Thalia Puspita Hakim, perempuan berusia 26 tahun itu tahu bahwa hidupnya tidak akan tenang saat memutuskan untuk menerima lamaran Bhumi Satya Dirgantara. Thalia bersedia menikah dengan Bhumi untuk melunaskan utang keluarganya. Ia pun tahu, Bhumi menginginkannya hanya karena ingin menuntaskan dendam atas kesalahannya lima tahun yang lalu.
Thalia pun tahu, statusnya sebagai istri Bhumi tak lantas membuat Bhumi menjadikannya satu-satu perempuan di hidup pria itu.
Hubungan mereka nyatanya tak sesederhana tentang dendam. Sebab ada satu rahasia besar yang Thalia sembunyikan rapat-rapat di belakang Bhumi.
Akankah keduanya bisa hidup bahagia bersama? Atau, justru akhirnya memilih bahagia dengan jalan hidup masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ADA YANG MEMANGGILNYA MAMA
Mobil Julian berhenti tepat di depan rumah Bhumi. Thalia hendak keluar. Namun, Julian mencekal pergelangan tangannya. Wajah pria itu menyiratkan kekhawatiran. Thalia tersenyum. Ia mengerti mengapa Julian cemas. Akan tetapi, ia pun tahu apa yang harus ia lakukan.
Sejak awal tujuannya hanya satu. Melindungi orang-orang terdekatnya.
"Santai, Jul. Biasanya jam segini Bhumi tidak ada di rumah. Sudah jam kantor."
Julian menghela napasnya. Berharap kelegaan segera menghampiri hatinya. Namun, bukannya tenang, kecemasan itu semakin terasa.
Sejak Thalia memutuskan untuk kembali masuk ke hidup Bhumi, sejak itulah Julian paham bahwa hidup wanita ini tidak baik-baik saja. Ketenangan di wajah cantik itu hanya topeng.
"Ya sudah. Aku akan pergi begitu kamu masuk."
Thalia mengangguk. "Terima kasih."
Julian mengangguk pula. Tak lama setelah itu, barulah Thalia segera turun dari mobil. Langkahnya begitu mantap. Wanita itu bahkan tak lupa melambaikan tangan pada Julian yang masih berada di dalam mobil.
Thalia segera masuk setelah itu. Saat persis pintu ditutup, ia memejamkan matanya sebentar, lalu menarik napas dalam. Saat sudah lebih tenang, barulah Thalia berbalik.
Bersamaan dengan itu, muncul juga iblis tampan pemilik rumah itu dari arah tangga.
Tampaknya ia sengaja menunggu kedatangan Thalia.
"Terlalu sibuk melayani pria berkedok sahabat, heh?! Sampai tidak pulang semalaman." Pria itu berjalan mantap menuju Thalia.
Wajahnya kaku, menyimpan kemarahan yang siap meledak.
"Kenapa? Bukannya kamu juga sibuk dengan selingkuhanmu itu?" balas Thalia sengit.
Banyu terkekeh-senyum sinis. Ia berjalan sembari membuka kancing lengan kemejanya. Bahkan tanpa ragu ia gulung hingga ke siku. Tenang dan menakutkan.
Dua kancing atas yang sudah rapi itu juga ia buka kembali.
Meskipun tersenyum, mata Banyu terlihat menakutkan. Kalau bukan karena sudah terbiasa melihat ekspresi menyeramkan itu, Thalia barangkali sudah gemetar karena takut.
"Adelia bukan selingkuhan saya. Jaga bicaramu!"
Thalia mengulas senyum tipis. "Kenyataannya dia memang lebih terlihat seperti selingkuhan. Bisa-bisanya ia bertahan dengan pria sepertimu tanpa kepastian."
Tangan Bhumi mencengkram rahang Thalia. Wanita itu meringis sebentar. Aura dominan Bhumi begitu terasa apalagi saat jaraknya sedekat ini.
"Dia bahkan lebih baik dari kamu, Jalang Kecil," desis Bhumi tepat di telinga Thalia. Lalu ia menghirup aroma manis tubuh Thalia. Matanya terpejam sesaat.
Sialan! Aroma vanila dengan peach ini membuat gairahnya muncul.
Kedua tangan Thalia terkepal di kedua sisi dressnya. Sekuat tenaga ia menahan sakit karena cengkeraman Bhumi semakin menekan rahangnya.
