Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30. 'Kekuatan Tersembunyi' Aldrich
30
Langit sore itu berwarna kelabu, awan menggantung berat seolah menahan sesuatu yang siap pecah kapan saja. Angin laut bertiup lembut, namun udara di sekitar dermaga justru terasa aneh, ada ketegangan samar yang menggantung di antara dua sosok yang berdiri di sana, Aldrich dan Allen.
Mereka baru saja selesai meninjau lokasi syuting tambahan untuk film Aldrich yang sebagian besar mengambil latar laut. Kru sudah lebih dulu pulang menggunakan mobil produksi, menyisakan keduanya yang menunggu kendaraan jemputan berikutnya.
Namun tak lama, langit benar-benar runtuh. Hujan turun deras, mengguyur papan kayu dermaga hingga menimbulkan suara berirama.
“Hebat,” gumam Aldrich pelan sambil menarik napas panjang. “Kamu bawa payung, Allen?”
Allen menggeleng cepat, menatap langit yang memutih oleh tirai hujan. “Gak, Mas. aku kira cuacanya masih aman.”
Aldrich mendengus kecil. “Lihat? Sekali lagi aku percaya sama perkiraan kamu, hasilnya selalu menarik.”
Nada suaranya terdengar menggoda, tapi ada kelembutan samar di baliknya. Allen menunduk malu, tapi ia ikut tertawa kecil, mencoba meredakan gugup. “Aku minta maaf, Mas… Aku gak pandai memperkirakan cuaca.”
Hujan makin deras. Mereka akhirnya berlari kecil menuju gubuk kayu di ujung dermaga, tempat nelayan biasa menaruh jaring. Ruangannya sempit dan hanya cukup untuk dua orang. Allen berdiri agak menjauh, tapi sempitnya ruang membuat bahunya tanpa sengaja bersentuhan dengan bahu Aldrich.
Sentuhan kecil itu terasa seperti percikan listrik.
Aldrich menoleh perlahan. Tatapan matanya yang tajam namun teduh membuat Allen refleks menunduk. Ada sesuatu di sana, keheningan yang tidak canggung, tapi justru sarat dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Kenapa kamu selalu kayak gitu?” tanya Aldrich tiba-tiba, suaranya dalam, nyaris tenggelam oleh suara hujan.
Allen menatap bingung. “Kayak apa maksudnya, Mas?”
“Kayak lagi berusaha melarikan diri dari sesuatu. Atau dari seseorang.”
Aldrich menatap lurus ke depan, ke arah laut yang mulai berombak. “Kamu gak pernah tenang, Allen. Bahkan dalam diam, aku bisa melihat kamu bersembunyi.”
Allen terdiam. Dadanya terasa sesak. Suara hujan menjadi satu-satunya yang terdengar selama beberapa detik.
“Aku hanya… gak ingin masa lalu ku mengejar ku lagi,” jawabnya pelan, nyaris berbisik.
Aldrich menoleh, sorot matanya tajam tapi hangat. “Kamu pikir aku gak tahu rasanya?”
Allen mengangkat kepala, menatapnya. “Mas juga... ?”
“Semua orang punya sesuatu yang ingin dikubur, Allen,” ujar Aldrich lirih. “Bedanya, aku menguburnya di depan kamera, dan pura-pura gak punya rasa apa pun.”
Hujan semakin lebat, dan petir menyambar di kejauhan. Allen memeluk lengannya sendiri, kedinginan. Melihat itu, Aldrich spontan melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Allen.
“Mas... ”
“Udah,” potong Aldrich cepat. “Jangan nolak. Kamu menggigil.”
Suara pria itu lembut tapi berwibawa. Allen hanya bisa terdiam, merasakan hangat tubuh Aldrich yang masih melekat di kain jaket itu. Aroma maskulin khas Aldrich samar tercium, memunculkan sensasi aneh yang membuat jantung Allen berdebar tak terkendali.
Mereka sama-sama terdiam.
Namun di antara derasnya hujan dan hembusan angin laut, ada sesuatu yang mulai bergerak pelan di dalam hati mereka berdua, rasa yang berusaha mereka tolak, tapi tak mampu mereka redam.
Aldrich menatap wajah Allen dari samping, melihat mata gadis itu yang memantulkan cahaya lembut dari kilat di langit.
“Lucu,” gumamnya tiba-tiba. “Aku baru sadar, aku udah lama gak merasa tenang begini.”
Allen menelan ludah. “Tenang… karena apa, Mas?”
“Karena kamu ada di sini, mungkin.”
Kata-kata itu membuat udara di antara mereka mendadak terasa berat. Allen ingin menunduk, tapi matanya justru terpaku pada Aldrich. Ada sesuatu di sana, rasa hangat yang sama-sama mereka rasakan, tapi keduanya memilih diam.
Dan di bawah guyuran hujan yang membasahi dunia, dua hati itu terjebak dalam badai lain, badai perasaan yang tak bisa mereka hindari.
