Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran yang sebenarnya
Lanjutt genggs... Masih semangat menemani kalian semua.
.
.
"Nath..." Suara seorang wanita yang dari penampilannya terlihat mungkin sedikit lebih tua dari Briella, tapi look-nya cukup menawan, sexy, dan sangat menggoda, memanggil Nathan. Britania terkesiap, namun segera bersikap normal lagi, lalu melepas cekalan tangan Nathan untuk segera berlalu dari sana.
"Brii..." Nathan memanggilnya, namun Bri tidak ingin peduli lagi. Ia yang meminta mereka menyudahi hubungan ini jadi seharusnya ia tidak perlu merasa cemburu kalau ada wanita yang dekat dengannya.
'Hufh... Calm, Brii!' Briella berusaha keras meyakinkan dirinya.
Malam itu, Chacha berhasil membuat pikiran Britania tentang Nathan dan wanita tadi menghilang. Mereka kalap belanja dan full treatment tubuh dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sebagai penutup malam itu, mereka makan ice cream sepuasnya.
Namun, di tengah tawa dan obrolan ringan mereka Britania mendadak terperanjat. "Chaaaaaaaa....." pekik Britania sambil bangkit dari tempat duduk. Chacha yang kaget buru-buru menariknya kembali.
"Ada apaaan, Briiii? Kesetanan gara-gara Nathan Lo!" Chacha menatapnya curiga.
"Hehh! Ngawurrr. Aku nggak sadar, Cha, sedari tadi ternyata aku tuh belanja pakai kartunya Nathan. Waktu itu Dia sempat nemenin kan belanja untuk anak-anak? Kartunya suruh dipegang aja nahh tadi aku belanja segini hebohnya, treatment pula ternyata semua pakai uangnya Dia, chaaaa... Huwwaaa... gimana donggg??? Dia pasti udah tahu nih," Britania merengek, panik. Usahanya untuk menghindar dari Nathan berakhir sia-sia, gara-gara kecerobohannya sendiri.
"Hahahaha, kebetulan yang menguntungkan, Brii... Jadi Lo nggak keluar modal kann jadinya?" Chacha tertawa terbahak-bahak.
"Tapi kita udah selesai, Cha, hubungannya, nanti dikira aku mau uangnya aja. Besok aku balikin aja deh habis berapa... Hufh!" Britania menghela napas, merutuki kebodohannya sendiri.
Sementara Nathan di rumahnya tengah tersenyum riang mendapati notifikasi dari bank yang menginformasikan pemakaian kartunya. "Pahhh... Papah mau ke mana? Udah malam..." Ren, putra kecilnya, sempat mencegat Nathan saat ia sudah berpakaian rapi hendak menuju mobil.
"Ehh, jagoan papah, ini mau ke rumah teman Papah dulu yaa... Ren tidur sama Mbak dulu nggak apa-apa kan?"
Anak patuh itu mengangguk membiarkan papahnya pergi. Tujuannya sudah jelas sangat mudah ditebak. Sepanjang perjalanannya ia terus menggumamkan lagu dengan sumringah seperti anak ABG yang tengah kasmaran.
Sementara itu, Britania baru saja menutup pintu kamar mandi saat bel pintu berbunyi, ia menghela napas. Siapa lagi yang datang kerumahnya malam-malam? Dan benar saja, ketika membuka pintu Nathan tengah berdiri di sana dengan senyum manisnya.
Tidak kaget sih, hanya saja semesta memang sedang tidak berpihak pada perepmuan cantik itu saat ini. Mati-matian Britania mencoba menghindarinya, tapi justru dipertemukan dengan cara memalukan seperti ini. Rencananya hancur berantakan.
"Night, Bri," sapa Nathan.
"Ada apaa? Kalau mau tanya soal tagihan belanja nanti Aku ganti dehh." ucap Britania cepat tanpa menyuruhnya masuk.
"Britaniaaa sayanggg... Belanjaan Kamu nggak seberapaaa... Kamu pikir aku peduli soal uangnya? Mau Kamu kuras habis pun aku nggak akan minta ganti rugi," Nathan terkekeh.
"Aku bukan cewek matre yaa..." tukas Bri, sedikit tersinggung.
"Aku tahu, Briii... Kalau gitu gantinya jangan pakai uang yaa, gantii..."
"Aku nggak sengaja, Mas, Aku cuma asal kasih kartu aja tadi. Maaf... Aku balikin deh, berapa totalnya?" sela Brii cepat, matanya berusaha menatap, tapi langsung balik lagi menunduk ke lantai.
