Devan Arenra Michael adalah Laki-laki berumur 21 tahun yang menyukai sahabatnya sejak tiga tahun yang lalu. Takut ditolak yang berujung hubungan persahabatan mereka hancur, ia memilih memendamnya.
Vanya Allessia Lewis, perempuan dengan sejuta pesona, yang sedang berusaha mencari seorang pacar. Setiap ada yang dekat dengannya tidak sampai satu minggu cowok itu akan menghilang.
Vanya tidak tahu saja, dibalik pencarian dirinya mencari pacar, Devan dibalik rencana itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Citveyy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31 Upin Ipin kalah
Sekitar dua belas kali Devan menelfon Senja tapi cewek itu belum mengangkatnya sampai sekarang. Ia juga sudah memasuki fakultas cewek itu tapi batang hidungnya masih saja belum terlihat.
Senja mengambil jurusan hukum dan ternyata Devan baru tahu orang yang memasukkan Senja kefakultas ini yaitu omnya yang memiliki jabatan sebagai sekretaris rektor di kampusnya. Pantas saja bisa masuk dengan leluasa ternyata bekingannya bukan main.
"Lo tuh yang nyenggol gue duluan!"
"Punya telinga gak Lo? Gue kan sudah bilang gue gak lihat. Sengaja emang mau jadi pusat perhatian?"
"Dasar cewek kagetalan!"
"Waduh mereka jambak-jambakan!"
Devan tahu sekali siapa pemilik suara itu. Ia berlari kearah dimana suara itu berada dan ternyata disana sudah banyak orang yang berkerumun bahkan ada beberapa dosen yang belum pulang karena beberapa dari mereka mungkin ada kelas sore.
"Aduh anjing!"
Devan terkena sikut oleh Senja yang semakin brutal menjambak rambut keunguan sicewek yang bermasalah dengannya.
"Senja!"
"Lepas anjing!"
Devan berhasil menarik Senja menjauh dari sana. Bahkan ia beberapa kali mendapatkan serangan tak terduga dari Senja yang menginginkan dilepaskan. Heran saja kenapa cewek ini brutal sekali, seperti anjing rabies saja.
Duh
"Aww sakit Senjawati!"
Devan mengelus tulang keringnya karena Senja menendangnya. Benar-benar kayak anjing yang baru lepas kandang. Dimana-mana cewek itu malu berbuat seperti itu padanya, atau paling tidak segan kepadanya karena ia tampan, tapi ini cewek sitornado, astaga Devan tidak bisa ngomong lagi.
"Gue itu belum remas teteknya sampai teteknya itu copot, kenapa Lo narik gue Devani!"
"Lo kok brutal banget sih, Lo habis dicipok sama anjing rabies?"
Senja langsung menjambak rambut Devan membuat cowok itu berteriak kesakitan.
"Gue habis dicipok sama monyet jadi gue kayak gini, sekarang gue cari pisang. Mau pisang Lo gue potong dadu!"
Devan membulatkan matanya, ngeri sekali mendengar ucapan Senja. "Ampun oke, ampun ya, kita cinta damai sekarang. Lo janganlah kayak gitu, gak bisa dong gue punya anak, inikan masa depan gue." Devan cengengesan sambil memasang wajah perdamaian pada Senja yang matanya yang sebelumnya melotot kini mulai seperti biasa lagi.
"Gitu dong, patuh sama gue, kalau enggak pisang lo gue potong dadu-dadu kalau enggak ya potong kayak bakso kotak lah."
"Oke-oke kita damai sekarang, kita pulang, silahkan tuan putri," Devan tersenyum lebar selebar samudra sambil sedikit membungkuk tanda menghormati tuannya.
Senja hanya tersenyum miring kemudian berjalan bak seperti majikan sedangkan Devan langsung membuntuti Senja dibelakangnya seperti bodyguard. Ia tak mau nasip masa depannya tak secerah seperti yang diimpikannya.
