Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Pengusiran-2
Andi Lalo berjalan menuju kamar sang menantu, sedangkan Enre sang puteranya masih bekerja diperkebunan bersama suami Anni.
Biasanya pukul sebelas malam mereka baru tiba dirumah, dan ini sudah memperlihatkan pukul sebelas malam, itu tandanya mereka akan segera pulang.
"Daeng, Daeng, buka pintunya!" Andi Lalo mengetuk pintu dengan keras, ia merasakan kebencian yang cukup dalam pada sang menantu, entah mengapa dari awal ia tak menyukai Daeng Cenning.
Tak ada jawaban, sunyi, dan juga hening.
Hanya saja, ia mengendus aroma busuk dan anyir darah itu berasal dari kamar sang menantu.
Satu sosok bayangan hitam menyerupai seekor kucing masuk ke dalam tubuh wanita yang sedang tidur berbaring.
"Daeng! Daeng Cenning! Buka pintunya!" kesabaran Andi Lalo sudah sangat tidak dapat dikendalikan, ia sangat penuh amarah.
Ia kembali mengetuk pintu dengan keras, lebih tepatnya menggedor.
Saat bersamaan, Andi Enre dan juga Bombang baru saja pulang bekerja. Mendengar keributan sang ibunda yang berada tepat didepan kamarnya.
Tak berselang lama, Andi Anni dan juga Ambo Uleng keluar dari kamar dengan wajah pucat dan tampaknya Andi Anni mengalami hal yang sangat menakutkan.
"Ammak, ada apa malam ribut-ribut'e?" tanya pria itu sembari membawa sekarung tepung sagu yang baru saja mereka panen.
Begitu juga dengan Bombang ia meletakkan karung goni berisi lima puluh kilo tepung sagu basah.
"Enre! Coba kamu lihat istrimu! Sepertinya ia sedang berubah menjadi parakang!" ucap Andi Lalo dengan sinis.
"Ammak, kenapa mengatakan hal seperti itu tentang istri Enre?! Ini fitnah!" ucap pria itu tak senang.
Bagaimana mungkin ia dapat menerima hinaan seperti itu yang ditujukan pada istrinya. Ia tahu jika ibunya tak menyukai Daeng Cenning, meskipun keturunan bangsawan, tapi ia kerunan kedelapan, sebab harta kekayaan habis pada keturunan ketujuh, maka sebab itu sang istri tidak memiliki kekayaan harta benda.
"Ammai bisa membencinya karena miskin, tetapi jangan memfitnah Daeng Cenning sebagai wanita jadian-jadian Parakang!" Andi Enre menegaskan ucapannya.
"Anni melihat parakang diatas rabung rumah! Siapa lagi kalau bukan istrimu, sebab aroma busuk dan juga aroma anyir darah kini berasal.dari kamarnya!" Andi Lola bersitegang dengan pendapatnya.
"Cukup, Ammak! Jangan lagi terus memfitnah!" Andi Enre semakin berang.
"Abang! Kamu itu sudah dibutakan oleh cinta! Jangan hanya karena cantik rupa, kamu sampai tidak bisa menerima kenyataan dan juga tidak peka!" Andi Anni menyela.
"Cukup, Anni! Cukup sudah kalian memfitnah Daeng Cenning!" pria itu tak ingin lagi berdebat.
"Kamu yang keras kepala! Kamu ceraikan dia malam ini juga, jika tidak, maka kamu keluar dari rumah ini!" Andi Lalo mengancam. Sebab ia merasa jika membiarkan Daeng Cenning tinggal bersama mereka, maka keselamatan mereka yang menjadi taruhannya.
"Oh, begitu?! Baiklah! Aku akan memilih untuk pergi!" Andi Enre mengetuk pintu, dan kali ini pintu langsung terbuka, dan disana berdiri wanita yang sangat cantik, dan menatapnya dengan senyum manis yang membuat hati Enre meleleh seketika.
Akan tetapi, tidak bagi Andi Lalo dan juga Andi Anni, sebab mereka merasa jika Daeng Cenning bukan manusia biasa yang dapat hidup serumah dengan mereka.
"Cepat Enre, kau ceraikan dia sekarang!'" Andi Lalo kembaki mengingatkan puteranya. Entah mengapa ia bergidik ngeri melihat senyum menantunya.
