaja dipelankan. Hanya desah angin yang melewati sela-sela daun, dan suara kamera para turis di kejauhan.

Lalu, saat Menara Eiffel mulai berkedip—seperti mata yang mengedipkan cahaya pada semesta—Johan membuka suara. Pelan. Tidak terburu-buru.

“Kalau malam ini dunia berhenti… aku gak apa-apa.”

Liana menoleh. Suaranya rendah, seperti bisikan dari balik jaket tebal.

“Kenapa?”

Johan menatap lurus ke depan. Matanya masih tertuju pada cahaya-cahaya itu. Tapi nadanya—ah, nadanya seperti seseorang yang akhirnya mengerti hal yang tak pernah diajarkan buku.

“Karena aku akhirnya tahu… aku masih bisa bahagia.”

Liana tidak langsung menjawab.

Tapi ia menyandarkan kepalanya ke pundak Johan. Pelan, tanpa suara. Ringan, tapi dalam. Seolah-olah ia menyerahkan seluruh perasaannya lewat satu gerakan itu.

Dan diam mereka jadi bahasa.

Di kota yang asing. Di bawah langit yang tidak mengenal nama mereka.

Mereka tidak butuh banyak kata.

Langit Paris malam itu benderang.

Seolah Tuhan sedang melukis dengan warna-warna cahaya. Dan Menara Eiffel berdiri seperti saksi bisu—bahwa dua manusia yang pernah hancur… akhirnya menemukan caranya untuk utuh kembali.

Liana duduk bersila di atas rumput yang masih menyimpan dingin malam. Sandal hotel berwarna krem menutupi kakinya, sedikit kotor terkena tanah, tapi ia tak peduli. Justru alas kaki itu terasa jujur—bukan benda mewah, tapi seperti dirinya: datang ke Paris bukan sebagai tamu bangsawan, melainkan sebagai manusia biasa yang membawa cerita luar biasa.

Angin musim semi melintasi taman, meniup pelan helai-helai rambut Liana yang tergerai. Membelainya lembut seperti tangan seorang ibu yang menenangkan anak kecil sebelum tidur. Dari kejauhan, suara deru kota Paris terdengar samar, dibalut gemericik air dari pancuran taman, dan sesekali sorak pelan para turis yang tak bisa menyembunyikan kekaguman pada menara yang mulai berpendar.

Di sampingnya, Johan duduk bersandar. Napasnya masih belum teratur sejak berlari tadi, tapi dari wajahnya, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan—ada gugup yang perlahan muncul ke permukaan.

Tangannya merogoh kantong dalam jaket, mengeluarkan sebungkus kecil yang dibungkus kain beludru tua warna marun. Tidak ada kotak cincin, tidak ada pita emas. Hanya gulungan sederhana yang menyimpan sesuatu yang telah dipendam terlalu lama.

Liana menoleh, keningnya berkerut lucu. “Apa itu?”

Johan menghela napas pendek. Lalu berkata pelan,

“Coba buka.”

Dengan jari yang sedikit gemetar karena udara dingin dan perasaan yang tak bisa dijelaskan, Liana membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya, ada selembar kertas tua, warnanya kecokelatan seperti daun maple di musim gugur. Aroma samar tinta yang telah mengering menyambut hidungnya. Tulisan tangan Johan memenuhi lembaran itu. Tidak sempurna. Tapi terasa nyata.

Liana mulai membaca.

> “Aku tidak tahu nama pasti dari rasa ini, tapi aku percaya orang-orang menyebutnya jatuh cinta. Rasa yang tumbuh diam-diam, di tanah yang lama kering, setelah sekian musim tak ada yang menanam benih.”

> “Aku juga tak tahu cara melamar seseorang yang hidupnya pernah menyatu dengan sunyi hutan, yang langkahnya lebih jujur dari beton kota, dan yang tawanya mampu meredam badai dalam dadaku.”

> “Tapi kalau kau bersedia, aku ingin kita membangun rumah yang tak punya pagar.

Pohon jambu di halaman depan, bunga liar di belakang, dan tanaman Mandragora—yang pernah menyelamatkan kita.”

> “Tak perlu pesta. Tak butuh gaun mahal.

Cukup satu janji. Janji yang akan jadi tiang pancang hidup kita. Seperti akar Mandragora yang menyelamatkan kita itu—tak terlihat,

tapi memeluk tanah dengan kuat.”

> “Kalau kau setuju, balikkan kertas ini.”

Liana terdiam. Dadanya naik turun, tapi matanya tak berkedip. Sinar lampu taman memantul di kaca matanya yang mulai berkabut. Ia menahan napas, menahan tangis, menahan segala yang ingin meluap.

Perlahan, ia membalikkan kertas itu.

Satu kalimat.

“Nikah yuk?”

Di samping tulisan itu, ditempelkan satu gantungan kecil dari akar Mandragora. Dibentuk menyerupai sosok manusia kecil, kaku, sederhana—tapi penuh makna. Simbol dari tempat pertama mereka merasa hidup, dari titik tergelap yang justru menjadi awal cahaya.