Napas Britania tercekat, seketika ia bisa merasakan bibir Nathan sudah berlabuh di bibirnya. Tidak ada pergerakan, hanya sebuah kecupan untuk membuatnya berhenti mengomel. Lalu ia mendorong tubuh Britania perlahan, lebih masuk ke dalam apartemen dan kembali menautkan bibirnya, bergerak lembut untuk menghisap bibir Britania. Ia sudah tak sanggup menolaknya, detak jantungnya pun makin berdetak tidak karuan sama seperti saat Nathan pertama kali melakukannya. Keras kepalanya tidak mampu menolak gejolak rindu, yang nyatanya tetap tersemat dalam hati terdalamnya.
Ciuman penuh gairah dan emosi yang terpendam beberapa hari ini akhirnya tumpah, Britania pun tak berdaya mengelaknya. Ia terlalu keras pada dirinya sendiri, memaksakan untuk tidak lagi merindukan pria itu. Padda akhirnya takdir kembali mempermainkannya. Perlakuan tulus Nathan mendobrak habis pertahanan Brii, perempuan itu menikmati lumatan-lumatan halus yang Nathan berikan, bahkan ia juga membalasnya tak kalah panas,
Dalam hati Nathan tersenyum bangga, "I got it,..."
"Jangan bikin aku gila Bri," bisiknya dengan suara berat di sela-sela ciuman. "Aku bahkan nggak peduli seluruh dunia menentang kita, asal kamu sama aku." Britania tidak menjawab, baginya itu bukan gombalan receh, namun sulit juga rasanya ingin percaya. Ia bahkan tidak rela, Nathan hidupnya jadi berantakan karenanya nanti.
Bohong kalau Britania tidak tersentuh dengan kegigihan Nathan. Namun hal itu hanya membuat hatinya berdenyut sakit. Ia tahu Nathan sangat tulus, tapi apa gunanya ketulusan di tengah tembok yang begitu tinggi ini? Britania tak bisa membiarkan Nathan menghancurkan hidupnya demi hubungan mereka, atau lebih buruk lagi, menghancurkan masa depan anak-anak singgah yang bergantung padanya. Masalahnya kini bukan hanya antara Nathan dan dirinya, tapi sudah membawa keluarga. Dan bu WIidia tipe orang yang akan melakukan apapun untuk haly yang ia yakini benar. Bri sudah berpikir panjang semua resikonya.
"Brii... Aku tahu kamu juga masih punya perasaan yang dalam kan ke aku?" Mungkin pertanyaan itulah yang mendorong Nathan untuk ke rumah Bri malam ini. Mereka kini sudah duduk bersebelahan di balkon hampir 10 menit saling diam sampai akhirnya pertanyaan itu yang keluar dari mulut Nathan.
"Liat mata aku Brii, bilang kalau kamu udah nggak sayang sama aku?"
Britania menelan ludah, mencoba menahan getaran di suaranya. Tatapan Nathan terlalu menusuk, seolah mencari celah di hatinya yang sudah berusaha ia tutup rapat. Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya suara gorden bergesekan dihembus angin.
"Mas,… jangan gini, aku udah bilang kita—"
"Aku nggak peduli apa yang kamu bilang kemarin," potong Nathan, suaranya berat. "Aku tahu tatapan kamu ini nggak bohong. Kamu masih sayang sama aku."
Briella mengalihkan pandang, menatap jauh ke langit gelap. Dadanya sesak. Kalau saja perasaan bisa dipadamkan semudah mematikan lampu, mungkin semua akan lebih mudah. Tapi yang ada, justru ia berperang sendiri di dalam hati.
"Memangnya kenapa kalau memang masih sayang sama Kamu? Sesayang apapun aku sama kamu, Kita akan tetap seperti ini tanpa arah. Walaupun aku pun tidak terlalu berharap kita segera menikah tapi aku juga tidak mau menjalani hubungan yang jelas-jelas ditentang oleh orang tua kamu. Ini nggak bagus juga buat kerjaan aku, Mas, Kamu nggak tahu sekeras apa aku membangun karier ini. Aku nggak rela kalau harus kehilangan pekerjaanku," jelas Britania, suaranya dipenuhi kekhawatiran yang realistis.
"Jadi kamu cuma takut kehilangan pekerjaan kamu tapi kamu nggak takut kehilangan aku, Brii...?" Suara Nathan mulai meninggi, tersirat rasa kecewa yang mendalam.
