Ditahun ketiga pernikahan, Laras baru tahu ternyata pria yang hidup bersamanya selama ini tidak pernah mencintainya. Semua kelembutan Hasbi untuk menutupi semua kebohongan pria itu. Laras yang teramat mencintai Hasbi sangat terpukul dengan apa yang diketahuinya..
Lantas apa yang memicu Laras balas dendam? Luka seperti apa yang Hasbi torehkan hingga membuat wanita sebaik Laras membalik perasaan cintanya menjadi benci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepaskan dan Melupakan.
Hasbi pergi. Dia tampak tidak peduli dengan perasaan Hera. Hasbi juga tidak berhenti sejenak untuk menyadari se menyakitkan apa permintaannya itu untuk Hera.
Dulu Hera begitu pongah, sombong. Mengira Hasbi tidak akan bisa meninggalkannya.
Dia sangat yakin akan hal itu.
Pintu tertutup dengan keras di belakangnya.
Dan dengan begitu, Hera ditinggal sendirian.
Dia duduk diam di atas tempat tidur, menatap pintu seolah-olah pintu itu akan terbuka lagi.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar.
Sebuah pesan muncul di layar. Hera mengambil ponselnya, itu adalah pesan dari nomor ayahnya. "Kenapa tiba-tiba ada tagihan masuk ke nomor ku, bukankah cicilannya suamimu yang bayarkan?"
Pesan itu disertai dengan sebuah foto. Nilai tagihan yang harus dibayar beberapa hari lagi, kabar yang menambah kadar sakit hati Hera.
Sementara di tempat lain, Laras berhasil keluar dari kediaman Mario berkat bantuan Putri.
"Siapa pria tampan tadi, sepertinya nggak rela banget kamu pergi?"
Saat lampu merah menyala, Putri tersenyum dan menggoda Laras. Pria yang dimaksud Putri adalah Ranveer, karena saat dia tiba menjemput Laras, Pria itu tengah berdebat dengan sahabatnya itu.
"Dia keponakan wanita itu," Laras menjawab acuh.
"Tinggal dirumah om Mario?"
"Sepertinya tidak, dia hanya sedang main."
Putri membulatkan bibirnya, kemudian berkomentar, "Produk Turki nggak ada gagalnya ya! Hidungnya udah kayak perosotan di taman kanak-kanak."
Laras tidak berniat membahas lebih banyak tentang Ranveer, dia sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Makasih udah jemput, maaf banget ganggu kamu malam-malam gini,"
"Apaan sih Ras! Aku mengkhawatirkanmu. Bagaimana kalau kekacauan ini mengganggu kesehatanmu? Soal uang kamu kalau butuh jangan sungkan, aku ada, walau nggak seberapa."
Laras tersenyum dan menoel lengan Putri. "Jangan lupa, ayahku kaya raya."
Putri mengernyitkan sebelah alisnya. "Ayah yang sama yang kamu bersumpah tidak akan pernah bicara lagi dengannya?"
Laras mengangkat bahu. "kamu tidak pernah tahu kapan sebuah koneksi akan berguna. Sejujurnya terkadang aku berharap semua orang yang berkuasa di luar sana adalah ayahku."
Mereka berdua tertawa, kekesalan perlahan mereda dari wajah Laras. Saat lampu lalu lintas berubah hijau, mobil kembali melaju.
"Kamu benar-benar membuang semua barangmu yang ada di rumah om Mario.
Laras mengangguk, berkemas memang melelahkan, tetapi begitu keputusan dibuat, semua selesai dengan cepat.
Hal yang sama juga berlaku dengan perasaannya.
Terkadang, untuk melangkah maju, seseorang harus berani meninggalkan masa lalu.
Angin berhembus lembut di rambut Laras saat mobil melaju menuju tempat tinggalnya yang baru.
Masih Ada banyak hal yang harus Laras lakukan. Yakin waktu akan mengobati luka hatinya.
"Ada yang ngikuti mobil kita."
Belum setengah perjalanan, Putri merasa ada yang membuntuti mobil mereka.
Laras ikut menoleh ke arah spion, memastikan ucapan Putri.
"Sial!" baru akan menginjak lebih dalam gas, kini mobil mereka benar-benar dihadang. "Sepertinya orang-orang om Mario," Putri mengamati beberapa orang yang turun dari mobil.
"Ayah benar-benar tak ingin aku keluar dari rumah." Laras berkomentar.
"Kamu putri satu-satunya, ya wajar lah. Temui gin, ngomong baik-baik." saran Putri.
Laras baru akan menekan sabuk pengamanannya saat seseorang lainnya turun dari mobil, itu bukan ayahnya, tapi... Ranveer.
Ngapain laki-laki itu?
"Eh, bukan om Mario!" celetuk Putri ikut mengamati orang terakhir yang keluar dari mobil.
"Keluar!" jendela di ketuk tak sabaran, Ranveer sudah berdiri di sisi mobil.
"Kamu ngapain?" protes Laras saat menurunkan kaca jendela.
"Keluar! Kita butuh bicara!"
"Ha?"