•••
Vegas menurunkan Vanya didepan rumah cewek itu. Rumahnya sangat besar seperti yang dikatakan anak-anak kalau orang tua Vanya itu seorang pengusaha sukses. Tak kuliah pun pasti warisannya akan jatuh pada Vanya si anak tunggal.
"Makasih kak Vegas," Vanya bingung harus ngomong apalagi sedangkan Vegas masih sibuk meneliti rumahnya. "Mau masuk dulu kak?"
"Lo nawarin gue?"
"I...iya kak."
"Gak usah, gue balik."
"Sekali lagi makasih kak."
Vegas hanya mengangguk kecil kemudian menjalankan motor Vespa antiknya pergi dari komplek rumah Vanya.
Vegas tak langsung pulang ke rumahnya. Cowok itu ke suatu tempat dimana tempat itu menjadi sumber penghasilannya. Yap, Vegas kerja dimalam hari di kafe Maimun Nama kafe ini diambil dari huruf abjad pertama dari nama sekeluarga. Pemilik kafe ini sangat berbaik hati memberinya pekerjaan dimalam hari.
Kehidupan Vegas tak seperti teman-teman yang lainnya. Ia masuk kuliah saja lewat beasiswa. Ibu dan ayahnya bercerai sejak ia umur sebelas tahun sehingga ibunya jadi tulang punggung keluarga. Vegas punya adik laki-laki yang sekarang ini berumur tiga belas tahun. Ibunya masih berjualan kue dan dititipkan di warung-warung, disekolah adiknya dan dikampusnya.
"Vegas kamu makan dulu ya nak," Ucap Bu Meira, ibu bos yang sangat baik padanya.
"Iya bu."
Vegas mengganti pakaiannya terlebih dahulu setelah itu makan. Ia tak mau membuang waktu lebih banyak karena ia sempat melirik kalau saat ini banyak sekali pelanggan.
"Vegas tolong bawa ya ke meja nomor enam."
"Siap kak."
Vegas bergegas membawa pesanan meja nomor enam yang dimana meja itu berisikan sekelompok perempuan. Dari almamater yang dipakai mereka pasti dari universitas Shopia karena jarak kafe ini dengan kampus itu sekitar satu menit saja.
"Makasih kak," Jawab salah satu mereka dengan ramah.
"Silahkan dinikmati."
Vegas lekas kembali kedalam ingin mengantarkan pesanan lain. Ia masih sempat mendengar bisik-bisik dari mereka yang berbagai macam pujian diberikan padanya. Vegas hanya menyunggingkan sedikit senyumnya tak peduli dengan apa yang dibicarakan mereka. Baginya itu sudah biasa.
•••
Devan berkaca meneliti penampilannya, 'Perfect' satu kata yang mendefinisikan dirinya. Siapa yang menolak pesonanya. Wajahnya bule turunan dari papinya, belum lagi rahangnya yang sangat tegas membuat Devan semakin banyak dipuja oleh kaum hawa, akan teapi dari kebanyakan mereka berhenti sebelum jauh mengangumi Devan karena cowok itu sendiri yang kadang berkata kasar dan menolak mentah-mentah jika ada cewek yang berusaha mendekatinya. Baginya satu cewek itu cukup siapa lagi kalau bukan Vanya, setiakan dirinya.
Selama ini Devan selalu membuat list selama satu Minggu. Devan gunakan untuk jalan dengan Vanya dan bertemu dengan Vanya. Kalau ada yang kelewat pasti akan digunakan untuk esoknya. Devan tak mau mengosongkan jadwal barang satu haripun untuk sosok yang sangat ia kagumi dan sangat ia cintai itu. Gimana ya, kadar kecintaan Devan itu sudah tinggi-tinggi banget, melebihi menara Eiffel tak terhitung deh pokoknya.
Sampai dikediaman Vanya Devan langsung disapa hangat oleh satpam dan Supir-supir Vanya. Devan langsung masuk dan disambut oleh Denis yang sedang menonton televisi.
