NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27

Pagi pertama sebagai istri dimulai tanpa kilau kebahagiaan yang biasanya menyertai pengantin baru. Matahari baru saja menyibak tirai langit, menyentuh atap rumah tua Paman Lu yang sunyi dan sepi. Aroma bubur jagung yang mendidih perlahan di atas tungku menjadi satu-satunya pertanda bahwa ada kehidupan di dalam rumah itu.

Ulan sudah bangun sejak dini hari. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang, wajahnya segar, namun ekspresinya tetap tenang dan berhati-hati. Ia sedang menyusun mangkuk-mangkuk tanah liat berisi bubur hangat, potongan sayur, dan acar sederhana di meja makan ketika suara langkah masuk dari pintu depan membuatnya menoleh.

Weiran akhirnya pulang.

Pria itu tampak sedikit lusuh namun tetap tenang, seperti biasa. Matanya menatap Ulan sebentar, cukup untuk mengucapkan salam pagi, lalu duduk tanpa banyak bicara. Ulan menyambutnya dengan tenang, membungkuk sedikit seperti kebiasaan gadis desa yang menghormati suami, meskipun dia tahu semua ini hanya sandiwara. Ia menyilakan pria itu untuk sarapan.

“Aku akan keluar sebentar,” ujarnya pelan.

Weiran hanya mengangguk sambil mengambil sendok. Ia mulai makan dengan tenang.

Ulan membuka pintu dan keluar. Udara pagi terasa lebih panas dari biasanya. Langit sedikit pucat, tak secerah biasanya. Belum jauh melangkah dari rumah, ia mendengar suara bisik-bisik dari dua orang wanita tua yang sedang berjalan cepat melewati jalan tanah di depan rumah.

"Benar-benar celaka… uang mereka dicuri semua semalam, katanya sih seribu lebih…"

"Aku dengar Kakek Gu sampai pingsan, dibawa ke dokter desa barusan. Belum sadar juga katanya."

Mata Ulan terbelalak kecil, tapi dia cepat-cepat menunduk dan menahan senyum. Wajahnya tetap datar ketika kedua wanita itu menatapnya sekilas lalu melanjutkan gosip mereka sambil berlalu.

Keluarga Gu sedang bersedih.

Ulan bisa membayangkan kegemparan di rumah itu. Teriakan nenek, panik dari bibi keduanya, dan tangisan pura-pura ibunya. Kakeknya yang tua dan keras kepala, tak tahan menerima kenyataan bahwa uang yang begitu susah dikumpulkan raib begitu saja.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Pagi ini, langit terang. Tapi di balik sinarnya, dunia telah berubah. Bagi keluarga Gu, hari ini adalah awal dari duka baru. Tapi bagi Ulan, ini adalah langkah kecil menuju kebebasan yang sudah terlalu lama ia impikan.

Dengan langkah ringan, ia berbalik, kembali ke rumah. Ada banyak yang harus ia pikirkan hari ini,termasuk hadiah dari pihak militer yang dijanjikan Weiran.

Setelah sarapan,Weiran duduk di kursi bambu dekat jendela sambil meminum air hangat yang baru saja dituangkan Ulan ke dalam cangkir. Pagi itu angin tidak berhembus kencang, tapi cukup untuk membuat tirai usang di dekat pintu bergoyang perlahan. Sinar matahari menyorot masuk, memantulkan siluet tipis tubuh Ulan yang berdiri di ambang pintu dapur, tangannya masih memegang kain lap.

“Kau tidak terlihat lelah setelah semalaman tidak pulang,” kata Ulan datar, tapi nada suaranya lebih hangat dibanding biasanya.

Weiran menoleh sedikit, menatapnya sekilas. “Sudah terbiasa. Lagipula… misinya hampir selesai. Mungkin tinggal dua atau tiga hari lagi.”

Ulan mengangguk pelan. Wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi, tapi ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. Ia mendekat, duduk di bangku kecil di hadapan Weiran.

