Demi melunasi hutang orang tuanya, Venzara harus menerima pernikahan paksa dengan anak majikan bibinya. Mau tidak mau, Venza akhirnya menerimanya dan siap menerima syarat yang ditentukan.
Tidak hanya terikat dalam pernikahan paksa, Venza juga harus menerima perlakuan buruk dari suaminya. Namun, sosok Venza bukanlah perempuan yang lemah, bahkan dia juga perempuan yang berprestasi. Sayangnya, perekonomian keluarganya tengah diambang kehancuran.
Jalan satu-satunya hanya bisa menikahkan Venza dengan lelaki kaya dengan kondisinya yang lumpuh.
Akankah Venza mampu bertahan dengan pernikahannya? yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari solusi
Dengan serius, Razen membaca pesan masuk di ponsel istrinya. Satu kalimat saja tidak ada yang tertinggal, benar-benar teliti ketika memahami isi pesan tersebut.
Merasa sudah puas membacanya, kemudian Razen kembali mendongak dan menetap istrinya dengan mimik wajah yang sulit untuk diartikan oleh istrinya.
"Nih ponselmu," ucap Razen sambil menyerahkan ponsel milik istrinya.
"Terima kasih. Maaf, jika isi pesan dari Ardo tidak mengenakan untuk dibaca. Aku akan menghapusnya." Jawab Venza.
"Untuk apa? bukankah itu pesan yang sangat spesial? untuk apa kamu hapus?"
"Tidak apa-apa, dia bukan pacarku, atau hubungan serius. Baiklah, aku tidak akan lagi menggunakan ponselku, dan aku akan fokus merawat mu. Aku tahu, jika aku mempunyai hutang yang besar pada kedua orang tuamu. Jadi, sebagai balas gantinya aku akan memprioritaskan kamu." Jawab Venza dengan gugup.
Razen hanya menyeringai saat mendengar ucapan dari istrinya.
"Sudahlah, lebih baik sekarang kamu bantu aku untuk belajar jalan. Lagi pula aku sudah tidak lagi ingin istirahat, mendingan kamu bantu aku untuk menggunakan tongkat penyangga." Ucap Razen sambil mengganti posisinya.
Venza yang kebetulan melihat suaminya susan payah untuk duduk, segera membantunya.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan alat penyangganya. Kamu jangan ceroboh, nanti jatuh." Kata Venza dan langsung mengambil alat penyangga yang akan digunakan oleh suaminya.
"Kamu yakin kalau aku bisa menggunakan alat ini?"
"Tentu saja, kenapa gak? kaki kiri kamu kan, masih bisa nahan, kenapa masih ketergantungan dengan kursi roda?"
"Baiklah, terserah kamu." Ucap Razen pasrah.
"Bentar, aku mau membenarkan kursi rodanya dulu. Kita belajarnya bukan di dalam kamar, tapi di taman belakang rumah." Kata Venza yang tengah sibuk membenarkan posisi kursi rodanya.
Setelah itu, Venza membantu suaminya untuk duduk di kursi roda.
Saat itu juga, tiba-tiba Razen memegangi tangan istrinya yang hendak mendorong kursi roda.
Sontak saja Venza kaget dibuatnya.
"Aku berharap kamu merawat ku bukan semata-mata hanya ingin mengganti nominal yang diberikan oleh kedua orang tuaku, yang ada kamu akan merasa terbebani." Ucap Razen.
Venza yang tengah berdiri di belakang suaminya, pun tersenyum tanpa sepengetahuan suaminya.
"Terima kasih." Jawab Venza dan langsung mendorong kursi rodanya untuk keluar dari kamar dan menuju taman belakang.
Sampainya sudah berada di taman, Venza membantu suaminya berdiri dan meminta suaminya untuk berpegangan pada pundaknya. Kemudian, Venza membantu menggunakan alat penyangganya.
"Coba kamu tahan walau dengan alat penyangga, dan rasakan apa yang sedang kamu rasakan. Katakan jika kamu merasa sakit pada bagian kaki kanan mu." Ucap Venza saat memperhatikan suaminya yang dibantu dengan dua alat penyangga.
Razen menggelengkan kepalanya.
"Gak sakit, biasa aja. Cuma, apa aku harus seperti ini terus?" jawabnya yang tiba-tiba bertanya dengan kondisinya dengan raut wajahnya yang tidak bersemangat.
"Kalau tidak dibiasakan dan tidak melakukan terapi, bagaimana bisa sembuh? nanti aku mau minta bantuan sama adik mu, si Gilang untuk mencarikan orang yang bisa melakukan terapi pada kaki kamu. Kalau tidak keberatan, tapi ..."
"Tapi kenapa?"
"Jauh, maksudnya di tempat kampung ku ada yang menangani terapi dan juga obat herbal. Itupun tidak satu hari dua hari, mungkin bisa satu bulan, dua bulan. Lama sih, tapi ya emang harus sabar. Kalau kamu keberatan, aku tidak memaksa." Jawab Venza.
"Terus, bagaimana dengan kuliahmu kalau kamu sibuk mengurus aku?"
"Tenang saja, aku bisa lanjutin setelah kamu selesai terapi. Lagi pula belajar itu tidak ditentukan oleh umur, tapi niatnya. Ya walaupun aku sudah niat, tapi kalau ada yang lebih penting, mau gimana lagi? tentu saja aku akan memprioritaskan yang lebih penting dulu, yakni mencoba untuk membuatmu sembuh dan bisa berjalan. Setelah itu, aku akan fokus dengan kuliahku."
"Kalau aku tidak juga sembuh, apa kamu gak rugi yang sudah menyia-nyiakan waktumu?"
"Aku tidak merasa rugi, apalagi untuk kesembuhan mu, aku tidak akan pernah merugi. Justru itu, ketika ada kesempatan baik untuk mu terus aku abaikan, ruginya akan dobel. Apa artinya aku kuliah, sedangkan aku tidak membuat orang lain berguna." Jawab Venza sambil menatap serius pada istrinya.
Razen tersenyum mendengarnya, meski senyumnya tipis.