NovelToon NovelToon
Maverick Obsession

Maverick Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Selingkuh / Cinta Terlarang / Obsesi / Kehidupan di Kantor
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Oveleaa_

Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.

Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.

Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Suara deru mesin mobil dan hembusan angin laut yang samar menembus kaca jendela, membuat Maura akhirnya tertidur. Kepalanya bersandar di kaca, rambutnya sedikit berantakan menutupi pipi. Di pangkuannya, ponsel bergetar berkali-kali, tetapi pemiliknya tidak bergeming.

Marvel melirik sekilas. Nama di layar ponsel terpampang jelas.

Dave.

Sorot mata pria itu mengeras, rahangnya mengatup rapat. Tangannya nyaris terulur untuk meraih ponsel itu dan menghancurkannya. Namun, ia hanya duduk diam, jari-jarinya mengetuk setir pelan, seolah sedang menghitung. Tatapan matanya bergeser pada wajah Maura yang terlelap tanpa beban, membuat kekesalannya semakin menjadi-jadi.

"Berani-beraninya dia masih menghubungi perempuan ini…." pikirnya, geram.

Akan tetapi, ia tidak berkata apa pun, hanya menekan pedal gas lebih dalam, membiarkan dering itu akhirnya berhenti dengan sendirinya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah bercat putih dengan halaman luas yang menghadap langsung ke pantai, Maura terbangun. Ia mengucek mata, sedikit linglung. “Sudah sampai?” tanyanya, suaranya masih serak.

Marvel menoleh sekilas, tatapannya dingin. “Kamu pikir ini hotel? Bangun seenaknya, tidur pulas tanpa beban.” Nada bicaranya ketus.

Maura menunduk, bibirnya terkatup rapat. Ia mengatur napas, mencoba mengabaikan tajamnya setiap kata yang keluar dari mulut pria itu.

Saat turun dari mobil, matanya menyapu rumah besar yang sederhana dan terawat itu. Tidak ada tanda-tanda kemewahan berlebihan, justru hangat seperti rumah keluarga biasa.

Namun, tetap saja ia gelisah. Ia masih terngiang-ngiang suara Marvel yang begitu lembut di telepon. Apa benar Neni itu Jesica? Kalau benar, untuk apa dia mengajaknya ke Bali untuk menemui wanita itu?

Pintu rumah terbuka sebelum ia sempat menebak lebih jauh. Seorang wanita tua dengan tongkat berjalan di tangannya keluar, wajahnya penuh garis usia namun sorot matanya hangat. Rambutnya sudah putih seluruhnya, disanggul sederhana.

“Neni.” Suara Marvel tiba-tiba lembut, kontras dengan sikap ketusnya tadi pada Maura. Ia menghampiri, menunduk untuk memeluk wanita itu.

Maura membeku. Neni?

Dadanya terasa sesak sekaligus lega, entah kenapa. Jadi, itu bukan Jesica.

Neni melepas pelukan Marvel, lalu menoleh ke arah Maura yang berdiri kaku di belakang. Senyum ramah sempat tersungging, tetapi seketika memudar. Tatapan mata wanita tua itu menyipit, kemudian membulat, nafasnya tercekat. “Ya Tuhan….” bisiknya lirih. “Kamu…”

Maura menelan ludah, bingung harus bereaksi apa. “S-selamat malam, Bu—”

Neni mendekat pelan, sorot matanya penuh rasa tak percaya. Bibirnya sempat terbuka, suara lirih tercekat di tenggorokan. “Kamu… mirip sekali—”

“Cukup.” Marvel langsung menyela cepat, nada suaranya datar. Ia berdiri setengah di depan Maura, tidak membiarkan Neni menatap wanita itu lebih lama. “Dia asisten pribadiku. Kita tidak perlu membicarakan hal lain.”

Neni terdiam, kalimatnya terputus begitu saja. Sesaat sorot matanya masih meneliti wajah Maura, tetapi akhirnya ia hanya menarik napas panjang dan tersenyum tipis. “Baiklah, masuklah dulu. Kalian pasti lelah.”

Ruang tamu rumah Neni sederhana, penuh dengan aroma kayu tua yang menenangkan. Maura duduk di ujung sofa, tubuhnya masih kaku. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi tatapan Marvel yang tajam dari samping membuatnya serba salah.