“Aku dengar kabar pagi ini dari dua orang tua yang lewat,” katanya. “Keluarga Gu… mereka kecurian lagi. Kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Katanya, kakekku sampai pingsan dan dibawa ke dokter desa.”

Weiran meletakkan cangkirnya perlahan. “Lagi?”

“Ya, lagi,” jawab Ulan sambil tersenyum tipis. “Anehnya… aku tidak kaget.”

Weiran memiringkan kepalanya sedikit, menatap wajah Ulan sejenak. Tapi dia tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Gadis itu tampak tulus, bahkan tenang. Tidak ada kegugupan, tidak ada gelisah di matanya.

“Mungkin memang sudah waktunya,” gumam Weiran. “Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai.”

Ulan mengangguk. “Karma.”

Weiran tertawa kecil. “Kau percaya pada karma?”

“Aku percaya bahwa jika seseorang hidup hanya untuk menghisap darah orang lain, suatu hari darah itu akan mengering,” jawab Ulan sambil menatap keluar jendela.

Tak ada yang mencurigakan dalam cara dia bicara. Bahkan Weiran hanya mengangkat bahu dan menyandarkan punggungnya ke dinding.

“Lalu… apa rencanamu setelah semua ini selesai?” tanya pria itu, nadanya ringan tapi tajam.

Ulan tersenyum samar. “Aku belum tahu. Tapi kupikir… hidup di desa ini terlalu sempit. Aku ingin mencoba hidup yang lebih luas. Kalau bisa… di kota.”

Weiran mengangguk perlahan. “Aku akan menyampaikan itu ke atasanku. Kau masih punya kesempatan untuk meminta hadiah dari kami.”

“Terima kasih,” jawab Ulan.

Keduanya terdiam sejenak. Angin dari jendela kembali menggerakkan tirai, dan cahaya pagi mulai memudar pelan tertutup awan yang menggantung.

Setelah sarapan, Ulan tak banyak bicara lagi. Ia kembali ke dapur, mulai mencuci piring dengan abu tanaman.Tangannya cekatan, tapi pikirannya melayang-layang. Di luar, angin sudah membawa bau tanah kering dan debu yang beterbangan, pertanda hari akan kembali panas.

Weiran berdiri di ambang pintu, menatap ke arah jalan sempit yang mengarah ke rumah keluarga Gu. Ia diam sesaat, seolah menimbang apakah harus pergi atau tidak. Wajahnya datar, tapi kakinya tetap melangkah perlahan ke arah luar pagar kayu.

Ulan hanya melirik sekilas. "Kau akan ke rumah itu?" tanyanya tanpa menoleh dari cucian.

Weiran mengangguk. "Jika aku tidak muncul, orang akan bertanya. Gosip desa lebih tajam dari pedang."

Ulan tersenyum samar. “Jangan terlalu lama. Kalau mereka mulai menangis, pura-pura saja tak paham.”

Weiran tertawa pelan, lalu berbalik dan melangkah pergi.

Rumah keluarga Gu masih dikelilingi kerumunan kecil warga yang penasaran dengan kabar pencurian itu. Tangisan samar terdengar dari dalam, bercampur suara para wanita yang berusaha menghibur dan membesarkan hati. Weiran berjalan mendekat dengan tenang, menyapa beberapa orang yang memandangnya dengan campuran rasa ingin tahu dan penghormatan alami pada seorang prajurit.

Pintu rumah keluarga Gu setengah terbuka. Di dalamnya, wajah-wajah muram dan mata-mata bengkak menyambut Weiran. Nenek Gu duduk di kursi bambu dengan mata merah, sementara ayah Ulan masih menunduk tanpa banyak berkata. Meja tengah kosong,uang itu memang benar-benar hilang.

Weiran menunduk sedikit, menyapa sopan. “Saya mendengar kabar. Datang hanya untuk menunjukkan simpati.”

Nenek Gu hanya mendengus kecil, tapi tak berkata apa-apa kecuali menangis. Dia terlalu sibuk meratapi uangnya yang lenyap seperti ditelan bumi. Beberapa warga yang ikut berkumpul malah lebih sibuk mencatat wajah Weiran untuk bahan cerita sore nanti.

