Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ancaman bernama Kaito mengubah Rumah Awan Pelangi dari sebuah surga yang dipulihkan menjadi sebuah benteng emas yang waspada. Kehangatan dan keintiman di antara Alex dan Isabella tidak memudar; sebaliknya, itu mengkristal menjadi sesuatu yang lebih tajam dan lebih fokus. Setiap senyuman curian, setiap sentuhan singkat, kini dibayangi oleh urgensi dari musuh tak terlihat yang sedang mengendus jejak mereka.
Alex bergerak dengan kecepatan dan efisiensi yang senyap. Dalam semalam, protokol keamanan di sekitar mereka diperketat. Ponsel baru dengan enkripsi tingkat militer diberikan kepada Isabella. Komunikasi mereka tentang "proyek" kini dilakukan melalui aplikasi pesan yang akan hancur sendiri. Alex bahkan memasang sistem sensor biometrik baru di pintu masuk sayap pribadi mereka. Ia tidak akan membiarkan ada celah sedikit pun bagi dunia luar untuk menembus benteng mereka.
Malam-malam mereka di ruang kerja kini memiliki intensitas yang berbeda. Tidak ada lagi tawa santai atau perdebatan panjang. Setiap sesi adalah sebuah misi: bagaimana cara mempercepat penghancuran Rosales Corp sebelum Kaito menemukan retakan di zirah mereka?
Laporan pertama dari tim intelijen Alex tentang pergerakan Kaito datang tiga hari kemudian, dan itu cukup untuk membuat darah Isabella terasa dingin.
"Dia tidak menyentuh catatan keuangan," lapor Alex, matanya terpaku pada layar di hadapannya. "Dia tidak melacak jejak digital. Dia memulai dari titik yang paling tidak terduga dan paling berbahaya: manusia."
Laporan itu merinci bagaimana Kaito, dengan menggunakan berbagai samaran, telah mulai mewawancarai staf tingkat menengah dan mantan staf Rosales Corp. Ia tidak bertanya tentang kebocoran informasi. Sebaliknya, ia bertanya tentang gosip kantor, tentang siapa yang membenci siapa, tentang karyawan yang dipecat secara tidak adil, tentang siapa yang memiliki dendam.
"Dia sedang membangun peta psikologis perusahaan," kata Isabella pelan, langsung mengerti strategi Kaito yang brilian dan mengerikan. "Dia tidak mencari pengkhianat. Dia mencari seseorang dengan motif untuk berkhianat."
Alex mengangguk, wajahnya muram. "Dan cepat atau lambat, dia akan mulai melihat pola. Dia akan menyelidiki orang-orang yang pergi atau dipecat, dan mungkin menemukan beberapa nama yang bisa ia hubungkan dengan kita."
Isabella berjalan mondar-mandir di depan jendela, pikirannya berputar. Mereka telah fokus untuk bertahan dari serangan digital, tetapi Kaito justru menyerang dari sisi manusiawi. Mereka butuh pengalih perhatian. Bukan hanya sebuah petunjuk palsu, tetapi sebuah narasi yang lengkap dan meyakinkan. Sebuah kambing hitam.
Dan kemudian, sebuah nama dari masa lalunya yang kelam muncul di benaknya.
"Pramoedya," katanya tiba-tiba.
Alex mendongak. "Siapa?"
"Tuan Pramoedya. Dia adalah Kepala Divisi Investasi ayahku selama hampir dua puluh tahun," jelas Isabella, matanya berkilat saat ia mengakses bank data di ingatannya. "Dia sangat loyal, sangat brilian. Tapi sekitar enam tahun yang lalu, ia menentang keputusan ayahku untuk mulai menyalurkan dana ke proyek The Seraphina. Dia memperingatkan bahwa itu adalah lubang hitam finansial. Sebagai balasannya, ayahku tidak hanya memecatnya. Ia menghancurkannya. Ia memasukkannya ke dalam daftar hitam industri, menuduhnya melakukan penipuan internal agar tidak ada yang mau mempekerjakannya lagi. Pramoedya kehilangan segalanya."
Alex mulai melihat ke mana arah pembicaraan ini. "Seorang pria dengan dendam yang sangat dalam dan pengetahuan yang cukup untuk menyakiti ayahmu."
"Tepat," kata Isabella. "Dia adalah kambing hitam yang sempurna. Kaito sedang mencari seseorang dengan motif? Pramoedya memiliki motif terbesar di seluruh kekaisaran."
Rencana itu terbentuk dengan cepat di antara mereka. Itu adalah rencana yang kejam, menggunakan penderitaan orang lain untuk keuntungan mereka sendiri, tetapi dalam perang ini, tidak ada ruang untuk sentimen.