"Berapa kali pelepasan kalian lewati semalam, hmmh?" bisik pelan Bhumi kemudian dengan kabut gairahnya mencium daun telinga Thalia.
"Aagh....!" Sialan! Thalia merutuki mulutnya yang tanpa sengaja mengeluarkan desahan karena sentuhan bibir Bhumi di telinganya-titik sensitifnya.
Bhumi terkekeh. Ia kemudian menatap netra Thalia. Begitu dekat hingga kening mereka saling menempel. Satu tangannya menahan pinggang ramping Thalia, sementara tangan yang satunya menelusuri wajah cantik Thalia. Dari pipi, rahang hingga ke leher, tulang selangka dan bahu Thalia yang terbuka.
"Pria berkedok sahabatmu itu tampaknya tidak bisa memuaskan kamu, ya? Lihat saja, baru saya sentuh sedikit saja, kamu sudah mengeluarkan desahan."
Thalia memalingkan wajahnya. Rasa lelah tubuhnya masih sangat terasa. Apalagi semalam ia bergadang menemani Jemia di rumah sakit. Meskipun ada Julian yang membantu, tetapi layaknya anak yang lain, Jemia tidak ingin jauh dari Thalia sama sekali.
Dagu Thalia segera ditarik Bhumi. Netra obsidian pria itu menyelami netra hazel milik Thalia sekali lagi. Ada gurat kelelahan di sana. Bhumi membenci kenyataan Thalia yang rela lelah-lelah seperti ini hanya demi pria lain.
Tidak, ia sama sekali tidak cemburu. Namun, saat ini Thalia adalah miliknya. Ia sudah membayar banyak demi mendapatkan wanita keras kepala di depannya ini.
Barang miliknya tidak akan ia bagi dengan siapapun.
Mata Bhumi lalu beralih pada bibir ranum Thalia. Benda kenyal itu menggodanya.
"Puaskan saya pagi ini, Jalang Kecil," desis Bhumi.
Thalia membelalak. Tadinya ia mengira, ia akan dihadiahi dengan cambukan atau hukuman fisik lainnya, kecuali berhubungan badan. Memuaskan pria ini sama saja menambah remuk tubuhnya.
"Nikmati hukumanmu, Sayang." Bhumi langsung mengangkat tubuh mungil itu ke pundaknya. Tanpa peduli teriakan Thalia yang menggema sepanjang jalan menuju kamar.
...***...
"Hanya PT Mitra Sejahtera yang menolak penandatanganan, Pak. Padahal proyek sudah siap dilakukan."
Suasana di meeting room sore itu cukup tegang. Namun, Bhumi tidak setegang lainnya. Ia masih diam, menyimak dengan seksama saran dari beberapa penanggung jawab proyek perusahaan mereka.
"Apa perlu kita ancam mereka seperti perusahaan lain? Saya sudah mengumpulkan data-data yang bisa kita gunakan sebagai ancaman."
"Nah, saya sependapat dengan Pak Indra, Pak Bhumi. Khawatirnya mereka akan semakin menunda dan proyek kita jadi gagal."
"Tidak. Kita coba bujuk mereka lagi," tegas Banyu. "Berikan waktu satu minggu untuk mereka berpikir. Kalau masih menolak, baru pakai plan B."
Semua yang hadir rapat mengangguk. Jika Bhumi sudah berkata seperti itu, maka mereka tidak punya alasan untuk menolak.
"Rapat cukup sampai di sini. Terima kasih atas waktu kalian." Setelah itu, Bhumi keluar lebih dulu.
Langkah pria matang itu begitu mantap. Tatapannya dingin dan tegas. Dari sekedar penampilannya saja, orang sudah menilai bagaimana sepak terjang Bhumi dalam berbisnis. Aura kecerdasaan dan kewibawaannya begitu terasa. Tidak ada yang berani membalas tatapan tajamnya.
Kecuali satu orang, Thalia Puspita Hakim.
Jalang kecil yang lima tahun lalu berani mengusik ketenangannya. Menjadikannya sebagai alat balas dendam pada kakak tirinya sendiri, Adelia Nayyara.
Thalia, tiba-tiba saja Bhumi jadi teringat bahwa ia lupa menanyakan keadaan jalang kecil itu setelah ia gempur tadi pagi.
Bhumi segera masuk ke ruangannya, diikuti oleh Aji di belakangnya.
"Kamu sudah memberikan hadiah itu pada Thalia, Ji?"
