NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: tamat
Genre:Obsesi / Romansa pedesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama / Tamat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

30. Perpisahan yang Pilu

Pagi musim dingin di Mareluna begitu hening, seolah dunia terhenti di bawah selimut salju yang tipis. Namun, di dalam rumah keluarga De Luca, dapur menjadi oasis kehangatan. 

Aroma kopi yang kuat, susu hangat yang manis, dan roti panggang dengan mentega leleh memenuhi udara. Di atas kompor, bubur semolina atau oatmeal mendidih pelan, dan sisa sosis dari malam sebelumnya digoreng hingga renyah.

Meja kayu besar di tengah dapur dipenuhi dengan hidangan sederhana namun penuh kasih. Serafina duduk di tengah, diapit oleh Mila di sebelah kanannya yang bersemangat dan Rafael di kirinya yang diam. 

Di seberang, Matteo dan Rosa duduk berdampingan, menciptakan sebuah gambar keluarga yang hampir sempurna, namun diwarnai oleh ketegangan yang tak terucapkan.

“Mila, ayo kita makan sebelum dingin.” Rosa mengingatkan dengan lembut.

Tapi Mila sedang asyik memandangi Serafina. “Kaka Sera, lihat! Aku bisa menuang susu sendiri!”

Dengan konsentrasi penuh, tangan mungil Mila mengangkat teko susu kecil. Susu mengalir deras, sebagian tumpah ke meja.

“Oops!”

Serafina tersenyum, hatinya meleleh. Dia segera mengambil serbet dan membersihkannya dengan gerakan halus. “Tidak apa-apa, Piccolina. Kau sangat hebat.”

Matteo dan Rosa saling memandang. Mereka melihat bagaimana Serafina dengan sabar mengajari Mila cara menuang yang benar, bagaimana dia memotong roti untuknya, dan mendengarkan cerita Mila tentang mimpi anehnya semalam dengan penuh perhatian. Itu adalah pemandangan yang menyentuh, namun sekaligus menyiksa. Di balik kelembutan itu, ada bayangan nama ‘Romano’ yang besar dan menakutkan.

Rafael, di sisi lain, makan dalam diam. Setiap tawa Mila, setiap senyum Serafina, terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk hatinya. Dia tahu obsesi ini tidak sehat, tapi melihat keduanya bersama terasa alami. Itu yang membuatnya semakin bingung.

“Sera, ini untukmu,” kata Rafael tiba-tiba, menyodorkan sepiring bubur yang sudah ditaburi kayu manis dan madu—cara favorit Mila.

Serafina terkejut, lalu senyum kecil merekah di bibirnya. “Grazie, Rafa.”

Setelah sarapan, Serafina menghabiskan waktu di ruang tamu bersama Mila. Mereka menonton kartun, dan Serafina dengan sabar menjelaskan alur ceritanya pada Mila yang cerewet. Lalu, mereka beralih ke akuarium.

“Beri makan ikan merah! Dia yang paling lapar!” seru Mila.

Serafina mengambil pelet, dan bersama-sama mereka memberi makan ikan-ikan kecil itu. Mila tertawa girang melihat ikan-ikan berebut makanan. Dalam momen sederhana ini, Serafina merasa damai. Dia lupa sejenak tentang Romano, tentang perjodohan, tentang segala kompleksitas hidupnya.

Kemudian, Rafael mengenakan mantel lamanya yang sudah lusuh dan berlubang di beberapa bagian. “Aku keluar melihat laut,” ujarnya.

“Aku juga! Aku juga!” seru Mila.

Serafina segera mengambil mantel tebal dan mewahnya, serta membantu Mila mengenakan mantel bulu baru pemberiannya yang berwarna merah cerah.

“Grazie, Kak Sera! Ini sangat hangat!” ucap Mila, memeluk Serafina.

Rafael berdeham. “Yang kau berikan padaku ... aku menggunakannya sebagai selimut. Terlalu bagus untuk laut katanya datar.”

Serafina mencibir. “Berapa umur mantelmu?”

“Lima tahun,” jawab Rafael sambil membuka pintu, membiarkan angin dingin menerpa mereka.

Di luar, pemandangan sungguh ajaib. Laut yang biasanya bergolak kini tampak tenang, dengan kristal-kristal es berkilauan di tepian. Di sebuah lapangan yang sudah membeku, Rafael mengeluarkan sepasang sepatu roda untuk Mila dan dua pasang lainnya yang lebih besar—peninggalan Giada yang suka mencoba hal baru.

Mila dengan lincah meluncur di atas es, sementara Rafael dengan sigap mengawasinya. Serafina, dengan sepatu roda milik Giada, bergabung. Sebagai mantan penari balet dan peselancar, dia menguasai es dengan elegan. Dia meluncur dengan gerakan memutar yang memesona, membuat Mila berdecak kagum.

“Kau adalah putri es, Kak Sera!” teriak Mila.

Rafael hanya bisa memandang, takjub oleh keanggunan dan kecantikannya yang bersinar di bawah sinar matahari musim dingin yang pucat. Untuk sesaat, dia membiarkan dirinya terbuai oleh ilusi. Ilusi bahwa mereka adalah keluarga kecil yang bahagia, menikmati hari libur yang sederhana.

Tapi ilusi itu segera pecah.

Seperti bayangan yang muncul dari kabut, Elio berdiri di tepi lapangan. Wajahnya seperti batu, tapi matanya membara. Dia melihat Serafina, yang pipinya memerah, hidungnya kemerahan, dan jelas terkena flu.

“SIGNORINA SERAFINA!” Suaranya memotong udara dingin. “Kau masuk angin. Sudah waktunya pulang. Tuan Romano memanggilmu.”

