Percintaan anak sekolah dengan dibumbui masalah-masalah pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Idamkan
Dara yang mendengar namanya dipanggil Andra, menatap Andra. "Iya?"
"Kamu ke sini sama siapa?" Andra bertanya, suaranya terdengar sedikit lebih ceria. Ia penasaran bagaimana Dara bisa sampai ke rumahnya.
Dara mengerutkan kening. "Sendirian, Dra. Lo kenapa tadi nggak berangkat sekolah?" Ia balik bertanya, menunjukkan rasa khawatirnya.
Andra tersenyum, tatapannya menatap Dara dengan penuh arti. "Sakit, Ra. Kamu kangen ya, nggak ada aku? Makanya kamu jengukin aku ke rumah." Ia sedikit menggoda Dara dengan menaik-turunkan alisnya.
Dara mengerutkan dahinya, mencoba untuk menyembunyikan senyumnya. "Pede banget lo! Gue ke sini cuma mau memastikan aja kalau lo masih bernapas," jawabnya, mencoba untuk bersikap datar, namun nada bicaranya terdengar sedikit lebih lembut.
Andra memanyunkan bibirnya, pura-pura sedih. "Jahat banget kamu, Ra."
"Ya udah deh, gue mau pulang. Lo cepet sehat ya, Dra," Dara pamit, bersiap untuk pergi.
Namun, Andra menahan lengan Dara. "Tunggu, Ra. Makan dulu ya?" Ia tampak tidak ingin Dara pergi begitu saja.
"Nggak usah deh, Dra. Gue buru-buru mau pulang. Kayaknya orang tua gue juga udah pulang deh," tolak Dara halus.
"Izin aja, Ra. Pasti dibolehin," bujuk Andra.
"Kali ini nggak dulu. Gue mau pulang aja, Dra. Lain kali aja deh," Dara tetap bersikeras.
Wajah Andra tampak sedikit kecewa. "Ya udah deh… tapi pulangnya aku anter, ya, Ra?" Ia masih berusaha untuk menahan Dara.
"Nggak! Lo lagi sakit. Lagian gue udah pesen taksi online. Lo istirahat aja, Dra," Dara menolak dengan tegas, tak ingin merepotkan Andra yang sedang sakit. Ia tidak ingin kebaikan hatinya disalahartikan.
Dara hendak membuka pintu, namun langkahnya terhenti. Ibu Andra berdiri di ambang pintu, menghalanginya. "Kamu mau ke mana, Ra?" tanya Ibu Andra, suaranya lembut namun sedikit menahan Dara.
Dara menatap Ibu Andra dengan raut wajah yang sedikit tidak enak. "Aku mau pamit pulang, Tan," ujarnya, mencoba untuk bersikap sopan.
"Loh, kok cepat banget? Kita makan dulu saja ya?" Ibu Andra tampak ingin Dara berlama-lama.
Dara tersenyum sopan, mencoba menjelaskan dengan halus. "Maaf, Tante. Saya nggak bisa, soalnya orang tua saya sudah pulang." Ia merasa sedikit bersalah karena harus menolak ajakan Ibu Andra.
Raut wajah Ira berubah sedikit sedih. "Yah, padahal Tante masih mau ngobrol sama kamu." Suaranya menunjukkan sedikit kekecewaan.
Dara juga merasa tidak enak. Ia sebenarnya ingin berlama-lama, namun ia teringat ucapan orang tuanya yang akan pulang sore ini. "Maaf ya, Tan. Lain kali deh aku bakal ke sini lagi," ujarnya, mencoba untuk menenangkan Ibu Andra.
"Ya udah deh… kalau gitu kamu diantar sama Andra ya?" Ibu Andra mengusulkan agar Andra mengantar Dara.
Dara menggelengkan kepala. "Nggak usah, Tan. Aku sudah pesan taksi kok. Lagian juga Andra lagi sakit." Ia tetap bersikeras untuk tidak merepotkan Andra.
Ibu Andra tampak berpikir sejenak, kemudian mengalah. "Kalau gitu, biarkan Andra mengantar kamu sampai depan ya?"
Dara tampak berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Emm, boleh." jawab Dara.
Ira memberikan kode kepada Andra dengan gerakan mata. Andra mengerti dan segera menghampiri Dara. "Yuk, Ra. Aku antar." Ia tersenyum, tampak senang karena masih bisa menghabiskan sedikit waktu bersama Dara. Kehadiran Dara telah membawa keceriaan di tengah sakitnya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu keluar, suasana canggung di awal perlahan sirna tergantikan oleh obrolan ringan. Andra, yang biasanya pendiam, kini terlihat lebih banyak bicara, mengajak Dara mengobrol tentang hal-hal sepele, menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan. Dara pun ikut larut, menikmati obrolan yang mengalir begitu saja.