Liana menatap Johan. Air matanya mengambang, tapi bibirnya tersenyum.

“Ini... ini lamaran paling gila yang pernah aku lihat. Bahkan film-film romantis yang aku tonton nggak ada yang kepikiran begini.”

Johan menunduk, tertawa kecil. “Gila... tapi serius.”

Liana menggeleng pelan. Lalu meraih ransel lusuhnya, menarik ritsletingnya dengan pelan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah kalung sederhana—rantai tali cokelat dari serat tumbuhan, dengan liontin kecil dari kayu. Bentuknya tak simetris, tapi ada ukiran samar di permukaannya. Sebuah simbol dari akar pohon tua yang pernah mereka temui—di sebuah batu besar, di pinggir sungai—tempat mereka pertama kali saling percaya.

Liana menyampirkan kalung itu ke leher Johan.

“Kalau kamu punya keberanian melamarku pakai akar…” suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh semilir angin,

“…maka aku jawab dengan akar pula. Biar alam yang jadi saksinya. Biar langit yang mencatat.”

Angin malam berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan debu musim semi. Di bawah cahaya hangat taman, wajah Liana tampak lebih dewasa dari biasanya—matanya menatap ke depan, tapi isi kepalanya seperti sedang berjalan jauh ke masa depan yang belum datang.

Johan menatapnya dari samping. Jarak di antara mereka tak lebih dari satu genggaman tangan, tapi terasa seperti dua dunia yang saling menunggu untuk saling memahami.

Liana menarik napas. “Jo…”

“Hm?”

Ia menggigit bibirnya sebentar. Suaranya pelan, namun penuh keyakinan.

“Aku ingin lanjut kuliah dulu. Biar bisa jadi guru. Biar bisa ngajarin orang-orang... yang mungkin dulu seperti aku, tak pernah mengenyam pendidikan.”

Johan tak langsung menjawab. Matanya menatap wajah Liana dengan cara yang tak banyak orang bisa lakukan—bukan karena kagum, tapi karena menghargai arah yang dipilih seseorang untuk hidupnya.

Ia mengangguk pelan.

“Aku tahu.”

Lalu senyumnya muncul—bukan senyum kecewa, bukan pula senyum terpaksa. Tapi senyum yang justru menguatkan.

“Aku akan menunggu kamu, Lia.”

Suaranya tenang. Tidak goyah. Seperti janji yang tidak perlu dicatat di atas kertas, karena sudah terukir di hati.

Liana menoleh padanya. Cahaya lampu taman memantul di bola matanya yang mulai berair.

“Kamu serius?”

Johan mengangguk sekali lagi. “Yang kamu pilih... itu hal mulia. Kamu nggak ninggalin aku, Lia. Kamu sedang mengejar sesuatu yang jauh lebih besar dari kita dan itu justru bikin aku tambah jatuh cinta.”

Liana menunduk, menyembunyikan senyum malu yang tak sempat ia tahan.

Angin meniup rambutnya.

Langit tetap diam. Tapi semesta seolah ikut mendengar percakapan mereka—dan setuju.

~

Pagi itu, Paris masih setengah tertidur. Kabut tipis menggantung malas di antara atap-atap tua, seperti selimut yang belum sempat dilipat. Udara menggigit pelan, mencubit pipi siapa pun yang berani keluar terlalu pagi. Jalanan masih lengang, dan dari kejauhan, denting sepeda tukang roti terdengar lirih, nyaris seperti suara dari mimpi yang belum usai.

Di sudut Rue Montorgueil, di bawah terpal kafe kecil berwarna cokelat yang sudah pudar dimakan musim, Johan dan Liana duduk berdampingan. Meja bundar di hadapan mereka basah oleh embun pagi, dihiasi dua cangkir espresso yang mengepulkan uap hangat, dan sepiring croissant yang belum mereka sentuh sama sekali.

Liana menatap roti itu dengan pandangan kosong, sebelum akhirnya berbisik, nyaris tak terdengar,

“Pagi ini... rasanya aneh, Jo.”

Johan melirik sekilas, tangannya masih membalut cangkir hangat. “Aneh gimana?”

“Kayak masih nunggu alarm bunyi. Nunggu ada yang datang nyubit pipi dan bilang semuanya cuma mimpi. Tapi ternyata… ini nyata. Kita di sini. Di Paris. Di tengah kekacauan yang nggak bisa kita ceritain ke siapa-siapa.”

Johan tersenyum tipis, mengangkat alis. “Kita benar-benar duduk di sini. Dan kedinginan setengah mati.”

Liana terkekeh pelan. Bukan karena lucu, tapi karena ia tahu, Johan bukan tipe lelaki yang pandai menyusun kalimat romantis. Tapi justru karena itu—kata-katanya selalu jujur. Selalu bersih dari kepalsuan.

“Jo…” panggilnya pelan. “Nanti… kalau semuanya berubah. Kalau keadaan memaksa kita jadi orang lain. Aku cuma berharap kamu tetap jadi Johan. Yang berpihak pada orang kecil. Yang nggak gampang jatuh cinta, tapi kalau jatuh, ya jatuhnya sampai dalam sekali.”

