Resta adalah seorang pemimpin sekaligus pemilik salah satu perusahaan percetakan terbesar di kota Jakarta. Memiliki seorang kekasih yang sangat posesif, membuat Resta harus mengganti sekretarisnya sesuai kriteria yang diinginkan sang kekasih. Tidak terlihat menarik, dan tidak berpenampilan menggoda, serta berpakaian serba longgar, itu adalah kriteria sekretaris yang diinginkan kekasihnya dalam mendampingi pekerjaan Resta.
Seorang gadis berpenampilan culun bernama Widi Naraya hadir, Resta menganggapnya cocok dan sesuai dengan kriteria yang diinginkan kekasihnya. Hari-hari yang mereka lalui berjalan dengan aman dan profesional, sebagai bos dan sekretaris. Sampai ada satu hal yang baru Resta ketahui tentang Aya, dan hal itu berhasil membuat Resta merasa terjebak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semuanya butuh proses
“Makan, minum, Ay.” Resta meletakkan nampan tepat di atas meja di hadapan Aya. Dua gelas minuman segar, juga dua piring camilan kentang goreng dan buah potong tersaji di sana.
“Santai aja, jangan kaku. Mama saya nggak galak kok,” ucapnya lagi. Padahal Aya tidak membahas apapun soal mamanya.
“Terima kasih, Pak.” Aya bersungguh-sungguh niatnya hari ini ingin bekerja. Tapi, mengapa Resta terlihat sedang bermain-main. “Iya, saya tau. Mamanya Pak Resta ramah banget.”
“Ya begitulah.” Lelaki itu duduk di samping Aya. Tapi, tidak sama sekali tertarik untuk menatap layar laptop yang sudah disajikan gadis itu. Resta malah sibuk dengan ponselnya.
Aya ingin menegur. Tapi dia khawatir bosnya itu malah tidak nyaman, dan Aya juga sadar akan posisinya.
tungguin aja sampe dia beneran serius.
Aya akhirnya membatin. Dan mereka saling diam sampai lima menit lamanya.
“Tadi kamu nggak nyasar kan?” Resta meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beralih menatap wajah sekretarisnya.
“Enggak Pak, alamatnya cukup jelas disertai foto rumah. Kalau saya masih nyasar, mungkin IQ saya perlu dipertanyakan.”
Resta tertawa mendengar jawaban Aya, dia tahu wanita itu sedang kesal karena Resta terkesan mengulur-ngulur waktu. ”Hm iya juga.”
“Pak, ini… tolong dilihat. Kalau ada yang kurang jelas silakan ditanyakan Pak.” Aya berucap sangat sopan, tapi setiap kata-katanya penuh penekanan menandakan bahwa dia sedang serius.
“Oh ya sampai lupa,” gumam Resta, dia mengambil alih laptop di atas meja dan meletakkan dia atas pangkuannya. Tangan kanannya meraih kentang goreng yang masih tersaji di piring.
Sementara Aya, selaku tamu belum menyentuh itu sama sekali meski perutnya kini sangat lapar karena belum makan sejak malam.
“Jangan cuma lihatin saya, Ay. Makan juga, atau mau disuapin?” mata Resta memang tertuju dan memandang pada layar laptop. Namun, dia tahu kalau wanita di sampingnya diam-diam curi pandang ke arahnya.
Sial banget ketauan.
“Iya Pak.” Aya meneguk jus jeruk, juga mengambil satu persatu potongan kentang.
“Ini… pengeluaran biaya administrasi kantor, sebanyak ini?” Resta bergumam sambil mengerutkan keningnya.
“Yang saya buat itu sesuai dengan rincian yang diberikan Bu Nita,” sahut Aya. “Tapi ada yang aneh Pak. Untuk biaya air, dan internet, saya lihat billnya beda-beda.” Aya berasumsi. “Tapi mungkin, cuma asumsi saya aja.”
“Nita bukannya ngasih kamu rincian yang udah direkap via email ya?”
“Awalnya iya tapi saya merasa harus kerja maksimal, jadinya saya minta semua rincian dalam bentuk fisik, dan saya samakan dengan apa yang dia kasih melalui email. Memang sama, tapi ya begitulah.”
“Sedikit-sedikit menjadi bukit. Saya merasa harus memangkas pengeluaran yang nggak penting, bulan depan.” tegas Resta.
