Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyerbuan Dini Hari
Dini hari itu bukan sekadar sunyi; Komplek Cendana terasa jauh lebih mati daripada malam-malam biasanya. Tidak ada derik jangkrik yang lazim terdengar, tidak ada gonggongan anjing di kejauhan, bahkan angin pun seolah takut berdesir, membiarkan udara menggantung berat dan menyesakkan.
Di tengah keheningan yang tidak wajar itu, sebuah iring-iringan tiga mobil SUV hitam besar meluncur pelan melewati gerbang utama. Tanpa menyalakan lampu depan, kendaraan-kendaraan itu bergerak senyap bagaikan kawanan hiu yang berenang mengendap di air keruh.
Di dalam kenyamanan kabin mobil tengah, David duduk dengan kaki bersilang santai, kontras dengan ketegangan di luar. Di tangannya, segelas wine berguncang pelan mengikuti irama pergerakan mobil.
"Berhenti di sini," perintah David datar, suaranya memecah keheningan kabin.
Seketika, iring-iringan itu mematung di jalan utama komplek. Mesin mobil hanya berdengung halus, serupa monster yang sedang menahan napas menunggu mangsa.
David melirik jam tangan emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 03.00 tepat. Waktu eksekusi.
"Sekarang," perintah David dingin, matanya menatap lurus ke depan. "Viktor, perintahkan unit udara untuk menyebarkan Gas Somnium. Aku ingin tikus-tikus di komplek ini tidur nyenyak sebelum kita mulai pestanya."
Viktor, tangan kanan setianya, mengangguk patuh. Ia segera mengetuk layar tablet militernya, menjalin koneksi dengan tim drone yang melayang tinggi di atas awan. "Laksanakan protokol Deep Sleep. Sebar gasnya sekara—"
Ucapan Viktor terhenti mendadak. Jarinya membeku di atas layar tablet, sementara alis tebalnya berkerut dalam. Ia menatap nanar pada data yang baru saja masuk dari pemindai termal dan sensor detak jantung jarak jauh yang terpasang di area tersebut. Ada pola yang salah.
"Tunggu, Tuan," sela Viktor, nada suaranya terdengar bingung dan ragu. "Ada yang aneh."
Gerakan tangan David terhenti, gelas wine-nya menggantung di udara. "Apa? Ada yang melawan?" tatapnya tajam.
"Bukan, Tuan. Justru sebaliknya," Viktor memutar layar tabletnya ke arah David, memperlihatkan grafik dengan dominasi warna dingin. "Lihat grafik ini. Semua titik panas tubuh manusia di rumah-rumah warga berwarna biru pudar tanda metabolisme yang sangat rendah. Satpam di pos depan, warga di blok A sampai blok D... semuanya sudah tidak sadarkan diri. Grafik mereka menunjukkan pola tidur yang tidak wajar. Terlalu dalam. Terlalu serentak."
Viktor mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap jalanan yang sunyi senyap dengan perasaan tidak nyaman. Kesunyian itu terasa menekan, seolah udara di sana telah disihir oleh kekuatan tak kasat mata.
"Kita belum menyebar gasnya, Tuan," bisik Viktor waspada. "Tapi 'sesuatu' sudah membuat mereka semua pingsan lebih dulu. Ada variabel lain yang bermain di sini."
David terdiam sejenak, memindai kegelapan di sekelilingnya. Insting purbanya berteriak bahwa ada yang tidak beres. Bagaimana mungkin satu komplek bisa pingsan serentak sebelum ia melakukan apa-apa? Apakah ada pihak ketiga?
Namun, tatapan David kemudian jatuh pada rumah Zoya di ujung jalan. Seketika, kebencian dan egonya yang menggunung menutupi rasa waspadanya. Ia mendengus remeh, menolak mundur.
