Sebuah kota yang ditimpa tragedi. Seseorang baru saja membakar habis gedung pengadilan di Withechaple, Inggris. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Seorang detektif hebat ditugaskan menangkap sang pencuri Lupin. Waktu yang dimiliki Wang yi semakin terbuang sia-sia. Semakin ia merasa bisa menangkap pencuri Lupin, semakin ia terjebak dalam permainan menyebalkan yang dibuat oleh musuh. Beruntungnya gadis cantik bernama Freya, yang bekerja menyajikan bir untuk para polisi di kedai setempat selalu memberinya motifasi yang unik.
Selama beberapa Minggu, Wang yi menyusun rencana untuk menangkap sang Lupin. Hingga sebuah tugas melindungi mahkota Atlantis tiba di kota itu. Wang yi akhirnya berhasil mengetahui siapa sosok sang Lupin. Namun, ketika sosok itu menunjukan wajahnya, sebuah rahasia gelap ikut terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4 : Rutin Yang Membakar
Freya menurunkan gentong bir dengan susah payah ke posisi miring. Gentong itu berat, membuat persendiannya tertarik dan membuat lehernya kaku. Setelah jaraknya tinggal beberapa senti-meter, ia menjatuhkannya, hanya karena ia suka mendengar bunyinya ketika gentong itu membentur lantai semen. Gudang tanpa jendela di bagian belakang kedai itu berbau apak. Ruang sempit itu dipenuhi gentong bir, lemari beku berisi daging dan kentang beku, dan beberapa kotak berisi gelas-gelas bir yang berdebu.
Ia membungkuk, bokongnya terangkat tinggi ke udara, lalu menggulirkan gentong itu melewati sudut sempit ke koridor belakang dengan perlahan. Ia terlihat konyol. Seandainya saja cuaca tidak begitu panas, ia pasti sudah mengenakan celana panjang dan kaus berkerah tinggi, dan tidak akan pernah mencukur bulu kakinya Kulit kakinya mulai melepuh. Setiap kali ia melangkah, tumit kakinya menggesek bahan kasar sepatunya, membuat kulitnya terkelupas selapis demi selapis. Ia mulai meringis ketika menendang pelan gentong itu menyusuri koridor. Ia melewati noda di karpet akibat bir yang dimuntahkan Mark Jones dan retakan di dinding yang sepertinya semakin besar setiap harinya. Ia mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa kadang-kadang ia tidak benar-benar membenci pekerjaan ini.
Menghabiskan malam-malam sepi sambil bergurau dengan Zhou Shiyu bisa terasa menyenangkan. Namun, saat ini ia merasa ingin menjambak rambutnya sendiri. Setiap malam, selama bertahun-tahun, tidak ada yang berbeda, satu sif sama persis dengan sif berikutnya. Satu-satunya perbedaan adalah para pelanggan mereka yang bertambah tua.
Rasa kebas yang dirasakannya tadi sudah memudar. Ia belum memberitahu Zhou Shiyu, ia tidak mampu melakukannya. Jika ia melakukannya, semuanya akan terasa nyata. Zhou Shiyu akan bertanya apa yang akan dilakukannya sekarang, di mana ia akan tinggal, dan Freya tidak punya jawabannya. Jadi, ia pun memaksa tubuhnya terus bergerak dan berusaha tetap bernapas.
Freya menutup pintu dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh wajah dengan air dingin. Ketika ia kembali ke dapur, Shani sedang memasak burger di atas pemanggang. Burger itu mendesis dan menguarkan asap. Hidung Freya gatal gara-gara bau asap yang tajam, tetapi ia diam saja. Ia tidak akan pernah mengajari Shani cara memasak yang benar, dan bukan karena Shani adalah atasannya. Tidak seorang pun akan memberitahu Shani walaupun daging mereka sehitam dan sekeras ban mobil, dan itu sering sekali terjadi. Walaupun usianya sudah menjelang enam puluh tahun, tidak seorang pun berani melawannya.
Freya masih ingat satu-satunya kejadian ketika seseorang menghina steak Shani. Seorang teman Frank yang tolol menuntut uangnya dikembalikan. Ia berkata kepada Shani bahwa kalau Shani ingin memasak makanan untuk orang-orang liar, sebaiknya ia kembali ke alam liar. Pria itu tidak pernah mendapatkan uangnya kembali, dan ia tidak pernah diizinkan menginjakan kaki di bar lagi, walaupun Shani tidak pernah membutuhkan bantuan dalam hal ini. Memikirkan pria itu membuat darah Freya mendidih. Frank beruntung. Ia meminta maaf berulang kali pada Shani, dan Freya tahu Frank bersungguh-sungguh, jadi akhirnya Frank diizinkan kembali ke sini.
Sudut gentong bir membentur dinding, membuat foto berbingkai yang tergantung di sana jatuh ke lantai. "Sialan." Freya tidak memusatkan perhatian. Ia tidak mampu menghadapi ini. Sekarang ada retakan besar di kaca yang me lindungi foto itu. Freya menggantung foto itu kembali ke dinding.
Ia kemudian menghampiri Shani, "Bolehkah aku keluar sebentar?" Tanya Freya.
"Tentu. Dan, tolong belikan beberapa barang. Kau tau, stok kita hampir habis. Pengiriman barang utama masih 2 hari lagi, aku benci menunggu terlalu lama." Ujar Shani.
"Ya, aku tidak akan lupa." Balas Freya. Ia berjalan keluar dari bar dengan tenang.
