 
                            Setelah kematian bayi malangnya yang baru saja lahir, tepat 2 jam setelah itu Ayu Maheswari tewas secara tragis ditangan suaminya sendiri. Jiwanya menolak mendapat perlakuan keji seperti itu. Ayu tidak terima. Ia berdoa kepada Tuhan-nya, meminta dibangkitkan untuk membalaskan dendam atas ketidak adilan yang ia terima.
Begitu terbangun, Ayu tersentak tetiba ada suaminya-Damar didepan matanya kembali. Namun, Damar tidak sendiri. Ada wanita cantik berdiri disampingnya sambil mengapit lengan penuh kepemilikan. 
"Tega sekali kamu Damar!"
Rupanya Ayu terbangun diraga wanita lemah bernama Rumi. Sementara Rumi sendiri adalah adik angkat-Raisa, selingkuhan Damar.
Ayu tidak terima! Ia rasa, Rumi juga pasti ingin berontak. Dendam itu semakin tersulut kuat. Satu ambisi dua tujuan yang sama. Yakni ingin melihat keduanya Hancur!
Rumi yang semula lemah, kini bangkit kuat dalam jiwa Ayu Maheswari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4
Sementara di balik kamar yang berbeda, wanita setengah baya baru saja keluar dari kamarnya. Wajahnya masih cantik, rambutnya tergerai sebahu, dan saat ini tengah menggunakan syal di leher, dan mantel besar. Semenjak putri bungsunya dinyatakan koma, kesehatannya berangsur menurun. Namun setelah Raisa mengabarinya, Bu Sintia sudah agak mendingan, hingga pelayan tak perlu lagi membawakan nampan makanan ke dalam kamarnya.
Bu Sintia duduk sendiri disisi kanan meja ruang makan. Ruangan yang dulunya ramai akan ocehan kedua putrinya, kini mendadak sepi, seolah tiada rasa serta nyawa.
Sambal goreng ati ampela. Sop jamur yang dimasak tanpa penyedap rasa. Beberapa lauk pendamping seperti ayam, serta ikan laut, disana sudah tertata memenuhi meja.
Suara goresan antara sendok dan piring, memecah keheningan yang tercipta. Tak ada selera maupun gairah hanya untuk menelan. Yang terasa... Masakan itu terasa hambar.
"Putri Mamah sudah sadar. Tapi sikapnya semakin bikin muak saja."
Kalimat itu terus berputar seperti kaset yang rusak. Bukankah hal itu yang menjadi panjatan doa setiap harinya? Namun mengapa jiwanya enggan bangkit hanya sekedar mengucapkan kalimat penenang.
Merasa sudah kenyang kemasukan 2 suapan nasi, Bu Sintia mengakhiri makan malamnya. Ia Manarik kursi, lalu berjalan kearah timur menuju kamarnya kembali. Dan disaat bersamaan juga, Pak Darma baru selesai keluar dari ruang kerjanya. Keduanya berjalan tenang dengan tujuan dan ambisi yang berbeda.
Kenyataanya, sudah hampir beberapa tahun hal menyedihkan itu terus terulang. Mereka berdua tinggal bersama, namun tidak dengan hidup bersama.
Pak Darma sudah duduk di ujung meja. Ia sempat melirik sekilas kearah piring Bu Sintia yang masih utuh nasi serta lauk pauknya. Bahkan, tidak ada rasa ketertarikan hanya sekedar menyalurkan ekspresi wajahnya. Semua terasa hambar dan datar.
Seorang pelayan datang membawa segelas air rebusan daun sirsak. "Silahkan, Pak!"
"Terimakasih."
Hanya satu kalimat itu yang selalu pelayan dengar setiap harinya. Bahkan, untuk berbicara saja beliau lebih memilih mencatatnya.
Mobil mewah Damar sudah tiba di halaman rumah Pak Darma. Kali ini ia tidak dapat mampir, sebab ada sedikit problem di rumah.
Raut wajah Damar sudah terbaca, hingga membuat Raisa mendesah lemah. "Baiklah, tapi lain kali kamu harus mampir. Setidaknya ikut makan malam di rumah!"
"Aku pergi dulu, Sayang!"
Raisa turun setelah meninggalkan kecupan singkat pada pipi Damar.
"Hati-hati!"
Dint
Mobil Damar melesat kembali meninggalkan kediaman Pak Darma.
Selama perjalanan pulang, entah mengapa pikiran Damar terus saja berputar saat ia menarik pelatuk pistol itu. Erangan kesakitan sang istri yang baru saja melahirkan sang putra tak pernah bisa ia tepis dalam benaknya.
Damar mencoba menepis semua itu. Batinya bergumam kuat, mengatakan jika dirinya harus bahagia atas kematian sang istri. Ayu Maheswari telah tiada.
****
Tak lama itu, mobil Damar telah berhenti di sebuah rumah pedesaan.
Rumah itu berada di ujung. Keadaan rumah itu sederhana namun cukup baik untuk di huni. Seorang pria dewasa bekisar usia 38 tahun keluar, kala mendengar suara mobil berhenti di pekarangan rumahnya.