Di tengah percakapan, Andra tiba-tiba bertanya, suaranya terdengar sedikit khawatir, "Ra, tadi di sekolah Zian nggak ganggu kamu lagi kan?" Kekhawatirannya terlihat jelas, ia takut Zian akan kembali mengganggu Dara. Ketidakhadirannya di sekolah membuatnya cemas akan keselamatan Dara.
Dara tersenyum, mencoba untuk menenangkan Andra. "Nggak, Dra. Tenang aja. Kalau misalnya dia ganggu gue lagi, gue nggak akan mentolerir perbuatan dia." Ia menunjukkan kepercayaan dirinya, menunjukkan bahwa ia mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Andra merasa sedikit lega mendengar jawaban Dara, namun ia tetap ingin memastikan. "Syukur deh kalau gitu. Misalnya Zian ganggu kamu lagi, jangan sungkan buat minta tolong sama aku ya, Ra? Walaupun aku belum lama kenal sama Zian, tapi sesama lelaki aku paham maksud Zian deketin kamu, Ra." Ia menawarkan bantuannya, menunjukkan kepeduliannya terhadap Dara.
Dara mengangguk mengerti. "Iya, Dra. Awalnya gue biasa aja sama sikap Zian, tapi sikap Zian sekarang udah keterlaluan banget sama gue." Ia menceritakan pengalamannya dengan Zian, mengungkapkan rasa tidak nyamannya terhadap perilaku Zian yang semakin menjadi-jadi.
Di depan pintu gerbang, taksi online yang telah dipesan Dara sudah menunggu. Andra membukakan pintu untuk Dara, sebuah gestur kesopanan sederhana namun menunjukkan perhatiannya yang tulus.
"Ra, hati-hati ya," ujar Andra, suaranya terdengar lembut, menunjukkan rasa khawatirnya.
Dara mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Iya, Dra. Gue pamit pulang dulu ya."
Andra tersenyum, nada bicaranya sedikit menggoda. "Besok aku pasti berangkat sekolah, jadi kangennya ditahan dulu ya."
Dara memutar bola matanya malas, menunjukkan rasa gemasnya terhadap Andra. "Terserah lo! Dah, gue mau pulang dulu."
"Iya, makasih ya, Ra, udah jenguk aku," ujar Andra, suaranya tulus. Ia merasa bersyukur Dara telah meluangkan waktu untuk mengunjunginya.
Dara melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam taksi. Ia merasa senang karena telah mengunjungi Andra dan memastikan keadaannya. Pertemuan itu telah menghilangkan rasa khawatirnya terhadap Andra.
Setelah kepergian Dara, Andra tersenyum lebar. Senyum bahagia itu masih terukir di wajahnya saat ia masuk ke dalam rumah. Melihat perubahan sikap anaknya yang begitu drastis, Ira, ibunya, merasa sedikit heran.
"Kenapa senyum-senyum sih, Dra? Bikin Mommy takut," celetuk Ira, suaranya terdengar sedikit geli.
Andra tetap tersenyum, menatap ibunya. "Lagi seneng aja, Mom. Kalau Andra terus sakit kayak gini, pasti Dara bakal terus ke sini," ujarnya, suaranya terdengar sedikit manja. Ia menyadari bahwa sakitnya kali ini membawa dampak positif baginya.
Ira mengerutkan dahinya, merasa sedikit aneh dengan ucapan anaknya. "Ngaco kamu! Anak Mommy kayaknya udah nggak bener deh," ujarnya, suaranya terdengar Sedikit kesal namun diiringi dengan nada bercanda.
Andra tetap tersenyum, mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. "Iya, Mom. Pikiran aku emang udah nggak bener. Selalu mikirin Dara." Ia mengakui bahwa ia tengah memikirkan Dara terus-menerus.
Sekarang Ira mengerti. Ia tahu bahwa anaknya tengah jatuh hati pada Dara. Ia sampai terkekeh kecil melihat Andra yang sedang dimabuk cinta. Ia merasa geli sekaligus gembira melihat perubahan sikap anaknya. Ia pun membiarkan Andra menikmati perasaannya.
Ira tersenyum geli, menatap Andra dengan penuh arti. "Dih, anak Mommy ternyata udah besar ya. Udah ngerti cinta-cintaan." Suaranya dipenuhi dengan rasa geli.
Andra mengangguk mantap, mengungkapkan perasaannya dengan serius. "Mommy, Dara itu perempuan yang aku udah idamkan dari lama." Ia menyatakan perasaannya dengan jujur, menunjukkan betapa besar ketertarikannya pada Dara.
Alis Ira bertaut, menunjukkan rasa heran. "Hah? Dari lama? Kan kamu baru kenal Dara?" Ia merasa bingung, karena setahu dia, Andra baru saja mengenal Dara. Pernyataan Andra membuatnya sedikit terkejut. Ia penasaran bagaimana Andra bisa mengidamkan Dara sejak lama, padahal mereka baru bertemu beberapa waktu lalu. Ira sangat penasaran dengan Andra dan Dara.