Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pagi hari itu terasa berbeda.
Cahaya matahari belum benar-benar menyinari kota, namun rumah sakit sudah sibuk. Beberapa perawat lalu-lalang, dokter jaga bersiaga, dan suasana kamar rawat Nayla pun lebih hening dari biasanya.
Nayla baru saja selesai dibersihkan oleh perawat ketika pintu kamar terbuka. Mama masuk dengan senyum yang dipaksakan, diikuti oleh Papa yang sudah berganti pakaian pasien khusus untuk ruang operasi. Wajahnya terlihat tenang, meski ada sorot khawatir yang tak bisa disembunyikan.
Di sisi lain, Reyhan berdiri di sudut ruangan, menatap Nayla dengan pandangan lembut namun penuh tekanan. Ia belum tidur semalam, tidak berani meninggalkan Nayla walau hanya sebentar.
“Sudah siap, Nak?” tanya Mama dengan suara bergetar, berusaha tersenyum.
Nayla mengangguk kecil. Ia menatap wajah Mama dan Papa satu per satu. “Terima kasih… karena tidak membiarkan aku sendirian.”
Papa Adnan menghampirinya dan mengecup kening putrinya dengan lembut. “Kamu anak Papa yang paling kuat. Jangan takut, semua ini akan baik-baik saja.”
Reyhan mendekat dan menggenggam tangan Nayla erat-erat. “Aku akan menunggu tepat di luar ruang operasi. Tidak akan ke mana-mana.”
Tepat pukul delapan pagi, dua ranjang didorong bersamaan oleh petugas medis. Nayla dan Papa dibawa menuju ruang bedah yang sudah disiapkan.
Sepanjang lorong rumah sakit, langkah mereka seolah diiringi doa dari setiap orang yang menyayangi Nayla.
Setibanya di depan ruang operasi, mereka harus berpisah. Papa masuk lebih dulu ke ruang persiapan donor, sementara Nayla diarahkan ke ruang operasi utama.
Reyhan mengikuti sampai batas akhir yang diizinkan.
“Nay…” panggilnya pelan saat Nayla sudah akan didorong masuk. Ia menggenggam tangan Nayla, menunduk, lalu mengecup jemari istrinya. “Kamu janji akan kembali padaku, ya? Kita belum mulai lagi dari awal. Kamu belum lihat aku benar-benar mencintaimu sebagai suamimu.”
Nayla menatapnya, air matanya menetes namun ia tersenyum. “Kalau Tuhan beri aku kesempatan kedua… aku mau menjalani semuanya bersamamu, dari awal. Tanpa kebohongan. Tanpa sakit.”
Pintu ruang operasi tertutup.
Reyhan berdiri diam, matanya terus menatap pintu itu seolah berharap ia bisa ikut masuk dan menggantikan posisi Nayla.
Mama berdiri di belakangnya, menggenggam tangannya.
“Kita doakan yang terbaik, Nak,” bisiknya.
Reyhan hanya mengangguk pelan. Ia tidak berdoa seperti biasa pagi ini. Ia hanya berbisik dalam hati, berkali-kali.
“Tuhan… jangan ambil dia. Aku belum selesai mencintainya.”
***
Sudah lebih dari enam jam sejak pintu ruang operasi tertutup.
Reyhan duduk gelisah di ruang tunggu bersama Mama, sementara tatapan Mama tak pernah lepas dari pintu operasi yang tertutup rapat. Sesekali, perawat keluar-masuk, tapi belum ada satu pun kabar tentang kondisi Nayla maupun Papa Adnan.
Hingga akhirnya, seorang dokter keluar dengan wajah lelah namun tenang. Reyhan langsung berdiri.
“Bagaimana, Dok?” tanyanya cepat.
Dokter itu mengangguk. “Operasi transplantasi berjalan dengan lancar. Kondisi Pak Adnan stabil di ruang pemulihan. Begitu juga dengan Ny. Nayla, ia masih tertidur tapi kondisinya sangat baik.”
Reyhan mengembuskan napas lega. Mama langsung menangis pelan, syukur tak henti-henti ia panjatkan.
Namun, sebelum Reyhan sempat mengucapkan terima kasih, dokter itu menambahkan, “Ada satu hal yang perlu kami sampaikan secara pribadi kepada suaminya.”
Reyhan dan Mama saling pandang, lalu Reyhan mengikuti dokter ke ruang konsultasi tak jauh dari sana.
Dokter duduk dan membuka berkas. “Selama pemeriksaan praoperasi, ada satu temuan yang tidak kami ketahui. Kami memang fokus pada penyakit utamanya… tapi ada indikasi kuat, dan hasil laboratorium sudah mengonfirmasi…”
Reyhan menegang. “Apa itu, Dok?”
Dokter tersenyum samar, lalu menatap Reyhan dalam-dalam.
“Ny. Nayla sedang hamil, Tuan Reyhan. Sekitar lima minggu usia kandungannya. Karena masih sangat awal, kami mengambil tindakan ekstra hati-hati saat operasi dilakukan. Syukurlah, janin juga dalam kondisi stabil.”
Reyhan membeku.
Dunia seakan terhenti untuk sesaat. Hamil? Nayla… sedang mengandung anak mereka?
“Ini... benar, Dok?” suaranya gemetar. “Dia... benar-benar hamil?”
Dokter mengangguk. “Kami pastikan itu. Dan kami akan melakukan pemantauan ketat terhadap kesehatannya dan janin dalam waktu dekat. Tapi untuk saat ini, fokus utama tetap pemulihan pascaoperasi.”
Reyhan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada tawa kecil, ada air mata, ada rasa syukur yang begitu besar. Di tengah badai, Tuhan masih memberinya harapan lain, kehidupan baru.
Ia bangkit, lalu keluar dari ruang konsultasi, menghampiri Mama dan langsung memeluknya.
“Mama…” bisiknya. “Nayla… sedang mengandung…”
Mama terkejut, lalu menutup mulutnya dengan tangan. “Astaga… Nayla… ya Tuhan…”
Tak lama kemudian, Reyhan diperbolehkan masuk ke ruang rawat Nayla.
Nayla masih tertidur dengan selang infus di tangannya. Wajahnya pucat, tapi napasnya teratur. Reyhan duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangan istrinya, lalu mengecupnya perlahan.
“Aku tahu sekarang kenapa kamu harus bertahan,” bisiknya penuh haru. “Bukan hanya untukku… tapi untuk anak kita.”