Wajah Aji berubah tegang. Mata Bhumi dengan cepat mengenali ada yang tidak beres dari asisten pribadinya itu.
"Aji, saya akan sulit memaafkan kamu kalau sampai lupa memberikan itu ke Thalia. Dia ulang tahun semalam."
Lagi-lagi, Bhumi teringat dengan Thalia yang tidak menghiraukan pesannya kemarin. Berujung pada ketidakmunculan wanita itu meski Bhumi sudah berusaha mengancam Thalia.
Aji menggeleng. "Ampun, Pak. Hadiahnya sudah saya berikan ke Nona Thalia. Hanya saja..."
Mata Bhumi memicing curiga, menunggu Aji melanjutkan kalimatnya. Hingga akhirnya Aji mengangkat wajah dan menatapnya dengan penuh penyesalan.
"Nona Thalia menolak itu, Pak. Dia justru memberikannya pada saya. Katanya itu hadiah untuk Rena."
"Rena, adik kamu?" tanya Bhumi dan Aji mengangguk cepat. "Dia kenal Rena?"
"Mereka pernah sekali bertemu. Singkat. Saya saja kaget kalau ternyata Nona Thalia masih mengingat itu."
Bhumi tidak terlalu terkejut dengan fakta itu. Meski menyakitkan, hanya saja ia masih belum terbiasa dengan sifat dermawan jalang kecil miliknya itu.
"Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau dia ingin membeli perhiasan itu? Kenapa tiba-tiba ia menolak? Atau kamu membohongi saya?"
"Tidak, Pak. Nona Thalia itu mengatakannya sendiri pada Hanum saat mereka melihat katalog perhiasan."
Bhumi menyandarkan tubuhnya di kursi pribadinya. Diam-diam, tanpa sadar Bhumi tersenyum. Jalang kecil itu terlalu unik. Bisa-bisanya ia memberikan set perhiasan seharga 1 Miliyar itu dengan cuma-cuma pada orang yang baru ia temui satu kali.
"Kamu sudah menanyakan kabarnya pada Hanum?" tanya Bhumi hampir lupa menanyakan itu pada Aji.
Hanum-asisten rumah tangga yang merangkap sebagai teman Thalia di rumah itu adalah mata-mata yang siap memberi info apapun tentang Thalia.
Tentu saja atas perintah Bhumi.
"Nona Thalia sudah bangun beberapa menit yang lalu, Pak. Hanya saja dia terlihat sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Sibuk menelpon seseorang. Terkadang ia senyum, tetapi setelah itu ia kembali murung."
"Murung?" Kedua alis Bhumi menukik. Ia tidak tahu apa yang membuat Thalia bersedih. Seingat Bhumi meskipun perlakuan dirinya pada Thalia kurang baik, jalang kecil itu tidak pernah menunjukkan kesedihannya.
"Ada satu hal lagi, Pak!" seru Aji antusias. Namun, raut bingung juga nampak di wajahnya.
Bhumi menegakkan duduknya, menatap Aji tanpa ekspresi. "Apa itu?"
"Hanum mendengar suara anak kecil yang memanggil Nona Thalia dengan sebutan Mama."
*
*
*
Mohon dukungannya ya, Gaes. Jangan lupa kasih rating bagus ya. Terima kasih :)
selalu menghina Thalia dengan menyebut JALANG, tapi tetep doyan tubuh Thalia, sampai fitnah punya anak hasil hubungan dengan Julian, giliran udah tau kl anak itu anak kandungnya sok pengin di akui ayah.
preet, bergaya mau mengumumkan pernikahan, Kemarin " otaknya ngelayap kemana aja Broo.
Yuu mampir, nyesel dh kalo gak baca..
maksa bgt yaa, tapi emang ceritanya bagus ko.. diksinya bagus, emosi alur sesuai porsinya, gak lebay gak menye-menye...
enteng sekali pengakuan anda Tuan,
amnesia kah apa yg kau lakukan sebelum tau tentang Jemia..??
Masiih ingat gak kata ja lang yg sering kau sematkan untuk Thalia..?? dan dg tanpa beban setitikpun bilang Thalia dan Jemia hal yg "paling berharga" dihidupmu.. 😏
sabarrrr
kurang ka,
coba gimana rasanya ntar pas ketemu langsung, Jemia menolak km sebagai Papanya.. atau reaksimu saat Jemia malah berdoa untuk Papa yg katanya udah di Surga... 🤭