NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:388
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28

Di dapur tempatnya bekerja, Jovita sedang mencetak adonan untuk dipanggang. Tepung menempel halus di ujung jarinya, tapi pikirannya sama sekali tidak berada di sana. Ia masih tertinggal di pengadilan tadi.

“Percayakan pada suamimu.”

“Dia menikah denganku karena aku mencintainya.”

Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya. Dua kata itu, suamimu dan mencintainya, terasa terlalu berat, terlalu asing, namun entah kenapa membuat dadanya hangat.

“Kenapa dia bilang begitu? Seakan dia beneran suamiku…” gumam Jovita lirih.

Secara hukum mereka memang menikah. Nama mereka terdaftar sebagai pasangan sah. Tapi rasanya tak mungkin Devan mengucapkan kalimat seperti itu… tanpa perasaan. Terlalu mudah, terlalu tenang, seolah sama sekali tidak berat baginya.

Tangan Jovita berhenti di atas adonan. Ingatannya melayang ke kamar resort. Saat bibir Devan menempel di bibirnya. Saat pria itu menyeka krim di ujung bibirnya dengan ibu jari. Saat ia merapikan rambut Jovita pagi tadi. Tatapan Devan… senyumnya… semuanya muncul lagi dengan jelas, membuat perutnya terasa aneh.

“Jangan bilang, dia beneran…” gumam Jovita, wajahnya memanas sendiri.

Tapi cepat-cepat ia menggeleng, seakan bisa menggugurkan pikirannya dengan gerakan itu saja.

“Gak mungkin. Kenapa dia harus suka sama aku?” ujarnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Dia cuma melakukan itu biar kita kelihatan harmonis. Itu aja.”

Walau hatinya, diam-diam, tidak sepenuhnya percaya.

Begitu malam tiba, Jovita bersiap pulang. Tubuhnya terasa berat, langkahnya lelah, dan kepalanya hanya dipenuhi satu keinginan, cepat sampai rumah dan merebah.

Baru saja ia keluar dari toko, langkahnya terhenti. Di depan mobil, Devan sudah berdiri menunggunya dengan tangan disilangkan.

“Kamu beneran jemput?” tanya Jovita, nada heran tak bisa ia sembunyikan. Ia benar-benar mengira Devan hanya ingin terlihat seperti suami teladan di depan Sena.

“Aku udah bilang bakal jemput,” jawab Devan santai.

Jovita memperhatikan pria itu. Devan sudah berganti pakaian, kaos polos dan celana santai. Artinya, dia sempat pulang dulu sebelum kembali untuk menjemputnya. Entah kenapa, fakta itu membuat dada Jovita terasa aneh.

“Buruan. Aku laper,” ucap Devan lagi, lalu masuk ke mobil tanpa menunggu.

Jovita terpaku. Dia… nyuruh aku masak? pikirnya, wajahnya langsung berubah kesal.

Jendela mobil turun. Devan melongok keluar sambil menaikkan sebelah alis.

“Mau pulang gak?”

Jovita mengerucutkan bibir, mendesis pelan, lalu masuk ke mobil dengan langkah malas.

Mereka tiba di apartemen baru, yang jauh lebih besar dari tempat tinggal Devan sebelumnya. Dua kamar luas, ruang tamu terang, semuanya serba baru. Hadiah dari Ami. Meski awalnya Devan menolak, pada akhirnya ia menyerah juga. Wajar, rumah sekarang harganya menakutkan, belum lagi kebutuhan mereka berdua.

Begitu pintu dibuka, aroma masakan langsung memenuhi ruangan. Hangat, gurih, menggugah selera.

Jovita berhenti di ambang pintu, mengendus kuat-kuat. “Ini… beneran bau makanan?”

“Cuci tanganmu. Kita makan sekarang,” kata Devan, berjalan ke dapur tanpa menoleh.