Wajah Serafina berubah pucat. Dunia fantasinya runtuh dalam sekejap. Dia berbalik kepada Rafael dan Mila.

Elio mendekat dan menarik lengannya dengan tidak sabar. “Ayo. Sekarang.”

Serafina membiarkan dirinya diseret, matanya masih tertuju pada Rafael dan Mila yang berdiri di atas es. 

Mila, yang tidak mengerti, masih melambai dengan riang. “Ciao, Kak Sera! Kembalilah cepat!”

*Sampai jumpa

Rafael tidak melambaikan tangan. Dia hanya berdiri tegak, menatap Elio membawa Serafina pergi, kembali ke dunia yang memisahkan mereka. 

Angin dingin berhembus, menerbangkan salju dan menerpa mantel lamanya yang lusuh. Ia merasakan sebuah kehampaan, sebuah keyakinan bahwa kenangan indah pagi ini hanyalah sebuah jeda sementara sebelum badai yang sesungguhnya datang. 

...🌊🌊🌊...

Dinginnya Mareluna masih melekat di tulang mereka ketika jet pribadi keluarga Romano lepas landas, meninggalkan garis pantai yang membeku menjadi miniatur di bawah.

Interior jet yang mewah terasa seperti sangkar berlapis beludru. Serafina duduk di dalam sana, tubuhnya masih menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena ketakutan. Selimut wol halus tergeletak di pangkuannya, tak tersentuh.

Dia menatap Elio yang duduk di seberangnya, wajahnya membacakan sesuatu di tablet, tetapi Sarafina tahu seluruh perhatiannya tertuju padanya.

“Elio,” ujar Serafina. “Kenapa? Kenapa Papà memanggilku dengan mendesak seperti ini? Apa dia tahu sesuatu?”

Elio meletakkan tabletnya dengan perlahan. Matanya yang tajam menatapnya, dingin dan analitis, seperti selalu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang lain di dalamnya—sebuah kewaspadaan yang lebih dalam.

“Dia tidak memberitahuku,” jawabnya, suaranya datar dan terkendali. “Pesan itu sederhana. ‘Bawa dia pulang. Segera’.”

“Dan itu saja?” desis Serafina, ketakutan mulai berubah menjadi panik. Tangannya mencekam lengannya sendiri sampai keputihan. “Dia tidak mengatakan hal lain? Tidak tentang ... Mareluna?”

Elio diam sejenak, dan keheningan itu lebih menakutkan daripada teriakan. Dia memandangnya, seolah-olah mencoba mengukur seberapa dalam lubang yang telah dia gali sendiri.

“Signorina,” ucapnya, nadanya rendah dan tegas, memecah kepanikannya yang membumbung. “Apa yang telah kau lakukan?”

Pertanyaan itu seperti tamparan. Serafina menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Tidak! Aku tidak melakukan apa-apa!”

“Jangan berbohong padaku.” Elio menyela, suaranya sedikit lebih keras, penuh dengan frustasi yang lama dipendam. “Akulah yang membersihkan kekacauanmu. Tapi aku tidak bisa melakukannya jika aku tidak tahu apa itu.”

Elio membungkuk ke depan, sikutnya menempel di lutut, menatapnya langsung. “Apakah seseorang melihat sesuatu? Apakah kau berbicara dengan penduduk setempat?”

“Tidak! Aku sudah berhati-hati!” bantah Serafina, tapi suaranya goyah.

Dia teringat pada sosok misterius yang kadang-kadang dia rasakan mengawasinya, pada cara beberapa warga yang menghindari pandangannya.

“Dan Rafael?” tebas Elio, namanya seperti pisau di udara yang sudah tegang. “Apakah kau melibatkannya dalam sesuatu yang tidak seharusnya dia ketahui?”

Sekarang, air mata itu benar-benar mengalir. Ketakutan terbesarnya terungkap. “Tidak ... kumohon, Elio. Jika Papà mengetahuinya ... apa yang akan dilakukannya pada Rafael?”

Bayangan itu mengerikan. Leonardo Romano tidak akan segan-segan menghancurkan seorang nelayan miskin yang dianggapnya mengotori putrinya. Rafael, keluarganya, Mila ... semuanya bisa lenyap.

Elio mendesah, dan untuk sesaat, wajahnya yang biasanya seperti topeng menunjukkan kelelahan yang mendalam. Dia bersandar kembali di kursinya.

“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur, dan kejujuran itu lebih menakutkan daripada kebohongan yang menenangkan. “Tapi jika Rafael-mu itu bijak, dia akan menjauh. Sangat jauh.”

Elio memandangnya, dan kali ini, ada sedikit belas kasihan di matanya—belas kasihan yang dingin dan realistis.

“Obsesimu, Signorina, bukan hanya permainan berbahaya bagimu. Itu adalah hukuman mati baginya.”

Serafina memandang keluar jendela, pada awan yang membentang di bawah mereka seperti lautan kapas yang menipu. Dia telah melarikan diri dari Mareluna, tetapi dia membawa serta badai. Dan kini, badai itu mungkin akan menghancurkan satu-satunya orang yang, dalam cara yang kacau dan tidak sehat, benar-benar dia inginkan.

Jet terus melaju menuju Roma, membawanya semakin dekat ke Leonardo Romano dan semakin jauh dari Rafael, dengan ketakutan yang menggerogoti bahwa cinta atau obsesi yang dia tinggalkan di Mareluna mungkin akan menjadi hukuman mati bagi pria itu.

...🌊🌊🌊...

“Papà-nya ... Matteo ... mantan sopir ... dipecat…”

“Mamma-nya ... Rosa ... asma ... kesehatannya rapuh…”

“Kakak perempuannya ... Giada ... punya ... anak kembar…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!