*
Hujan belum juga reda. Butiran airnya jatuh deras, menghantam atap seng gubuk kecil di ujung dermaga, menimbulkan denting yang berulang seperti irama detak jantung yang terlalu cepat.
Aldrich berdiri di belakang Allen, matanya memperhatikan bagaimana gadis itu berusaha keras menahan gigil. Jaketnya sudah disampirkan di bahu Allen sejak tadi, tapi jelas tak banyak membantu. Rambut Allen yang basah meneteskan air di pipinya, bahunya bergetar kecil setiap kali angin laut menerpa.
“Allen,” suara Aldrich terdengar pelan tapi dalam, nyaris seperti gumaman yang keluar dari dada, “kamu masih kedinginan.”
Allen buru-buru menggeleng, meski suaranya bergetar.
“Gak apa-apa, Mas. Aku kuat kok.”
Namun Aldrich tahu itu bohong. Ia bisa melihat jari-jari Allen yang menggenggam ujung jaketnya, berusaha menahan gemetar. Napasnya tampak memburu, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya sudah terlalu lama menahan dingin.
Dan tanpa pikir panjang lagi, Aldrich melangkah maju.
Satu tangan terulur, kemudian tubuhnya menempel di punggung Allen. Lengan Aldrich melingkari pinggang gadis itu, mendekap erat dari belakang.
Allen tersentak kaget, “M-mas…!”
“Diem,” potong Aldrich lirih. Suaranya bukan perintah yang keras, tapi lembut, hangat, seolah ada sesuatu di baliknya yang lebih dalam dari sekadar kepedulian.
“Kalo kamu terus gemetar kayak gtu, kamu bisa sakit.”
Allen terpaku. Nafasnya tercekat ketika ia bisa merasakan degup jantung Aldrich di punggungnya, teratur namun kuat, menggetarkan. Hawa tubuh pria itu perlahan mengusir dingin yang menggigit kulitnya.
Hujan di luar masih deras. Udara lembap, tapi ruang sempit itu terasa hangat dengan cara yang tak biasa.
Aldrich menundukkan wajahnya, hidungnya nyaris menyentuh bahu Allen, sesekali seperti hendak menjamah lehernya. Suara hujan menenggelamkan keheningan di antara mereka, tapi di sela itu, terdengar desahan pelan dari keduanya, desah yang tak bisa mereka kendalikan.
“Aku gak bermaksud membuat kamu gak nyaman,” ujar Aldrich, suaranya serak. “Aku hanya… gak suka melihat kamu menggigil begitu.”
Allen memejamkan mata, menahan debar di dadanya. “Mad gak perlu khawatir… aku baik-baik aja.”
Aldrich tersenyum tipis, meski tak bisa terlihat oleh Allen. “Kamu selalu bilang begitu. Tapi setiap kali aku melihat kamu, selalu ada sesuatu yang ingin aku lindungi.”
Pelukan itu semakin erat, bukan karena niat, tapi karena perasaan yang tak sempat ditahan.
Hujan menutup dunia di luar.
Di dermaga yang sepi itu, hanya ada dua sosok yang saling berdiam, terjebak antara dingin dan hangat, antara logika dan sesuatu yang lebih liar dari itu, gejolak yang selama ini mereka pendam, kini mulai menuntut ruang untuk hidup.
"Ya Tuhan, kalo gini terus, aku gak tahu bakalan kuat atau gak..." gumam Allen dalam hatinya.
"Aku gak tahu tindakanku ini benar atau salah. Tapi satu yang pasti, gadis aneh ini bikin aku ngerasa sangat aneh. Kenapa aku justru pingin terus dekat?" Aldrich pun demikian, sedang berperang di dalam batinnya sendiri.
"Pelukannya hangat dan menenangkan. Rasanya gak pingin hujan berhenti. Biarlah terus kayak gini." Allen makin merasakan kenyamanan.
"Sial. Gadis aneh ini bisa bikin aku ... Akh!" Aldrich bersusah payah menepis sebuah rasa yang muncul tiba-tiba di dalam benaknya ketika ia menghirup aroma tubuh Allen.
Perlahan, Aldrich menghindar, melepaskan dekapannya dari Allen karena ia takut Allen justru merasakan sesuatu yang akan membuatnya syok. Kekuatan Aldrich yang tersembunyi memaksa unjuk kemampuan.
"Gawat kalo dia sampe ngerasain... Akh!" Aldrich membuang pandang ke arah lainnya, memunggungi Allen.
Allen heran, tapi ia tidak bertanya. Meski tubuhnya kembali menggigil, namun ia tak mungkin merengek minta dipeluk lagi.
.
YuKa/ 031125
Absen dulu, bacanya ntar siang.. 😁
Meilin jgn bikin Allen jd berpikiran buruk ya sm Aldrich. sekate2 ngomong hati2 ke Allen. yg ada kamu yg hati2. ntar sakit hati liat Aldrich bersatu sm Allen😂😂😂