Wajah yang semula agak bingung. Seketika senyumnya merekah. Sedikit tertunduk menyambut dengan segan. Namanya Amir.
"Den Damar, mari silahkan masuk!" Ucap Amir.
Untuk sejenak, Damar tatap sekeliling rumah itu. Sangat sunyi. Apalagi keadaan malam seperti ini. Akankan bayi mungil itu dapat tertidur dengan nyenyak. Hati Damar tetiba berdesir. Dan hari-hari itu selalu istrinya lewati semenjak mengandung sang buah hati. Sendiri. Tanpa adanya belaian kelembutan dan juga kasih sayang darinya. Dan sekarang, bayi mungil itu menahan pedihnya luka, sebab tidak merasakan kehangatan peluk sang Ibu.
"Amir, bantu saya untuk mengeluarkan barang-barang didalam mobil," katanya sambil membuka bagasi belakang.
Sebelum datang, Damar mampir di minimarket terlebih dulu untuk membelikan semua keperluan sosok bayi yang berdiam dibalik bangunan sederhana itu. Beberapa bahan makanan untuk keluarga Amir. Susu, perlengkapan pakaian hangat, sebab di desa Amir berada dibawa kaki gunung Jogja. Dan masih banyak keperluan lainnya.
Begitu semuanya sudah tergenggam dalam tangan Amir, mereka berdua berjalan masuk kedalam rumah. Lampu temaram itu membuat keadaan rumah semakin mengiris hati. Dua pasangan itu sudah hidup hampir 10 tahun dalam genangan luka. Dan hadirnya bayi mungil itu menjadi obat pelipur lara.
Belum sepenuhnya masuk. Baru saja Damar melangkahkan kakinya di ambang pintu. Dan seketika suara tangisan bayi menyambut kedatangannya.
Oek... Oek...
Ada perasaan sesal yang bersemayam lebih dalam. Damar mencoba memejamkan mata dalam, mengenyahkan semuanya yang kuat menusuk. Rasa itu nyata. Rasa itu semakin terlihat jelas menarik ulur hatinya. Hatinya bersikukuh, meyakinkan jika Raisa lah yang terbaik. Mungkin hanya itu, agar ia dapat mengindar dari rasa bersalahnya.
Seorang wanita cantik baru keluar dari kamar. Wajahnya agak segan, terlihat begitu keteteran ketika menenangkan bayi dalam gendongannya. Namanya Mirah, istri dari Amir.
"Apa dia sudah meminum susu?" Damar masih berdiri di ruang tengah, menatap kearah bayi mungil yang sedang menangis.
"Sudah, Den! Tapi belum habis. Mungkin dia agak kedinginan, jadi sedikit rewel."
Amir yang baru saja selesai meletakan semua barang-barang tadi. Kini menatap istrinya sekilas, memberi isyarat agar memberikan bayinya kepada Damar.
"Biar saya gendong," pinta Damar.
Mirah mengangguk setuju. Lalu segera memberikan bayinya kepangkuan Damar.
Damar lalu berjalan kearah sudut ruang, yang dimana terhadap jendela yang masih terbuka. Pria berusia 29 tahun itu berdiri sambil menimang bayi mungil itu. Seketika, tangisan miris berubah menjadi dengkuran halus. Saking nyamannya, sampai bayi itu mengusapkan wajahnya pada lengan Damar. Kadang matanya terbuka kecil. Lidahnya terjulur rendah, begitu aroma wangi mulut mungilnya seolah menjadi penenang tersendiri bagi Damar.
Semilir angin malam berhembus lirih, melewati celah jendela kayu. Damar menatap jauh, dan sesekali tertunduk menatap bayi perempuan itu. Wajahnya sangat mirip sekali dengan Ayu Maheswari.
Dari mulai alis. Pipi yang kemerahan. Serta hidung mancung itu. Bahkan, seolah Damar tengah menatap istrinya semasa kecil. Rasa rindu menyeruat dalam jiwanya. Bibirnya sejak tadi terkatup. Bimbang dengan perpisahan itu. Semua kenangan terhempas, lepas menusuk nirwana.
"Apa kalian sudah memberikan bayi ini nama?" Tiba-tiba saja Damar bersuara.
Amir dan Mirah saling tatap sejenak. "Belum, Den. Kami menunggu Aden saja yang memberi nama." Amir mewakili istrinya.
Sejenak Damar diam. Sorot matanya menatap jauh. Entah ingatan apa yang ia tangkap kini. Sejak kehamilan hingga lahir, bahkan bayi mungil itu tidak terdaftar dalam keluarga besarnya. Satu kalimat ... Bayi itu harus musnah!
"Baik. Saya juga sudah mempersiapkan nama," Damar kembali menatap wajah damai bayi itu.
"Namanya... Dayu Maheswari!"
ayu itu istrinya damar yang sudah di bunuh mertuanya sendiri kak. lalu Ayu bertransmigrasi ke tubuh Rumi.
sementara Rumi, dia adik angkat Raisa, selingkuhanya Damar. apa masih bingung kak🤗😍
Rumi nich knp jga.