"Apa wanita cantik ini tunanganmu?" tanya Neni, duduk di kursi singel di hadapan mereka.

“Apa posisi yang kusebutkan tadi tidak jelas?” ekspresi Marvel tampak malas. “Pembangkang sepertinya sama sekali tidak cocok menjadi tunanganku."

Maura spontan menoleh, darahnya berdesir. Ia ingin protes, tetapi senyum tipis Marvel sudah lebih dulu mengunci mulutnya.

Neni menatap keduanya bergantian, wajahnya sedikit berubah. “Marvel…” suaranya pelan, bernada teguran.

Namun, Marvel tidak berhenti. Ia bersandar santai, menyilangkan kaki. “Memangnya kamu merasa pantas menjadi tunanganku, Maura?”

Maura menunduk, jemarinya saling meremas di atas pangkuan. “Tidak, sama sekali tidak. Lagipula aku tidak menginginkannya,” jawabnya tegas. Menjadi tawanannya saja sudah merepotkan, ia pikir dirinya sudi menjadi tunangannya? Maura tertawa di dalam hati "tentu saja tidak!"

Suasana seketika kaku. Neni menatap cucunya dengan dahi berkerut, lalu mengalihkan pandangannya pada Maura yang jelas-jelas terlihat tidak nyaman. Hening sejenak, hanya suara detik jam tua yang terdengar di ruangan itu.

Neni tersenyum kecil. “Sudahlah, Marvel, dasar anak nakal! Kamu ini selalu terlalu keras. Biarkan dia bernapas sedikit!” ucapnya sambil memukul kaki Marvel menggunakan tongkat berjalannya.

“Kamu pasti lelah setelah perjalanan panjang." Kini tatapan lembut Neni jatuh pada Maura.

"Tidak. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur." Maura membalasnya dengan senyum ramah.

Marvel hanya mendengus pelan. “Dia pintar membangkang. Kalau tidak dikerasi lama-lama akan ngelunjak!"

“Ah, dasar anak ini!” Neni kembali melayangkan tongkatnya dengan keras, membuat Marvel meringis dan mengusap-usap kakinya yang sakit. “Kamu pikir kamu lebih baik darinya. Brengsek sepertimu juga pantas dikerasi dengan dipukul seperti ini!"

pertengkaran kecil itu membuat Maura menahan bibirnya yang berkedut. Ia mencuri pandang pada Marvel, dia tampak kesakitan karena pukulan yang bertubi-tubi.

Neni lalu bangkit perlahan. “Biarkan si brengsek ini di sini. Ayo kita, makan dulu, aku sudah menyiapkan sup hangat." Pandangannya hanya tertuju pada Maura.

Ia mengangguk dan mengikuti Neni ke ruang makan. Meja makan sederhana itu sudah dipenuhi aroma sup ayam hangat, tumis sayur, dan ikan bakar.

Neni menata semuanya dengan hati-hati, lalu menyilakan Maura untuk duduk. Ia mendecih pelan melihat tamu tidak diundang ikut bergabung, dan membiarkannya.

“Maura, ayo, jangan sungkan. Anggap saja rumah sendiri,” ucapnya lembut.

Maura tersenyum tipis. “Terima kasih.…” suaranya nyaris berbisik. Ia meraih sendok perlahan, berusaha mengabaikan tatapan dingin Marvel di hadapannya.

Baru saja ia hendak menyendok sup, suara Marvel terdengar ketus. “Jangan ambil terlalu banyak. Kamu itu makannya selalu berlebihan, lalu ujung-ujungnya tida habis. Buang-buang makanan.”

Maura terhenti, wajahnya panas. Tangannya mencengkeram sendok dengan erat.

Neni melirik Marvel dengan kepala bersungut-sungut. “Jangan dengarkan bajingan itu."

Marvel mendengus pelan. “Kenapa kamu memperlakukan seperti ratu? Sebenarnya siapa cucumu!"

Hening sejenak. Maura menunduk, berusaha menelan rasa kesal dan malu yang menyiksa dadanya.

Namun, Neni tersenyum hangat, lalu meraih piring Maura dan menyendokkan sup untuknya. “Makanlah. Jangan dengarkan omongan anak nakal itu. Kamu butuh tenaga setelah perjalanan panjang.”