"Waduh sudah pakai baju merah nih," Ucap Denis karena sebenarnya malam ini Indonesia melawan Malaysia.
"Iya dong om, Indonesia didadaku," Devan terkekeh sambil menepuk pelan dada kanannya.
"Dev kok om yang deg-degan ya, takut si botak yang menang."
Yang dimaksudkan Denis ialah Malaysia. Tahu sendiri kan kalau kartun Upin Ipin yang kepalanya botak itu dari Malaysia, makanya Denis mengatakan hal demikian.
"Gak om, Indonesia sopo Jarwo bakal menang kok, tenang aja. Devan lihat ditiktok tuh banyak warga Indonesia yang berdoa sama-sama, keren kan Indonesia kita."
"Semoga aja deh menang."
Vanya yang sejak tadi melihat dari atas di lantai dua menggeurutu. Ia kesal karena Devan kerumahnya lagi. Vanya berusaha untuk menjauh dari cowok itu tapi kenapa ada saja rintangannya.
"Vanya!"
Itu teriakan papanya dari bawah dan tangan papa dan Devan melambai-lambai menyuruhnya untuk turun duduk bersama mereka.
Vanya akhirnya turun juga dan bergabung bersama mereka. Devan sedikit bergeser memberi Vanya duduk didekatnya tapi cewek itu melewatinya. Denis yang paham langsung saja secepat kilat duduk agak jauhan membuat Vanya melotot.
"Papa kenapa sih? Aku mau duduk disana, sana sedikit."
"Gak muat nak, duduk ditengah saja ya."
Tempat yang diduduki Denis masih sedikit tersisa didekatnya namun dengan cerdiknya papanya itu langsung menidurkan kepalanya sehingga mau tidak mau Vanya duduk ditengah-tengah antara Devan dan papanya.
Devan bersorak dalam hati. Keren juga calon mertuanya ini. Camernya ini tahu sekali apa yang diinginkannya. Vanya juga kenapa tak mau duduk didekatnya. Devan merasa ada yang aneh beberapa hari ini pada cewek itu. Atau itu hanya perasaannya saja.
"Gol!"
Vanya menutup telinganya karena pekikan dari kedua laki-laki disampingnya. Untung saja Vanya tidak punya penyakit jantung.
"Upin Ipin kalah Upin Ipin kalah kasian deh Lo!"
"Upin Ipin kalah Upin Ipin kalah kasian deh Lo!"
Lah kenapa permainan bola disangkut pautkan dengan Upin Ipin. Kasihan sekali Upin Ipin, tidak tahu apa-apa tapi netizen Indonesia dan suporternya mengatainya. Memang sih yang jadi lawan Indonesia sekarang itu Malaysia tapi apa tidak kasihan apa pada kartun kesukaannya. Anak-anak indo banyak loh yang sedikit bergantung hidup pada si dua botak dari Malaysia.
"He kalian berisik banget sih!" Tegur Vanesa datang-datang memakai masker di wajahnya. Ia sedang sibuk sendirian didalam kamar sambil menonton YouTube tapi diluar berisik sekali. Bagaimana ia tidak terganggu coba.
"Kamu juga ikutan Vanya?"
Vanya menggeleng cepat. "Enggak ma, mereka berdua aja."
"Alah ngaku aja, dia juga ada ikut-ikutan sayang," Denis ikut menistakan putrinya membuat Vanya menatap papanya dengan tatapan protes.
"Apaansih, kalian tuh yang tega sama Upin Ipin. Menistakan anak dibawah umur padahal mereka gak tahu apa-apa. Mana Upin Ipin yatim piatu lagi, dosa loh papa. Dapat azab botak juga mau?"
Devan menahan tawanya. Kenapa sih calon istrinya ini gemasin sekali. Kalau tidak ada Vanesa dan Denis sudah ia cubit pipi gembul Vanya sampai merah-merah seperti tomat.
"Lo juga bakal kenap azab besok."