Jovita mengikuti dari belakang. Begitu ia melihat meja makan, matanya melebar. Ada tempura udang yang masih hangat, ayam teriyaki dengan saus mengilap, sup miso, salad segar, semuanya terlihat seperti masakan restoran.

“Kamu bisa masak?” tanyanya, nadanya tak percaya, campuran antara kagum dan syok.

Tanpa menunggu jawaban, Jovita sudah mendekat, tangan terulur ke arah tempura udang. .

Namun belum sempat tangannya mendarat, Devan menepuk punggung tangannya pelan tapi tegas.

Jovita langsung menarik tangannya cepat-cepat, memegangi area yang dipukul sambil memelototkan mata ke arah Devan.

“Cuci tangan dulu sebelum pegang makanan,” ujar Devan, nada suaranya persis orang tua yang menegur anak kecil.

Dengan kesal, Jovita mendorong kursinya menjauh. “Bilang aja, kenapa harus mukul?” omelnya sambil cemberut.

Ia menatap Devan tajam sebelum sengaja mendorongnya sedikit dengan bahunya saat lewat. Devan hanya menghela napas panjang, tampak malas menanggapi tapi bibirnya sedikit terangkat, nyaris seperti menahan senyum.

Mereka makan dalam suasana tenang. Hanya terdengar suara sendok garpu dan sesekali helaan napas puas dari Jovita. Dari awal suapan saja, ekspresinya sudah berubah, tidak bisa menyembunyikan kalau dia benar-benar menikmati makanan itu.

“Ini beneran kamu yang masak?” tanyanya lagi, seolah masih butuh bukti tambahan.

Devan menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya lama sambil tersenyum kecil.

“Enak, kan?” nadanya terdengar bangga.

“Lumayan,” jawab Jovita datar. Tapi tangannya yang terus mengambil tempura. satu, dua, tiga, mengkhianati kata-katanya sendiri.

Devan hanya menggeleng pelan, senyumnya makin lebar melihat tingkahnya, lalu kembali makan tanpa komentar.

Setelah selesai, Devan membereskan piring dan langsung kembali ke kamar. Ponselnya mati total, jadi ia ingin segera mengisi daya. Sementara itu, Jovita masih sibuk di dapur, mengelap meja makan dengan tisu.

Saat hendak membuang tisu ke tempat sampah, matanya menangkap sesuatu. Ia membungkuk sedikit, lalu mengernyit.

Di dalam tempat sampah, ada kantong plastik dengan logo restoran besar.

Jovita membeku. “Hah?” Ia memperhatikan lagi untuk memastikan tidak salah lihat.

“Ah, Devan sialan… Dia beli di resto?” gumamnya, nyaris tidak percaya. “Pantes rasanya enak…”

Baru ia hendak masuk ke kamar ketika Devan keluar, tapi dari kamar satunya. Sejak pindah, mereka sepakat tidur terpisah. Jovita belum siap tidur satu kamar dengannya, dan Devan tidak memaksa.

Begitu melihat Devan keluar, Jovita langsung melayangkan tatapan menyelidik.

“Kenapa kamu bilang masak sendiri? Padahal beli di resto,” sindirnya.

Devan mengangkat alis, jelas sudah tahu rahasianya terbongkar. “Jadi kamu udah sadar?” tanyanya, senyum geli terukir di bibirnya.

Jovita hanya mendecih kesal, lalu masuk ke kamarnya tanpa menunggu respons.

Devan terkekeh pelan, melangkah kembali ke dapur untuk mengambil minum. Ia baru sadar dirinya sibuk menghidangkan makanan sampai lupa menyentuh air sama sekali.

Tak lama kemudian, bel apartemen berbunyi. Suaranya memecah keheningan malam, membuat Devan spontan menoleh ke arah pintu dengan alis berkerut.

“Siapa malam-malam gini?” gumamnya heran.

Bel belum sempat berbunyi lagi, Devan sudah membuka pintu.

