Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berada dalam Praktik Kanibalisme
Hidung Aji langsung mengernyit. Baru kali pertama ini, ia melihat ritual memakan daging manusia. Tak hanya Aji, Sari, Wijaya, Nawang Wulan, dan Tumijan, mereka pun sama. Sari malah lebih parah. Ia sampai muntah-muntah.
Sitti, istri dari Binsar, yang punya pesta, tertawa. "Ah, nanti kau juga akan terbiasa, Sari..."
Yang mereka potong-potong itu adalah mayat dari para tawanan perang. Juga, beberapa dari antara mereka adalah yang dinyatakan sebagai penjahat; yang membahayakan para tetua ada pemimpin mereka.
Binsar menyodori Aji sepotong. "Makanlah, biar kau lebih berenergi. Daging manusia ini bisa memberikan vitalitas tersendiri."
Aji takut-takut menerimanya. Ia sungkan untuk menolaknya. Ia paksakan dirinya untuk memakan potongan daging muntah. Hampir saja dimuntahkan. Sampai ia pukul-pukul dadanya, agar tertelan.
Aji memejamkan mata sejenak. Daging itu terasa kenyal, pahit, dan seperti menyisakan jejak hangat yang merayap ke tenggorokannya. Ia hampir tersedak, tapi tetap memaksa dirinya menelan. Binsar menepuk punggungnya pelan, seakan bangga melihat seorang pendatang ikut dalam ritual yang adalah tradisi suci.
“Bagus,” ujar Binsar, matanya menyipit senang. “Tidak semua orang punya keberanian seperti itu.”
Aji hanya mengangguk, meski sebenarnya rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Ia melirik ke Sari yang masih memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi. Wijaya berusaha menenangkan, menepuk punggung istrinya sambil sesekali mengucap, “Tahan, Dik… sebentar lagi selesai.”
Namun dari ekspresi mereka bertiga, semuanya sama. Tak ada yang benar-benar siap melihat ritual itu secara langsung.
Di tengah halaman rumah kayu besar itu, api menyala tinggi. Di sekitarnya para tetua duduk melingkar, melantunkan mantra-mantra dalam bahasa yang tidak Aji pahami. Ada suara tabuh dari gendang kecil, ada suara tiupan seruling yang terdengar patah-patah namun ritmis.
Di tengah lingkaran itu, di atas meja batu, terletak potongan tubuh. Mereka telah dipisah-pisahkan menjadi bagian-bagian yang diletakkan rapi. Tidak ada ekspresi takut atau jijik di wajah orang-orang desa. Hanya ketenangan dan kegembiraan, seolah mereka sedang merayakan panen raya.
Sitti tertawa sambil memotong bagian tangan seseorang. “Dulu aku juga seperti kalian,” katanya sambil menunjuk wajah Sari. “Saat pertama mencicipinya, rasanya ingin mati saja, tapi setelah beberapa kali, kalian akan tahu bahwa rasa ini… ah, begitu khas!”
Sari ingin protes, tapi ia terlalu sibuk menahan mual. Tumijan mencoba berdiri tegak, meski lututnya bergetar. Nawang Wulan menutup mulutnya dengan tangan, menatap api seakan ingin memohon agar semuanya segera berlalu.
Aji menelan ludah. Tubuhnya panas, jantungnya berdetak cepat. Namun bukan hanya karena rasa jijik. Seperti ada yang lain. Ada sesuatu yang berbeda juga. Seperti ada aliran energi yang mulai bekerja di tubuhnya.
Ia mengusap dadanya, merasakan aliran hangat itu bergerak dari tenggorokan, turun ke ulu hati, lalu menjalar perlahan ke seluruh tubuh.
“Apa yang terjadi?” gumamnya lirih.
Binsar menepuk bahunya lagi. “Itu tandanya tubuhmu sudah menerima persembahan pertama. Kau akan lebih kuat dan peka. Dan, bisa melihat apa yang orang kebanyakan tak bisa lihat.”
Melihat, kata itu mengusik.
Aji menoleh, namun Binsar hanya tersenyum samar. Senyum yang membuat bulu kuduknya meremang.
Upacara itu semakin intens. Para tetua mulai berdiri sambil membawa obor. Mereka mengitari meja batu dan menari perlahan, seolah-olah sedang memanggil sesuatu dari balik gelap malam.
Sementara itu, Aji mencoba menjauh sedikit dari kerumunan. Namun langkahnya terhenti ketika Sitti tiba-tiba memanggil namanya.
“Aji, kemarilah.”