Aya mengangguk. “Apa ada yang perlu direvisi, Pak?”
“Sementara belum.”
“Jadi, udah selesai?” mata Aya berbinar-binar, jika sudah selesai dia bisa bebas bukan? Ya memang tidak pulang ke rumah, dia tetap akan ke kantor. Khawatir jika ada sesuatu yang harus Resta tangani.
“Udah.”
“Oke Pak, kalau begitu-“
“Memang selesai, tapi saya nggak bilang kamu boleh pergi, kan?” Resta menguncinya dengan tatapan yang menandakan bahwa dia tidak boleh ke mana-mana.
Aya mengangguk, Resta benar. Dia belum dipersilakan pergi. Tapi Aya ingin bebas.
“Kamu mau ke mana? kelihatan buru-buru, saya nggak ke kantor bukan berarti kamu bebas dan libur kan?” sindir Resta.
Aya tersenyum sarkas. “Saya tau, Pak. Saya mau ke kantor kalau di sini udah selesai. Siapa tau ada hal penting di kantor yang butuh persetujuan Bapak.”
“Oh iya benar juga. Nanti kita ke kantor, setelah makan siang.” tegas Resta. “Saya siap-siap dulu.”
“Makan siang di mana Pak? memangnya, Bapak udah sehat?” sindir Aya.
“Ya di sini, mama saya lagi nyiapin makanan. Kamu dianggap tamu spesial. Saya udah lebih segar sekarang, makasih ya?”
Aya mengulas senyum. “Spesial, kenapa? dan makasih untuk apa, Pak?”
Resta mengangkat bahunya menandakan dia juga tidak tahu mengapa sang mama begitu senang melihat sosok Aya, sampai sudah memikirkan soal cucu padahal mereka tidak memiliki hubungan apapun saat ini. “Makasih untuk ya… karena kamu bersedia ke sini untuk bawa laporan,” jawab Resta gugup.
“Sama-sama, Pak.”
“Eum, saya mandi dulu, kamu tunggu di sini nggak apa-apa kan?”
Aya mengangguk. “Iya Pak saya di sini aja.”
“Atau mau turun ke bawah, ngobrol-ngobrol sama mama saya?” tawar Resta.
Aya hanya menampilkan cengirnya saja. “Saya segan Pak,” ucapnya jujur.
“Oke baiklah kamu di sini aja, semuanya butuh proses, benar kan?” Kalimat terakhir dari Resta sebelum dia keluar dari ruang kerjanya, dan membuat Aya semakin kebingungan.
***
Aya mengesmapingkan rasa malu ataupun sungkannya kali ini, ketika dipersilakan makan siang, di rumah bosnya. Apalagi, mamanya Resta cukup ramah, membuatnya merindukan sosok ibu yang begitu perhatian.
“Kamu nggak lagi diet kan, Aya?” tanya Bu Miftah.
Aya menggeleng. “Nggak kok Tante.”
Selama ini, aku bukan diet, tapi hemat.
“Silakan dimakan, jangan malu-malu, anggap aja rumah sendiri, ya?” tutur Bu Miftah.
Aya mengangguk, hendak mengangkat piring yang ada di hadapannya, tapi dia terlambat beberapa detik karena Resta sudah meraihnya duluan dan mengisi nasi piringnya.
“Saya bisa sendiri loh Pak,” protes Aya, berucap pelan.
“Kalau kamu yang ambil sendiri, saya yakin kamu pasti ngambilnya sedikit, karena gengsi.” tuduh Resta. Ya meski tuduhan itu benar adanya.
“Resta memang orangnya perhatian, Ya. Dia memang begitu,” puji Bu Miftah pada anaknya.
Aya hanya tersenyum menanggapi, karena dia bingung, dia hanya sekretaris. Mereka juga saling mengenal belum terlalu lama. Namun terkadang, ada hal-hal berlebihan yang Resta lakukan padanya, contohnya seperti sekarang ini.
“Lauknya?” tanya Resta.
“Saya ambil sendiri Pak,” sahut Aya tersenyum sopan.
“Jangan malu-malu, silakan.” tak henti-hentinya Bu Miftah memperhatikan Aya, begitu senang melihat wajahnya yang cantik dan meneduhkan, sampai si pemilik wajah jadi salah tingkah.
Like like like ❤️
sehat selalu yaa thor, selalu ciptain karya² yg luar biasa ❤️