"Menantu.. salah kami apa, ini bukan pertama kali uang di rumah di curi orang. pencuri ini tidak memiliki hati nurani, tidakkah dia melihat rumah kami ini miskin huhuhu...

Ibu ulan menangis dan menyebut weiran sebagai menantunya.meskipun benar tapi pada dasarnya tidak seperti itu.ulan bukan lagi anggota keluarganya melainkan putri dari lu .

Weiran juga tidak berniat untuk meluruskan permasalahan ini. lagi pula dia tidak akan tinggal lama di desa.weiran hanya menyebutkan beberapa kata baik.

Tapi kata baik darinya sebenarnya adalah sebuah bumerang.

ibu ulan memagang erat tangannya dan berkata," kakek ulan dirawat tapi kami tidak bpunya uang, menantu bisakah kau memberikan sedikit biaya?"

Weiran tidak terkejut dengan reaksi ibu Ulan yang memang serakah tapi dia pura-pura membuat wajah sedih ," semua tabunganku sudah habis karena pernikahan semalam . aku tidak membawa banyak uang ke sini, uang maharnya aku pinjam dari saudara prajurit yang lain di kota.jadi ...

"tidak mungkin... Kau adalah seorang prajurit tidak mungkin uang hanya seperti itu?'

"bibi gu..maaf..

Weiran langsung menarik tangannya dan bergegas pergi dari rumah gu.ibu Ulan melihat itu dan menangis lagi ngomel mengatakan menantunya tidak punya hati nurani

“Pencuri zaman sekarang memang pandai,” kata salah satu tetua desa dengan suara menyindir yang ditujukan kepada Weiran. “Bahkan tak meninggalkan jejak sedikit pun.”

Weiran hanya tersenyum kecil. Ia tidak menanggapi. Setelah beberapa saat basa-basi yang canggung, ia pun pamit dengan sopan dan kembali melangkah keluar dari rumah itu. Warga masih membicarakan berbagai teori tentang pelaku, tapi tidak satu pun menaruh kecurigaan pada gadis yang kini duduk tenang di rumah tua keluarga Lu, mencuci pakaian dan bersenandung pelan.

Weiran kembali sambil menghela napas.Dia langsung pergi lagi entah kemana.

Menjelang makan siang pintu rumah diketuk oleh orang.

Ulan yang sedang menyapu halaman depan segera membukanya. Di balik pintu, ibunya berdiri dengan wajah cemberut dan napas berat, seperti baru saja berjalan cepat dari rumah keluarga Gu.

“Ulan,” katanya tanpa basa-basi, “Kakekmu pingsan lagi. Dokter desa bilang harus dibawa ke kota. Kami butuh uang untuk ongkos dan biaya pengobatan.”

Ulan terdiam. Tangannya masih memegang sapu, tapi tubuhnya kaku. Ia tahu arah pembicaraan ini.

“Aku tidak punya uang, Bu,” jawabnya pelan, menunduk. “Benar-benar tidak punya.”

“Jangan bohong!” bentak ibunya. “Kami tahu kau sekarang tinggal di rumah pamanmu! Sudah menikah! Kau pasti diberi uang kan! Jangan pura-pura jadi orang miskin!”

Ulan mengangkat wajahnya. Ada sedikit gemetar di sudut matanya, tapi suaranya tetap tenang. “Kalau memang ada, aku pasti bantu. Tapi sekarang, aku sungguh tidak punya.”

Ibu Ulan membanting kaki, marah bukan main. “Dasar anak tak tahu balas budi! Apa kau pikir karena sudah menikah ,kau bisa tinggalkan keluargamu begitu saja?! Kami keluargamu! Kau hidup karena kami! Jangan jadi anak durhaka, Ulan!”

Ulan tidak menjawab.

" bibi gu suamiku ada di dalam Dia sedang tidur. suaramu berisik sekali Aku khawatir dia akan marah"

Wajah ibu Ulan langsung menghitam. baru satu hari menikah panggilannya juga sudah berubah.