Maura menatap wanita tua itu, hatinya sedikit menghangat. Ia mengangguk pelan. “Iya. Terima kasih.”

Neni, lalu menatap Marvel dengan tatapan tajam seperti belati, memperingatkannya untuk diam dan berhenti membuatnya malu. Sedangkan Marvel hanya merotasikan bola matanya. Ia mengangkat gelas, meminum airnya pelan sambil menahan ekspresi.

Suasana meja tetap terasa tegang, tapi dengan kehadiran Neni, Maura merasa sedikit terlindungi, meski hanya untuk sementara.

Makan malam berakhir tanpa banyak percakapan. Begitu piring-piring kosong dirapikan, Neni menepuk tangannya pelan. “Baiklah, sudah malam. Kalian pasti lelah. Mari, aku tunjukkan kamar.”

Mereka berjalan menyusuri lorong rumah yang hangat oleh cahaya lampu temaram. Neni berhenti di depan dua pintu bersebelahan.

“Ini kamar Maura.” Ia membuka pintu kanan, menyalakan lampu. “Kamar ini biasanya untuk tamu, tapi cukup nyaman. Semoga kamu betah.”

Maura tersenyum kecil, merasa lega. “Terima kasih banyak.” Ia melangkah masuk, segera meletakkan tas, lalu berpamitan singkat sebelum menutup pintu.

Begitu pintu tertutup, Neni berbalik pada Marvel yang masih berdiri di lorong. Tatapannya tajam. “Kemari kamu!”

Marvel menghela napas, menghampirinya dengan langkah malas. “Apa lagi?”

“Kamu ini .…” Neni melipat tangan di depan dada. “Kenapa bicaramu begitu kasar pada Maura? Dia kelihatan ketakutan, padahal baru pertama kali datang ke sini. Ingin membuatku malu, heh?"

“Dia memang seperti itu,” potong Marvel cepat, bahunya terangkat cuek. “Kalau takut dengan ucapanku, berarti dia memang tidak pantas ada di sisiku. Dan sejauh ini semuanya baik-baik saja.”

Neni mendengus tak setuju. “Baik-baik saja apanya! Jelas-jelas dia ketakutan begitu!"

Sekilas rahang Marvel mengeras. Sorot matanya meredup, tetapi ia cepat menutupi dengan senyum tipis penuh sinis. “Dia bukan apa-apa yang harus kamu khawatirkan. Tidak perlu memikirkannya, urus saja rambut putihmu itu!" Ia memindai Neni dari atas ke bawah. "Katanya kakimu sakit?"

“Jangan mengalihkan pembicaraan! Aku tahu cara kamu menatap dia itu bukan tatapan seorang atasan ke bawahan.”

Marvel diam. Detik kemudian ia semakin mendekat, menunduk sedikit agar sejajar dengan Neni. “Lebih baik Neni tidak ikut campur,” bisiknya lirih. “Pikirkan saja kesehatanmu, jangan memikirkan hal lain yang tidak penting." Kemudian ia tersenyum dan kembali menegakkan badan.

Tatapan Neni tidak goyah, meski ada kilatan kecewa di matanya. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata pun.

Marvel berdiri di lorong itu, menatap pintu kamar Maura yang tertutup rapat. Wajahnya berubah datar dengan jari terkepal erat.

1
Hennyy Handriani
Makin kesini alur nya makin bangus dan makin penasaran..semangat kk buat up nya💪
Agnes Gulo
cerita nya sangat menarik kak, semangat utk UP 😍
Hennyy Handriani
bagus kok kk....💪💪💪
Hennyy Handriani
kapan upnya jangan lama" ya kk
IG: Oveleaa: siapp
total 1 replies
Hennyy Handriani
alurnya sangat bagus
IG: Oveleaa: terima kasih atas dukungan dan ulasan positifnya, Kak♥️
total 1 replies
Hennyy Handriani
Makin menarik nih
Hennyy Handriani
alurnya bagus banget💪
SweetPoison
Gimana bisa ceritanya sebagus ini, bikin aku ketagihan bacanya thor!
Dama9_
Menyentuh
Ermintrude
Buat mood pembaca semakin bagus!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!