Malam itu, mereka melancarkan serangan balasan kedua mereka, kali ini bukan ditujukan pada Rosales Corp, tetapi pada sang pemburu itu sendiri. Alex menggunakan tim peretas grey-hat-nya untuk melakukan sesuatu yang sangat halus. Mereka tidak menciptakan bukti baru, melainkan hanya "menyorot" bukti yang sudah ada. Mereka memanipulasi algoritma pencarian di beberapa database finansial tersembunyi, sehingga jika seseorang mencari anomali transaksi terkait The Seraphina, nama "Pramoedya" akan muncul dengan frekuensi yang sedikit lebih tinggi dari yang seharusnya.
Kemudian, Isabella memainkan kartu as-nya. Ia ingat bahwa Pramoedya memiliki seorang putri yang merupakan seniman berbakat. Dengan menggunakan identitas fiktif, ia melakukan pembelian anonim salah satu lukisan putri Pramoedya melalui sebuah galeri online kecil, membayarnya dengan mata uang kripto yang sulit dilacak, tetapi tidak sepenuhnya mustahil. Itu adalah sebuah remah roti yang sengaja dijatuhkan, sebuah transaksi aneh yang menghubungkan uang dengan keluarga Pramoedya tepat di sekitar waktu kebocoran informasi terjadi.
Mereka telah menanam benih. Kini mereka hanya bisa berharap Kaito yang cerdas akan memakannya.
Di tengah ketegangan perang rahasia itu, kehidupan terus berjalan. Suatu malam, sekitar pukul tiga pagi, Isabella terbangun oleh suara batuk yang keras dari kamar sebelah. Ia segera bangkit dan menemukan Alden duduk di tempat tidurnya, demam tinggi, napasnya sedikit sesak.
Saat ia sedang mengompres dahi putranya, pintu terbuka dan Alex masuk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Aku mendengar suara batuknya di monitor," katanya.
Malam itu, mereka tidak lagi menjadi ahli strategi atau pejuang. Mereka hanyalah sepasang orang tua yang cemas, bekerja sama dalam keheningan yang efisien. Alex menelepon dokter pribadi mereka, sementara Isabella menenangkan Alden, membisikkan cerita-cerita tentang pahlawan super yang bisa mengalahkan kuman jahat.
Mereka duduk bersama di tepi tempat tidur Alden sampai dokter datang dan memastikan itu hanya flu biasa. Setelah Alden kembali tertidur pulas berkat obat penurun demam, mereka kembali ke ruang duduk, sama-sama terlalu lelah untuk kembali tidur.
Alex membuatkan dua cangkir teh hangat. Mereka duduk dalam diam di sofa, kelelahan dari malam yang panjang menyelimuti mereka.
"Kau... kau sangat tenang tadi," kata Alex pelan, memecah keheningan. "Kau tahu persis apa yang harus dilakukan."
Isabella tersenyum sedih. "Aku menghabiskan lima tahun terakhir membayangkan skenario seperti ini. Membayangkan salah satu dari mereka sakit dan aku tidak ada di sana untuk merawat mereka. Kurasa... aku sudah berlatih di dalam kepalaku ribuan kali."
Pengakuan yang tulus itu menyentuh Alex. Ia meletakkan cangkirnya dan mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Isabella. "Kau ada di sini sekarang," katanya dengan sungguh-sungguh. "Dan kau tidak akan ke mana-mana lagi."
Momen keintiman yang rapuh itu terganggu oleh bunyi bip pelan dari ponsel Alex yang ada di atas meja. Sebuah notifikasi prioritas tinggi. Dengan enggan, ia melepaskan tangan Isabella dan meraih ponselnya.
Saat ia membaca pesan singkat dari tim intelijennya, ekspresi di wajahnya berubah.
"Ada apa?" tanya Isabella, jantungnya mulai berdebar lagi.
"Kaito," jawab Alex pelan, matanya masih terpaku pada layar. "Dia mengambil umpannya. Laporan menunjukkan dia telah mengalihkan hampir delapan puluh persen sumber dayanya untuk menyelidiki kehidupan Tuan Pramoedya."
Sebuah gelombang kelegaan menyapu Isabella. Rencana mereka berhasil. Mereka telah membeli waktu.
"Tapi..." lanjut Alex, suaranya kini terdengar ragu, "ada satu hal lagi."
Ia menunjukkan layar ponselnya pada Isabella. Itu adalah baris terakhir dari laporan itu, di bawah sub-judul "Aktivitas Sekunder".
Bunyinya: Sumber mengindikasikan Kaito telah membuka kembali sebuah berkas lama yang dianggap tidak aktif. Penyelidikan awal dimulai pada kasus kecelakaan lalu lintas fatal lima tahun lalu. Korban: Celine Severe dan Isabella Rosales.
Jantung Isabella terasa seperti berhenti berdetak. Mereka telah dengan cerdik mengarahkan perhatian sang pemburu ke arah lain, tetapi mereka tidak menyadari bahwa dengan melakukannya, mereka justru telah membuat sang pemburu menjadi lebih teliti. Dalam usahanya untuk tidak melewatkan satu detail pun, Kaito kini mulai menyapu bersih semua "loose ends" atau ujung-ujung benang yang belum terikat.