"Hufh... Aku punya 6 anak di rumah singgah yang harus aku biayai hidupnya, Mas. Kalau tiba-tiba Bu Widia membuatku kehilangan pekerjaan karena mengejar kamu, terus nasib mereka gimana? Itu opsi yang pertama. Kalau yang kedua, aku akan berjuang atas nama cinta tapi jelas-jelas tidak akan pernah mendapat restu orang tua kamu sampai kapan pun dan Aku juga akan kehilangan pekerjaan. Itu sangat merugikan banget, Mas... Bukan hanya Aku yang akan dalam kesulitan tapi juga anak-anak. Kamu tahu kan alasan Bu Widia tidak menerima aku? Dan kamu juga tahu mau sekeras apapun aku berjuang, label jelek terkutuk itu tidak akan bisa bersih dari nama Aku. Dan yang terakhir aku tidak mau merusak hubungan kamu sama Bunda," Bri menguraikan semua alasannya, dengan nada yang semakin memberat hingga menitikkan air mata. Britania menutup matanya sejenak, penjelasannya barusan pasti akansulit diterima Nathan, tapi ia tahu, membiarkan Nathan terus bertahan di sisinya hanya akan membuat mereka sama-sama terjebak di lingkaran yang tak berujung.
Nathan bisa mengerti alasan itu, tapi masalah keluargnya adalah masalah ia sendiri. BUkan tanggunjawab Brii untuk ikut memikirkannya. Dan masalah anak singgah, Nathan siap menanggung segala biaya kebutuhan mereka juga.Berpisah bukan solusinya, demi tuhan rencana Brii tidak masuk akal untuknya. Seperti tengah berusaha membuka pintu namun dengan kunci yang salah.
Seakan belum ingin mengakhiri pembicaraan mereka, Nathan sedikit merubah posisinya jadi menghadap Briella. Kedua tangannya memegang lengan Briella seolah ingin mengatakan sesuatu hal yang sangat serius. "Aku janji akan buat bunda merestui hubungan kita, Briii... Kalaupun tidak, Kita bisa menikah lalu pindah ke Jepang tempatku tinggal dulu, aku punya perusahaan yang besar juga di sana, bukan di bawahanungan Maheswara, bawa anak-anak singgah itu juga biar kamu nggak khawatir, okay?"
"Masss, jangan seperti ini please... Sejauh ini cara terbaik Kita adalah berpisah, Mas, memang tidak ada jalan cerita cinta untuk Kita," keukeuh Bri terisak pilu.
Pria itu mendengus kasar, emosinya tidak seperti kesehariannya selama ini. Dia yang biasanya tenang dalam berbagai situasi kini sangat frustrasi. Ia merindukan pelukan hangat kekasihnya, tapi wanita ituterus saja memberinya jarak.
"Aku akan lakukan apapun untuk memperjuangkan kamu, Brii, sekalipun kamu ingin berhenti Aku tidak akan pernah melakukan hal yang sama." Brii melirik kesal, kenapa Nathan berubah keras kepala sekarang? Oh, apa karena terlalu sering dekat dengannya jadi ketulaaran keras kepala.
"Jangan bikin aku berharap banyak, Mas... Udah waktunya kita mengakhiri hubungan ini."
CUP!
Nathan membungkam mulut Brii, dengan bibirnya lagi. Bukan kecupan, tapi lebih ke ciuman sarat emosi yang dirasa mulai banyak menuntut. Tidak banyak yang bisa Brii lakukan, bibirnya boleh berujar penolakan sejak tadi namun tubuhnya bereaksi sebaliknya. Menyambut setiap sentuhan Nathan dengan baik, ketika bibir lelaki itu beralih mengecupi rahang sampai ke lehernya pun Bri tidak menghindar.
"Sampai kapan kamu mau nolak aku Brii?" gumam Nathan usai menciptakan jejak merah di leher belakang Brii. Tubuhnya tertahan menyentuh tembok balkon, napasnya terengah menahan lenguhan yang hampir saja lolos dari bibirnya. Brii geram sekali kenapa Nathan begitu paham titik lemahnya, "Mas stop!"pinta Bri lirih. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma hujan yang masih menggantung di udara. Ia tak berani menatap, takut matanya ikut berkhianat dengan apa yang sedang ia sembunyikan.
"I can't stop! Bri, lets do something." tanpa aba-aba, Nathan kembali menautkan bibirnya. Hanya dengan seperti itu
Nathan bisa merasakan kejujuran dari Britania. Ia mengangkat tubuh Bri dengan sekali hentakan, karena udara di balkon semakin dingin. Bibir mereka saling bertaut hingga Nathan merebahkan tubuh Bri di atas ranjangnya.
Apa Bri akhirnya luluh? Dan apa yang selanjutnya terjadi di antara mereka?
Next yaa...