Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Langit Kekaisaran Dawei membentang bersih, seolah disapu oleh sayap para dewa. Bunga-bunga mekar serentak, seakan ikut menyambut era baru.
Di atas singgasana tertinggi, Putri Mahkota Shuwan berdiri dalam balutan jubah keemasan dengan sulaman Phoenix dan Naga simbol cahaya dan takdir kekaisaran.
Di bawahnya, rakyat berkumpul dengan harapan dan kagum. Namun bagi Shuwan, ini bukan tentang kemegahan. Ini tentang janji.
Di sisi kirinya berdiri Feng Aoren, tidak hanya sebagai penjaga cahaya, tapi sebagai satu-satunya pecahan cahaya yang menyatu dengannya di medan perang.
Pandangan mereka sesekali bertemu, tak berkata, namun penuh pemahaman. Ia bukan hanya calon jodoh abadi dia adalah belahan kekuatan yang kini tumbuh bersamanya.
Sementara itu, Bo Zhi, sang Harimau dan penjaga spiritual kekaisaran, berdiri gagah di tangga istana, menjadi pengawal utama. Aura agungnya membuat para pejabat menunduk hormat setiap kali pandang mereka bertemu.
Phoenix Api dan Phoenix Es mengepakkan sayap di atas istana, menyanyikan lagu kebangkitan. Sedangkan Han Juan, sang penasihat abadi, membacakan maklumat agung:
“Dengan anugrah langit dan warisan darah permaisuri Jian, Putri Mahkota Shuwan kini dinobatkan sebagai pemimpin Dawei yang sah! Cahaya yang mengusir kegelapan kini menjadi cahaya yang menuntun masa depan.”
Sorak-sorai menggelegar, namun sebelum rakyat terlena oleh semangat perayaan, dari pintu istana muncullah Kaisar tua Dawei ayah kandung Shuwan dengan langkah lambat namun berwibawa.
Sejak penyerangan iblis, beliau memang menarik diri dari publik, menyerahkan takhta secara sukarela karena tubuhnya melemah, namun sekarang ia hadir demi satu hal.
Ia menatap Shuwan, air mata tua menggenang. “Anakku, aku bangga padamu. Ibumu, permaisuri Jian, pasti melihatmu dari langit. Kau bukan hanya Putri Cahaya. Kau adalah darah daging kekaisaran. Dan sekarang, Dawei ada dalam tanganmu.”
Shuwan turun dari singgasana, berlutut hormat di hadapan ayahnya. “Ayah, aku akan menjaga Dawei. Seperti yang dulu Ibu jaga dengan jiwanya.”
Momen itu membeku dalam sejarah, bukan hanya karena penobatan seorang ratu cahaya, tapi karena akhir dari penantian seorang ayah.
Di malam harinya, Shuwan berdiri di tepi balkon, ditemani hembusan angin dan cahaya bintang. Suara lembut dari balik tiang mengagetkannya.
“Sudah jadi ratu, tapi tetap suka menyendiri.” ujar seseorang
Shuwan tersenyum, “Lianhua… akhirnya kau datang.”
Lianhua, sang penjaga hutan cahaya, muncul dari balik bayangan. Ia menatap Shuwan dengan kagum dan hangat. “Aku mendengar kau menutup Gerbang Malam. Satu dunia berhutang padamu.”
Shuwan menoleh, mata harunya berkilau. “Tanpa hutanmu, tanpa pelatihan darimu… aku tidak akan sampai sejauh ini.”
Lianhua menunduk hormat. “Kau sudah lebih dari cukup. Tapi ini belum akhir. Cahaya tidak pernah tinggal diam, karena bayangan selalu mencoba kembali.”
Feng Aoren muncul tak lama setelah itu, membawa gulungan berita dari wilayah barat jauh.
“Gerbang Cahaya di wilayah selatan mulai retak,” katanya tegas. “Seseorang… atau sesuatu, sedang mencoba masuk dari dimensi terlarang.”
Shuwan mengambil gulungan itu dan menatap langit. “Kalau begitu, belum waktunya aku duduk tenang di istana.”
Ia melirik Aoren, lalu Lianhua, lalu ke arah istana tempat Bo Zhi sedang berjaga. “Bersiaplah. Pasukan Cahaya akan dibentuk. Dan misi kita berikutnya… akan lebih berbahaya dari sebelumnya.”
Aoren mengangguk. “Tapi kali ini, kau tidak sendirian.”