Ia ragu. Namun tatapan semua orang tertuju padanya. Jika ia menolak, mungkin itu dianggap penghinaan. Maka ia maju.
“Kau yang baru pertama ikut,” kata Sitti, “harus menyaksikan penutupannya dari dekat.”
Aji berdiri di samping meja batu. Bau amis menusuk hidung. Ia merasa telapak tangannya berkeringat dingin.
Lalu salah satu tetua dengan rambut putih panjang yang terurai, mengangkat sebuah mangkuk dari tanah liat hitam. Isinya cairan merah kental yang beruap.
“Ini darah dari musuh, dari orang jahat, dari mereka yang melawan hukum leluhur,” jelas sang tetua. “Darah ini menjadi pengikat. Menyatu dengan yang makan. Menyatu dengan yang diberi perlindungan.”
Dua orang pemuda mendekat, membawa tongkat bambu yang ujungnya menyala. Mereka menggambar simbol-simbol di tanah. Aji tak mengenal satu pun, namun bentuknya seperti perpaduan antara tulisan kuno Batak dan simbol-simbol yang pernah ia lihat dalam mimpi-mimpinya terdalam.
Tetua itu membasahi jarinya dengan darah di mangkuk, lalu menggoreskannya ke dahi Aji.
“Dengan ini,” kata si tetua, suaranya berat dan bergema, “kau menjadi saksi. Engkau menjadi bagian dari kami. Dan roh penjaga akan mengikuti perjalananmu.”
Aji terkejut. Saat darah itu menyentuh kulit dahinya, ia merasakan sensasi seperti disentuh arus listrik kecil. Namun bukan sakit. Itu lebih seperti getaran spiritual.
Sari menutup mulutnya. Nawang Wulan memegang tangan Sari yang gemetar. Wijaya hanya bisa menatap kosong.
Tumijan berbisik, “Aji… kau yakin aman?”
Aji tak menjawab. Ia sendiri tak tahu.
Tetua itu bergerak ke arah lain, melanjutkan ritualnya. Namun tubuh Aji mulai merasakan perubahan. Ada suara-suara samar. Ada bisikan. Ada bayangan makhluk besar yang berjalan pelan di balik pepohonan gelap. Matanya merah. Napasnya berat. Hanya Aji yang bisa melihatnya.
Aji mundur satu langkah. Jantungnya memukul-mukul dada. “Apa itu?”
Lalu sebuah suara dalam kepalanya terdengar jelas. Entah dari mana asalnya.
“Engkau telah memanggilku.”
Aji memutar tubuh. Namun tidak ada sosok nyata di dekatnya. Hanya suara itu, menembus pikirannya.
“Engkau telah makan bagian dari musuh. Engkau telah menerima darah penanda. Kini aku melihatmu. Dan engkau akan melihatku.”
Aji terpaku. Napasnya memburu. “A-pa… eh, s-siapa kau?”
“Penjaga tanah ini. Penjaga para leluhur. Dan mulai malam ini… penjagamu juga.”
Aji merasa lututnya melemas. Ia mengambil jarak, berharap itu hanya halusinasi. Namun bayangan besar itu muncul lagi, yang lebih jelas dan nyata. Seperti raksasa dengan tubuh diselimuti kabut, wajahnya mirip manusia tapi lebih panjang, lebih kuno.
Tatapannya tidak jahat, tapi intens.
Sitti melihat ekspresi Aji yang berubah. Ia terkekeh pelan. “Ah… ia sudah melihatnya, berarti. Itu cepat sekali.”
Binsar mengangguk puas. “Artinya darah itu cocok dengannya.”
Sari panik. “Melihat apa? Apa yang kalian lakukan pada Aji?!”
Sitti hanya tertawa. “Tidak apa-apa, Sari. Itu tandanya ia diterima oleh roh penjaga kami.”
Aji ingin berkata bahwa ia tidak siap. Bahwa ia tidak ingin melihat apa pun. Namun mulutnya terasa berat. Apalagi bayangan raksasa itu mendekat.
“Engkau memanggilku,” katanya sekali lagi. “Maka aku datang.”
Aji mundur. Namun langkahnya berhenti ketika suara itu mengubah nada menjadi lebih gelap.
“Dan jika engkau pergi… aku akan mengikuti.”
Aji merasakan seluruh tulang di tubuhnya bergetar.
Malam itu, ia menyadari satu hal bahwa ini bukan sekadar ritual makan daging manusia.
Ini adalah pengikat. Pengikat antara manusia dan sesuatu yang jauh lebih tua dan buas. Pastinya itu tidak akan membiarkan dirinya pergi dengan mudah.