"Persetan dengan variabel lain," ucap David angkuh seraya meneguk habis wine-nya dalam satu tarikan. "Anggap saja semesta sedang mempermudah kerjaku. Siapapun atau apapun yang menidurkan mereka, itu menghemat gas kita."
"Tapi Tuan, kalau ini jebakan—"
"Aku tidak peduli!" potong David kasar, membanting gelas kosongnya ke kursi sebelah. "Tujuanku malam ini cuma satu. Kepala Bram di atas meja. Ayo bergerak."
David turun dari mobil mewahnya, langkahnya tegas menghantam aspal. Matanya memindai area sekitar rumah Zoya, mencari tanda-tanda keberadaan pasukannya yang lain. "Dimana mereka? Rian dan Reza? Bukankah kau berkata mereka ada di sekitar sini?"
Viktor tampak ragu sebelum menjawab, "Maaf Tuan, seolah mereka tahu pergerakan kita, sore tadi mereka menarik diri dan pergi begitu saja."
"Dasar pengecut," cibir David, wajahnya merah padam karena marah. "Mereka pasti kabur. Mereka meninggalkan Bram begitu saja seperti anjing ketakutan."
David tidak mau membuang waktu memikirkan kejanggalan hilangnya dua anak buahnya ataupun penduduk yang tertidur misterius. Matanya kini hanya terkunci pada satu target: Rumah mewah dua lantai milik Zoya.
"Lupakan dua tikus itu," kata David sambil membalikkan badan menghadap bangunan gelap itu. "Fokus pada Bloody Man."
Viktor kembali merapat ke sisi tuannya, siap menerima arahan. "Perintah, Tuan? Tim pendobrak sudah siap di pintu depan. Kita serbu masuk sekarang?"
Mendengar itu, David tertawa kecil tawa yang dingin dan meremehkan. Ia menggeleng pelan. "Masuk ke sana?" David menunjuk jendela lantai dua yang gelap gulita. "Kau pikir aku bodoh? Masuk ke dalam kandang sempit bersama Bram sama saja bunuh diri. Dia hafal setiap sudut ruangan. Dalam jarak dekat, dia akan membantai setengah pasukanmu sebelum kalian sempat menarik pelatuk."
David merapikan jas mahalnya dengan tenang, lalu melangkah mundur menjauhi pagar rumah, menciptakan jarak aman. "Kita tidak akan memberinya kehormatan bertarung," ucapnya kejam. "Aku tidak datang untuk berduel. Aku datang untuk eksekusi."
Dengan isyarat tangan yang tegas, David memerintahkan perubahan strategi. Tim pendobrak mundur teratur, segera digantikan oleh tim Cleaners yang membawa jerigen dan pelontar api.
"Kunci semua pintu dan jendela dari luar," perintah David datar tanpa belas kasihan. "Lalu bakar."
Viktor terdiam sejenak, menatap rumah megah yang tampak damai itu. "Semuanya, Tuan? Ada gadis itu di dalam."
"Semuanya," tegas David. Matanya berkilat memantulkan bayangan imajiner rumah yang sebentar lagi akan menjadi abu. "Bakar rumah itu sampai rata dengan tanah. Biarkan Bram dan gadis itu menjerit di dalam oven raksasa. Aku ingin melihat apakah 'Sang Bloody Man' bisa bertarung melawan api."
Para Cleaners bergerak tangkas. Mereka menyiramkan bensin ke sekeliling teras, dinding kayu, dan celah pintu garasi. Bau bahan bakar yang menyengat mulai menguar, bercampur dengan udara malam yang aneh dan dingin. Di dekat mobilnya, David tersenyum puas, menunggu api pertama dinyalakan. Ia merasa di atas angin. Ia merasa menang.
Ia sama sekali tidak tahu bahwa ada "sesuatu" di dalam pekatnya kegelapan yang sedang mengawasi mereka tanpa kedip. Dan ia tidak tahu, bahwa api yang akan ia nyalakan mungkin justru akan membangunkan sesuatu yang begitu.