Freya melangkah keluar dari pintu bar yang berat, membiarkan engsel berderit menutup di belakangnya. Udara kota langsung menyergap, lebih segar dari bau apak gudang, tapi tetap menyisakan jejak debu jalanan dan asap rokok yang mengambang dari trotoar. Lampu neon di atas pintu bar berkelip-kelip, seolah ikut kelelahan, sama seperti dirinya.
Ia menarik napas panjang. Rasa letih menempel di otot-ototnya, tapi yang lebih berat adalah pikiran yang tidak kunjung reda. Gentong, daging gosong Shani, pelanggan mabuk—semua itu rutin, aman, dan membosankan. Yang menakutkan justru hal yang tidak ia ceritakan pada siapa pun, rasa kebas itu. Sesuatu yang bukan sekadar kelelahan kerja, melainkan tanda bahwa tubuhnya mulai berbeda.
Freya berjalan menyusuri trotoar. Sepatu yang sudah usang membuat tumitnya semakin perih. Ia memasukkan kedua tangan ke saku, mencoba mengabaikan rasa perih itu sambil memikirkan daftar belanja Shani. Beberapa bungkus rokok murah, roti basi dari toko serba ada, mungkin juga saus tomat yang selalu habis lebih cepat dari perkiraan. Hal-hal kecil, sepele, tapi cukup berguna.
...***...
Museum kota itu gelap dan sepi. Hanya garis cahaya pucat dari lampu jalan yang masuk melalui jendela tinggi, memantul di kaca pecah dan lantai marmer yang berdebu. Wang Yi berjalan pelan, langkah sepatunya terdengar jelas di ruang kosong itu. Asap rokok yang menempel di mantelnya masih terasa samar, meski ia sudah lama mematikannya sebelum masuk. Ia berhenti di depan etalase kaca yang sudah dirusak. Retakan menyebar ke segala arah, seperti sarang laba-laba beku. Kotak beludru di dalamnya kosong. Hanya ada bekas tipis, lingkaran debu yang membentuk siluet tempat sebuah kalung pernah dipajang.
Kalung itu disebut 'Kalung Seraphim' buatan pengrajin perhiasan Italia abad ke-18, dikenal karena safir biru yang cantik. Wang Yi berjongkok, jemarinya menyentuh lantai. Debu dan pecahan kaca berserakan, tapi di sela-selanya ada sesuatu yang lain, sehelai serat hitam, tipis seperti benang, tersangkut di pecahan kecil. Wang Yi meraihnya dengan pinset, memasukannya ke kantong plastik kecil. Ia tidak perlu menebak.
"Lupin, bajingan itu." geramnya pelan. Saat di ibukota, ia sempat hampir menangkap sang lupin, tapi ternyata hal itu hanyalah sebuah tipu daya yang dimainkan dengan cerdas.
Tiba-tiba, suara langkah lain terdengar dari sayap kanan museum. Wang Yi menoleh cepat. Dari balik tiang batu, seorang penjaga muncul, wajahnya pucat, matanya bergerak gugup. "Detektif… saya sudah bilang pada atasan… semua lampu padam sendiri sebelum alarm berbunyi. Seperti ada orang yang sudah tahu jalurnya."
Wang Yi bangkit, menatap lurus. "Dan kau tidak melihat siapa pun?"
Penjaga itu menelan ludah. " Seperti bukan manusia…" ia berhenti, bibirnya gemetar. "Setidaknya… bukan yang biasa saya lihat."
Wang Yi mendekat, menyipitkan mata. "Jelaskan."
Penjaga mengusap wajahnya dengan tangan kotor. "Bayangan panjang, tapi jalannya ringan sekali. Seperti angin. Dan… ada suara. Suara tawa… samar, tapi jelas, seperti tawa seseorang yang sudah tahu kau terlambat."
Hening kembali menelan ruangan.
Wang Yi berdiri diam beberapa detik, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata pun. Suara sepatunya bergema di lorong kosong. Dalam pikirannya, potongan-potongan mulai menyambung, kebakaran gedung pengadilan, kain hitam di lokasi, dan sekarang museum ini. Satu nama terus mengendap di benaknya, mengalahkan semua logika yang ia coba pertahankan. Lupin. Dan yang paling ia benci adalah, setiap kali nama itu muncul, selalu ada orang baru yang terseret ke dalam pusaran.
...***...
Wang yi melajukan mobilnya secara santai di jalanan Whitechaple. Ini hari yang indah, tapi raut wajah kesal Wang yi tidak menunjukan hal itu. Ia berbelok di pertigaan jalan, menuju bukit kecil yang menjorok langsung ke pusat kota. Ia butuh udara segar untuk menangkan pikirannya.
Udara di atas bukit Whitechapel menusuk dada, segar tapi pahit, bercampur bau jelaga dari kebakaran yang masih membekas di kota. Wang Yi memarkir mobilnya di sisi jalan berbatu. Ia menyalakan sebatang rokok, menarik asap dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Dalam kepalanya, potongan peristiwa itu muncul kembali, kaca pecah museum, serat hitam, tawa samar yang membuat darahnya dingin. Semua itu bukan sekadar pencurian. Ada pola. Lupin tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
Wang yi berjalan santai menuju pohon rimbun yang tumbuh di tepi bukit. Ia berfikir akan menyenangkan jika bisa berbarik di rerumputan di bawah pohon. Tapi, seseorang yang lebih dulu ada di sana, membuatnya sedikit tercekat.