Seorang kurir berdiri di sana, memegang kardus besar yang tampak berat.

“Paket atas nama Jovita,” ujarnya.

“Ah, iya,” Devan langsung mengambilnya. Kardus itu lebih berat dari yang terlihat. Ia membawa paket itu ke dalam ruang tamu.

“Jo, kamu pesan sesuatu?” serunya, meletakkan kardus itu di lantai.

Tak lama, Jovita muncul dari kamar. Rambutnya masih sedikit acak karena ia tadi berguling di kasur.

“Barang-barangku,” ucapnya singkat, langsung berjongkok membuka kardus itu.

Sejak pindah ke apartemen baru, ia belum sempat mengurus barang-barangnya yang tertinggal di rumah. Tak ada waktu. Jadi ia meminta Airin untuk mengirimkannya. Tapi ia tidak menyangka isinya akan sebanyak ini, seolah kamarnya dikosongkan sekaligus.

“Kenapa semuanya dimasukin? Apa barangku gak ada yang tersisa di rumah?” tanya Jovita, wajahnya bingung campur sebal.

Devan yang penasaran ikut berjongkok. Begitu melihat isinya, ia langsung terkekeh.

“Mereka ngusir kamu secara halus. Kamu aja yang gak sadar,” godanya, mengangkat salah satu bingkai foto sambil tersenyum geli.

Jovita menatapnya dengan wajah tidak percaya. “Apa?”

Tapi semakin dilihat, semakin masuk akal. Ia mendengus kesal, lalu langsung merebut semua foto itu dari tangan Devan.

“Jangan sentuh barangku,” omelnya sambil memeluk bingkai foto itu, lalu menarik kardus masuk ke kamarnya.

Setelah selesai mandi, Jovita mulai mengeluarkan isi kardus satu per satu. Buku-buku lamanya, bingkai foto, beberapa boneka kecil, sampai pakaian yang tak sempat dibawa.

Dalam waktu singkat, kamarnya berubah. Boneka-boneka kecil berbaris rapi di atas kasur. Buku-buku memenuhi rak kecil di samping meja. Bingkai foto berjajar di meja rias.

Jovita ingin membereskan semua sisanya, tapi matanya mulai berat. Akhirnya ia menyerah, membiarkan sebagian barang masih berantakan di lantai.

Tanpa pikir panjang, ia rebah di kasur dan tertidur seketika.

Di tengah malam yang sunyi, Jovita tiba-tiba terbangun. Kelopak matanya masih berat, dunia terasa buram beberapa detik. Ia mengangkat ponsel, mengecek jam.

Pukul dua dini hari.

Tenggorokannya terasa kering, membuatnya bangkit perlahan dari kasur. Begitu telapak kakinya menyentuh lantai, sebuah suara berisik terdengar dari arah dapur.

Jovita langsung terdiam.

Suara itu tidak biasa, seperti sesuatu jatuh dan terseret. Kesadarannya naik seketika, matanya terbuka lebar. Jantungnya mulai berdetak cepat, menekan dada dari dalam.

“Apa itu Devan?” pikirnya. Tapi keraguan muncul cepat. Selama ini, Devan tidak pernah menimbulkan keributan tengah malam. Rumah itu selalu sunyi saat jam tidur.

Suara berisik itu muncul lagi, kali ini lebih jelas. Seperti gelas yang tergeser, lalu dentingan kecil.

Jovita menelan ludah, panik mulai merayap. Ia meraih ponselnya, menggenggamnya erat-erat seperti senjata darurat. Jika ada bahaya, ia akan kabur ke kamar Devan.

Dengan napas ditahan, ia membuka pintu kamar sedikit, hanya selebar celah. Ia mengintip perlahan.

Dan seketika tubuhnya menegang.

Di depan sana, tepat di ruang dapur yang diterangi lampu redup, berdiri seseorang. Seseorang yang memunggunginya. Tanpa mengenakan baju.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!