"Ammak, aku tidak akan menceraikan Daeng Cenning, aku akan keluar dari rumah ini, malam ini juga!" Andi Enre menarik tangan istrinya keluar dari kamar, dan pergi dengan amarah yang sangat besar.
"Ingat Enre! Kamu sudah membantah Ammak, maka kelak kamu akan menyesalinya, dan kamu tidak akan menerima harta dari Amamak dan Ambo!" Andi Lalo mengancam puternya dan menekankan nada bicaranya.
"Terserah, Ammak!" ucap Andi Enre tanpa menggubris ucapan ibunya, dan ia terua membawa Daeng Cenning pergi, kemana saja, yang jauh, asalkan mereka dapat hidup dengan aman dan tentram.
Daeng Cenning menoleh sekilas kearah perut Andi Anni, dan hal itu semakin membuat wanita yang sedang hamil tersebut bergidik ngeri.
Meskipun ia tidak tahu harus menuju kemana tengah malam seperti ini, tetapi ia ingat akan sungai Saddang, dimana sungai mengandung banya material yang diperebutkan oleh para investor karena mengandung biji emas, bauksit, dan logam lainnya.
Dengan sepeda motor yang masih butut, ia membonceng sang istri pergi meninggalkan rumah kedua orang tuanya, dalam tatapan Ambo Uleng yang sanga sedih, sebab bagaimanapun, Andi Enre adalah puteranya.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhir ya mereka tiba ditempat tujuan saat hari mulai terang.
Ia mencari rumah yang termurah, dan bertanya pada warga yang ada disekitarnya hingga akhirnya menemukan rumah berdinding papan dan paling murah diantara rumah lainnya, sebab warga sekitar adalah penambang emas dan pasir, sehingga rumah mereka besar dan mewah.
"Sayang, kamu tidak apa-apa tinggal dirumah ini, kan? Kamu gak takut kalau sendirian dirumah?" Andi Enre berusaha berkata lembut, sebab ia secinta itu dengan sang istri.
Daeng Cenning hanya menggelengkan kepalanya. Ua kembali tersenyum, dan sesaat gelisah, sebab ada sesuatu hal yang belum terselesaikan, ia lapar dan juga haus, tetapi ini bukan tentang makan dan minum, ada sesuatu yang lebih besar.
Keduanya menempati rumah tersebut, dan Andi Enre memberikan beberapa lembar uang untuk keperluan mereka makan dan bertahan beberapa hari sembari ia mencari pekerjaan.
Daeng Cenning mengambil uang tersebut, lalu keluar dari rumah untuk mencari bahan makanan diwarung.
Ia berjalan kaki menyusuri jalanan yang sudah beraspal, rumah-rumah warga tampak berdiri sangat mewah dan mereka tampaknya orang-orang kaya.
Meskipun begitu, masih banyak terdapat hutan yang rimbun, dan membuat mata Daeng Cenning tak hentinya terus mengederkan kesegala arah, ia semakin gelisah, seba rasa haus akan sesuatu itu semakin kuat.
Hingga ia berhenti didepan sebuah rumah sederhana, tepat dibelakangnya hutan rimbun, dan seorang anak laki-laki sedang asyik bermain sendirian diluaran.
Seketika matanya berbinar, air liurnya tak dapat ia tahan meleleh keluar, seolah sedang menatap makanan lezat yang sangat nikmat.
Tiiiiin
Suara klakson dari mobil truck pengangkut pasir membuyarkan lamunannya, dan hal itu membuat Daeng Cenning tersentak kaget, dan ia menepi dengan gerakan yang cepat, dan mobil itu melintasinya dengan makian dari sang sopir yang merasa kesal akan tindakan ceroboh Daeng Cenning.
Saat mobil truck telah melintasinya, ia tak lagi melihat bocah laki-laki tersebut, sepertinya suara klakson mobil yang sangat kencang membuat ibunya kaget dan membawanya masuk ke dalam rumah.
Dalam wujud aslinya, wajahnya menyerupai kucing, tapi seperti biasa, AI gak bisa diajak kompromi, dan bayangkan saja mukanya mirip kucing hitam ya readers..
~Jika ayah bergelar Ambo, dan ibu bergelar Andi, maka anak-anaknya bergelar Andi, sebab Andi adalah gelar bangsawan yang lebih tinggi.