Setting Latar 1970
Demi menebus hutang ayahnya, Asha menikah dengan putra kedua Juragan Karto, Adam. Pria yang hanya pernah sekali dua kali dia lihat.
Ia berharap cinta bisa tumbuh setelah akad, tapi harapan itu hancur saat tahu hati Adam telah dimiliki Juwita — kakak iparnya sendiri.
Di rumah itu, cinta dalam hati bersembunyi di balik sopan santun keluarga.
Asha ingin mempertahankan pernikahannya, sementara Juwita tampak seperti ingin menjadi ratu satu-satunya dikediaman itu.
Saat cinta dan harga diri dipertaruhkan, siapa yang akan tersisa tanpa luka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sayang? 04
"Asha dan Adam, setelah makan, ikut Bapak ke ruangan kerja Bapak."
"Baik, Pak."
Asha dan Adam menjawab secara bersamaan. Mereka tidak tahu mengapa tiba-tiba dipanggil seperti ini. Terlebih Adam, selama ini dia tidak pernah terlibat sesuatu yang serius dengan sang ayah. Sehingga dipanggilnya dia secara khusus ke ruang kerja Juragan Karto membuatnya merasa heran, meski dia tidak sendiri karena bersama dengan Asha.
Bukan hanya Adam yang merasa heran, Bimo dan Juwita pun demikian. Selama ini Adam hanya suka bermain-main saja sehingga urusan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh Juragan Karto dibantu diurus oleh Bimo. Sebagai anak pertama memang itu sudah menjadi tugasnya.
Namun, tiba-tiba Adam dipanggil, itu membuat Bimo menjadi memiliki pemikiran yang berlebihan.
"Ada apa, Pak? Ko tumben sekali memanggil Adam secara khusus?" Karena rasa penasarannya, Bimo akhirnya melontarkan pertanyaan tersebut.
"Bukan hal yang perlu kamu repotkan, Bim. Setelah makan, pergilah ke perkebunan, awasi panen kelapa kali ini."
"Baik, Pak."
Bimo terdiam, dia melanjutkan sarapannya. Sedangkan Juwita, dia hanya melirik sekilas ke arah ayah mertuanya itu. Ada sebuah hal yang tidak bisa dijelaskan olehnya tentang tatapan Juragan Karto kepada Asha. Seolah jadinya Asha menjadi menantu di keluarga ini memang sangat diinginkan oleh keluarga yang terbilang paling kaya di wilayah ini.
Setelah sarapan usai, Asha dan Adam menuju ke ruangan milik Juragan Karto. Tempat tersebut tidak luas tapi juga tidak sempit, jika dibandingkan dengan kamar tidur di rumah Asha, tentu lebih lebar ini.
Perabotan yang ada di dalamnya semua terbuat dari kayu jati. Ada sebuah lukisan besar yang tergantung di dinding, dan di meja itu juga terhadap sebuah telepon rumah. Itu adalah benda yang sama sekali belum pernah Asha lihat sebelumnya.
Dari hal ini, Asha benar-benar bisa menilai bahwa keluarga suaminya sungguh sangat kaya.
"Kalian duduklah,"ucap Juragan Karto. Dia meminta Adam dan Asha duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Sepertinya tempat duduk itu memang difungsikan untuk menerima tamu yang membahas perihal pekerjaan.
"Sha, aku dengar dari Budi kalau kamu suka membantu pembukuannya ketika ayahmu itu masih sehat. Bukan hanya itu, katanya kamu pun juga membantu mengolah tanah pertanian milik keluarga kalian."
Juragan Karto membuka pembicaraan dengan pertanyaan seputar kegiatan yang dilakukan Asha sebelum menjadi menantu di rumah ini.
"Benar Pak, sebelum kami menjual semuanya kepada Bapak, saya memang sering membantu bapak saya. Bapak memang bisa hitung-hitungan tapi karena bapak cuma lulusan SR (sekolah Rakyat) jadi kemampuan menulisnya kurang sehingga saya yang diminta untuk membuat laporannya."
Mendengar ucapan Asha, Adam tanpa sadar langsung menoleh ke arah istrinya tersebut. Dia tidak menyangka bahwa Asha bisa melakukan hal tersebut. Ia pikir Asha hanya gadis desa yang tidak tahu apa-apa.
"Begitu ya, kalau begitu apa kamu bisa membantu Bapak untuk mengurus pembukuan? Aku akan menyerahkan tanah milik bapakmu ke kamu dan Adam. Tapi Adam harus menyelesaikan kuliahnya dulu, dan selama 2 tahun ini kamu bantu Bapak dulu. Bagaimana?"
Degh!
Asha dan Adam terkejut. Adam terkejut karena akan diberikan tanah milik keluarga Asha dan begitu juga dengan Asha. Tapi Asha juga terkejut ketika diminta untuk membantu pembukuan rumah ini.