Johan menatapnya lama. Diam. Tapi pandangan itu menjawab lebih banyak daripada kalimat-kalimat panjang yang tak perlu.

Lalu ia berkata pelan, “Dan kamu tetap jadi kamu. Yang kalau lapar bisa salah masuk ruang rapat, berdiri di kursi paling depan, padahal itu pertemuan dewan direksi.”

Liana tertawa lepas. Sampai ia menepuk pahanya sendiri karena geli.

“Itu sekali, Jo! Dan itu juga karena kamu lupa ngingetin. Aku cuma salah jalan dan ngikut orang orang berdasi itu!”

Johan meneguk kopinya, tenang seperti biasa. Lalu bergumam tanpa intonasi, “Jadi kita udah pacaran sekarang?”

Liana mencubit lengan jaketnya, masih dengan sisa tawa di matanya. “Kamu tuh ya… nanyanya kayak mau nawar harga beras.”

“Ya... kayak Kalmi dan Desi, mungkin?” Johan menambahkan.

Liana mencibir sambil tertawa lagi. “Kalmi dan Desi yang bucin akut itu? Yang kamu ejek tiap mereka posting foto?”

Johan mengangguk. “Kayaknya iya. Tapi semoga kita nggak se-bucin itu.”

Liana tersenyum. “Semoga?” ulangnya.

Ia menatap Johan, lama. Lalu tertawa kecil, pelan dan jujur.

“Kamu tuh, Jo… romantisnya kayak batu nisan. Diam. Tapi tetap bikin orang nangis.”

Johan hendak menjawab, tapi langkah tergesa memotong pagi yang semula hening. Seorang pria dengan jas panjang melangkah cepat, menyibak udara dingin yang menggantung. Wajahnya tegang, langkahnya berat tapi teratur. Seperti seseorang yang sedang mengejar waktu.

“Johan!” serunya dari kejauhan.

Johan menoleh, sedikit menyipit. “Pierre?”

Pierre sampai di meja mereka, napasnya sedikit tersengal. Udara dingin tak cukup membantu menenangkan dadanya.

“Maaf. Rapat dimajukan. Investor dari Qatar mendarat lebih awal. Anda ditunggu di Hôtel de Ville sekarang juga.”

“Sekarang?” Johan mendecak pelan, tak suka saat pagi yang tenang harus terganggu.

Pierre mengangguk, mengulurkan sebuah ponsel. “Mr. Laurent sudah tiga kali menanyakan Anda. Dan ponsel Anda tertinggal di ruang kerja.”

Ia menoleh ke arah Liana. Tak berkata sepatah pun. Tapi sorot matanya mengirimkan sesuatu yang hanya bisa dibaca oleh orang yang benar-benar mengenalnya.

Liana tersenyum lembut. “Pergi, Jo. Dunia kamu masih butuh kamu. Aku akan tetap di sini.”

Johan berdiri. Ragu sebentar. Tangannya menyelip ke dalam saku jaket, lalu mengeluarkan secarik kertas kecil—bungkus kalung sederhana yang semalam ia terima dari Liana, saat langit di atas Menara Eiffel jadi saksi keheningan mereka.

“Aku bawa ini, ya. Buat pengingat... Kalau nanti suasana jadi terlalu ribut, kalau dunia mulai berisik lagi, aku masih punya alasan buat diam.”

Liana mengangguk pelan. “Jangan lupa makan siang.”

“Kalau Pierre ingetin, pasti ingat,” jawab Johan setengah bergurau.

Pierre menoleh, ekspresinya datar seperti biasa. “Saya ini bukan alarm pengingat makan siang.”

Tawa kecil mengalir di antara mereka. Jujur, singkat, tapi hangat. Seperti lilin yang hanya menyala sebentar—cukup untuk menerangi satu ruangan kecil, sebelum akhirnya padam perlahan.

Johan melangkah pergi. Tidak terburu-buru. Tidak pula menoleh. Tapi langkahnya pelan. Seolah ingin menyimpan pagi itu dalam-dalam, merekam tiap suara, tiap aroma, tiap getar embun yang menyentuh ujung sepatu.

Liana tetap diam di tempatnya. Menatap punggung yang menjauh itu. Hingga lenyap di tikungan.

Ia memandangi meja kecil itu. Dua cangkir kopi yang mulai dingin. Croissant yang tak disentuh. Embun yang perlahan mengering.

Lalu ia menghela napas panjang. Bukan karena berat, tapi karena damai.

Sebab di antara udara pagi yang menggigit itu, ia tahu—sesuatu telah tumbuh. Bukan janji. Bukan kalimat manis. Tapi sesuatu yang lebih jujur dari keduanya: akar.

Akar kecil. Tak tampak. Tapi jika diberi waktu, jika dibiarkan hidup—ia akan menembus apa pun. Bahkan batu yang keras sekalipun. Bahkan hati yang lama tertutup rapat.

Dan hari itu, akar itu resmi mulai tumbuh.

Pelan. Tapi pasti. Mengakar.

1
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!