Shuwan tersenyum. Ia adalah Putri Cahaya, Putri Mahkota Dawei, pemimpin dunia baru—dan takdirnya baru saja menapaki babak selanjutnya.
Fajar belum sepenuhnya merekah saat langit selatan menampakkan celah-celah aneh berwarna ungu kehitaman. Udara di sekitar retakan itu bergoyang seperti cermin pecah—tanda Gerbang Cahaya mulai melemah. Tanah bergetar pelan, dan suara-suara asing mulai berbisik dari sisi lain realitas.
Di ruang strategi Istana Dawei, Shuwan berdiri di depan meja peta besar yang menampilkan seluruh wilayah kekaisaran dan garis batas dimensi. Di sampingnya, Feng Aoren dengan jubah penjaga dan ikat kepala perak menyimak dengan penuh konsentrasi. Bo Zhi, dalam wujud manusia dewasa dengan bekas garis harimau di matanya, berdiri bersilang tangan di dekat jendela. Sementara Lianhua hadir seperti angin hampir tak terdengar langkahnya, namun keberadaannya membuat ruangan terasa sejuk dan kokoh.
“Retakan muncul di wilayah Nansheng,” jelas Shuwan, menunjuk titik di peta yang berkedip merah. “Itu bukan tempat biasa. Dahulu di sana pernah berdiri altar suci kuno tempat para leluhur bersemedi dan menyegel kekuatan dari dunia gelap. Jika segel itu rusak…”
“Batas antara dunia dan bayangan akan runtuh,” potong Lianhua, suaranya tenang namun tajam. “Dan kali ini, kita tidak akan berhadapan dengan pasukan iblis biasa. Yang bangkit adalah entitas purba mereka yang bahkan namanya tak boleh disebut di masa lalu.”
Bo Zhi menggeram pelan. “Kalau begitu, kita harus segera ke sana sebelum celahnya membesar.”
Feng Aoren menoleh pada Shuwan. “Kau siap memimpin pasukan ini sendiri?”
Shuwan mengangguk mantap. “Ini bukan pertama kalinya aku melawan kegelapan. Tapi kali ini… aku tidak akan bertarung sendiri.”
Keesokan harinya, pasukan elit yang dipimpin langsung oleh Putri Mahkota Shuwan berangkat menuju selatan. Barisan mereka dipimpin oleh empat Phoenix Api, Es, Angin, dan Petir—yang telah bangkit menyatu dari cahaya lama. Di belakangnya, pasukan cahaya dan para penjaga alam semesta yang setia ikut berbaris dalam keheningan yang sakral.
Di atas bukit menuju perbatasan Nansheng, Shuwan dan Feng Aoren menghentikan kuda mereka, memandangi langit yang terus menghitam di cakrawala. Tiba-tiba, langit membelah sejenak dan dari sana, muncul sesosok siluet hitam bertanduk dua, dengan mata merah menyala dan jubah berkibar.
“Sambutan untuk sang Putri Mahkota?” tanya Aoren dengan nada dingin, tangannya otomatis memegang gagang pedangnya.
Shuwan menatap lurus ke depan, Phoenix Api dan Es mendarat di bahunya, siaga. “Bukan sambutan… tapi tantangan.”
Siluet itu tertawa pelan, suara seraknya menggema. “Jadi kau putri cahaya yang mereka agungkan? Lucu. Tapi cahaya tak akan bisa menyelamatkan mereka kali ini.”
“Aku tak perlu menyelamatkan semua orang,” sahut Shuwan, suaranya dingin dan tajam seperti mata pedang naga. “Aku hanya perlu menghancurkan kegelapan dari akarnya.”
Petir membelah langit. Suara dentumannya menggetarkan tanah. Bo Zhi yang berdiri di samping pasukan utama sudah berubah ke wujud harimau raksasa, siap menyerbu kapan pun.
Lianhua, kini berdiri di belakang Shuwan, melempar pandang penuh makna. “Kalau kita kalah kali ini, dunia tak akan punya hari esok.”
Shuwan menoleh padanya, lalu pada Feng Aoren. “Kita tidak akan kalah. Karena cahaya tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya menunggu… untuk dinyalakan kembali.”
Feng Aoren mengangkat pedangnya yang menyatu dengan energi langit. “Kalau begitu, mari nyalakan dunia ini kembali.”
Perang cahaya yang sesungguhnya baru saja dimulai.
bersambung
selalu suka dengan kata² nya yang indah dan ceritanya yang menarik 😍