Dari ibu menjadi bibi..

"ulan... betapa tidak berbaktinya kau.

jika aku tahu kelakuanmu akan seperti ini, lebih baik aku merendammu dengan toples air kencing daripada membesarkanmu bertahun-tahun. semua makanan yang aku berikan kepadamu menjadi sia-sia.kau...

"bibi gu... Aku adalah Putri dari keluarga lu, tidak ada hubungannya dengan keluarga gu."

Ibu Ulan seperti sudah menelan lalat. Meskipun dia tidak begitu menyayangi putrinya ini, Tapi tetap saja ulan adalah anak yang dia lahirnya sendiri.

Aneh rasanya jika dia tidak marah dikatain seperti itu oleh Putri kandungnya .

"Ulan... dasar sial, selagi kau memakai nama gu, lagi itulah kau adalah keluarga gu, kau dengar itu. tidak ada alasan untuk kau bersembunyi ketika keluarga membutuhkan uang. cepat ambil uangmu Jika perlu minta kepada suamimu yang tidak berguna itu. Hari sudah siang tapi dia masih tidur saja. dasar pemalas!!"

Weiran tidak ada di rumah, ulan hanya mengada-ngada.Ulan tersenyum sinis dan melempar sapu ke kaki ibu.

"Ahhh Ulan...!!"

"Bibi gu, jika kau masih berisik aku tidak ragu untuk mengganti nama keluargaku menjadi lu atau tang, Yuan atau apalah. apa artinya nama keluarga untukku hah. aku akan menggantinya besok dengan nama suamiku, hahaha saat itu kau jangan menyesal"

Ibu Ulan tercengang.

inikah putrinya yang pemalu dan penurut.

Entah kenapa ada rasa takut di dalam hatinya. Dia merasa seperti ada sesuatu yang hilang di sana.

Apa itu.

"ulan.. satu hari Jika kau dibully oleh keluarga suamimu, jangan kembali menangis kepada kami huh..

Akhirnya, ibunya berbalik pergi dengan langkah berat, sambil terus mengomel di sepanjang jalan. Kata-kata kasar dilemparkan seenaknya, menusuk seperti duri. Tapi Ulan hanya berdiri diam di depan pintu, menatap punggung ibunya yang menjauh, lalu menarik napas panjang, dan kembali menyapu lantai halaman dengan gerakan yang lebih pelan.

Begitu bayangan ibunya lenyap di tikungan jalan, Ulan berdiri diam sejenak. Wajahnya tetap datar, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit. Ia tertawa... dalam hati.

"mau uang,hahaha mau tau Uang itu kemana? "

Sudah lenyap.

Ia sendiri yang mencurinya semalam, menyusup diam-diam seperti hantu. Sekarang, uang seribu lebih itu telah berubah menjadi beras, dan beberapa barang harian lainnya.

Semua disimpan rapi dalam sistem penyimpanannya ,tempat rahasia yang tidak bisa dijangkau siapapun.

Cari saja sampai ke lubang neraka.

‘Mereka pikir aku akan menyimpannya dalam dompet dan menyerahkannya dengan mudah?’ gumamnya dalam hati.

‘Lucu.’

Ia menyapu pelan halaman rumah, sambil mengingat kembali wajah terkejut neneknya saat menyadari uang perjamuan dan mahar telah raib.

Sekarang, kakek bahkan pingsan karena syok. Sedikit rasa bersalah menyentuh hatinya... tapi segera sirna.

Bukan karena dia kejam, melainkan karena dia tahu, jika dia tidak mengambil kesempatan ini, maka tidak akan ada lagi hari esok untuknya.

Ulan menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil.

“Kalau takdir memberiku satu tawa terakhir, biarlah aku tertawa paling keras,” bisiknya.Dan dia kembali melanjutkan pekerjaannya, seolah tak terjadi apa-apa.

1
Cilel Cilel
semangat thor
🪷Mrs.Mom05🪷
🌹🌹🌹🌹🌹
Etty Rohaeti
lanjut Thor
semangat
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!