"Tapi Pak, kemampuan saya kan Bapak belum tahu. Saya tidak yakin kalau saya bisa."
Asha tentu tidak bisa langsung menerima apa yang diperintahkan oleh Juragan Karto apalagi di sini ada Juwita, menantu yang datang lebih dulu. Ia tidak ingin memiliki keributan terhadap sesama ipar.
"Di coba saja dulu Sha, aku ingin lihat. Dan kamu Dam, mulai minggu depan kamu sudah mulai masuk perkuliahan semester baru kan. Belajarlah yang rajin sekarang kamu sudah jadi suami, itu tandanya kamu sudah menjadi kepala keluarga dari keluarga kecil mu sendiri. Jadi bersikaplah dewasa dan kurangi main-main mu."
Adam hanya diam, dia tidak bereaksi apapun. Yang ada dia pria itu merasa kesal sekarang. Menikah bukanlah keinginannya. Pernikahan ini bukan kemauannya tapi paksaan dari ayahnya, lalu sekarang ayahnya itu bicara dengan enteng kepadanya untuk bersikap dewasa dan bertanggungjawab. Adam merasa sangat lucu dengan ucapan tersebut.
Adam dengan sikap tak acuhnya itu bahkan langsung berdiri dan pergi. Asha yang tahu kalau Adam tengah kesal pun ikut berdiri dan pamit undur diri.
"Sha, Bapak harap kamu maklum dengan sikap Adam,"ucap Juragan Karto sebelum Asha benar-benar keluar dari ruangan tersebut.
"Baik, Pak,"jawab Asha singkat. Jika boleh jujur, dia jelas tidak ingin maklum. Dia tidak mau menerima sikap Adam yang menurutnya kekanak-kanakan itu.
Akan tetapi, posisinya sekarang ini tidak bisa membuatnya berbuat banyak selain menurut dengan peraturan di rumah ini.
"Sha, sudah yang bicara sama Bapak? Lho Adam mana?"
Juwita muncul entah dari mana, tapi yang pasti wanita itu sudah ada di depan Asha saat ini.
"Tidak tahu, Mbak. Kayaknya tadi dia sedang merasa kesal,"jawab Asha. Dia ingin akrab dengan Juwita, jadi jika bicara seperti itu ia merasa tidak akan jadi masalah. Terlebih Juwita jauh lebih mengenal Adam. Siapa tahu Asha bisa mengetahui bagaimana cara menghadapi Adam di saat seperti ini.
"Oh begitu, sudah biarkan saja. Dia memang setiap selesai bicara dengan Bapak pasti begitu. Kamu lanjutkan saja apa yang mau kamu lakukan. Adam jika sedang begini cukup dibiarkan sendiri."
Asha mengangguk paham dengan apa yang dikatakan Juwita. Dia percaya saja dengan ucapan kakak iparnya tersebut.
"Ya sudah Mbak, aku ke kamar dulu ya mau membereskan barangku yang masih ada di tas."
Eum
Juwita mengangguk, dia melihat Asha pergi ke kamar. Dan setelah iparnya itu masuk sepenuhnya ke dalam kamar, Juwita ikut pergi juga.
Dia berjalan menuju ke dapur, membawa sesuatu dari sana dan kemudian berjalan lagi menuju ke taman belakang.
"Nah, pasti ada di sini kan?" ucapnya dengan tersenyum senang. Juwita lalu menyodorkan sebuah kaleng minuman dingin yang diambilnya tadi dari dapur.
"Kok Mbak di sini, kenapa tidak ikut Mas Bimo. Biasanya Mbak selalu ikut setiap kali Mas Bimo pergi."
"Hari ini aku mau di rumah saja. Aku takut kamu bosan, Dam. Kamu dan Asha menikah karena perjodohan. Aku khawatir kalau Asha belum tahu tentang kamu jadi tidak bisa menghibur kamu ketika kesal seperti ini. Kamu pasti kesal kan karena baru saja bicara dengan Bapak?"
Adam menganggukkan kepalanya. Dia lalu menatap Juwita dengan lekat. Dadanya kembali berdebar, padahal selama ini dia sudah sangat berusaha untuk tidak merasa demikian.
Dengan memanggil Juwita dengan panggilan Mbak, Adam berharap bahwa dirinya bisa melupakan perasaannya terhadap wanita itu.
"Kenapa sih Ta, kenapa cuma kamu yang bisa mengerti aku?"
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Adam. Dengan tatapan yang sendu dan wajah yang sedih, hati Adam terasa sangat sakit sekarang.
"Karena aku menyayangimu, Dam."
TBC
Dam.. Asha ingin kamu menyadari rasamu dulu ya...