Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - Aku Tidak Punya Adik Perempuan
"Aku tidak punya adik perempuan." Suara Anya tenang dan tegas.
Aiden tampak puas dengan jawaban Anya. Ia senang Anya mengingat nasihatnya untuk tidak selalu bersikap lembut pada semua orang, terutama mereka yang mencoba menyakitinya. Kini, Anya sama sekali tidak berusaha membela Deny atau Natali. Ia mengangguk dan memerintahkan pengawalnya untuk membawa Deny dan Natali keluar dari rumahnya, "Bawa mereka keluar dari sini."
Para pengawal segera maju, bergegas melaksanakan perintah Aiden. Namun, sebelum mereka sempat berbuat apa pun, Natali berdiri terlebih dahulu.
Natali berdiri tegak dan menginjak tanah dengan marah. Rasa malu dan amarah bercampur di hatinya, membuatnya bangkit dan berkata dengan angkuh, "Anya! Lihat! Kau bisa tinggal di rumah sebagus ini karena siapa? Biaya rumah sakit ibumu lunas, semua karena siapa? Siapa yang telah membantumu? Kau wanita yang tidak tahu terima kasih!" teriaknya, menunjuk Anya.
Mendengar tuduhan Natali, Anya tak bisa menahan amarahnya yang membuncah. Memang benar ia membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit ibunya. Ia memang meminta bantuan Natali dengan meminjam uang, tetapi itu tidak berarti ia ingin menjual dirinya demi uang. Ia masih punya harga diri!
Natali terus mengarang cerita seolah Anya memintanya untuk membantu mencari pria kaya. Kini, ia mengklaim telah membantu Anya sehingga bisa hidup nyaman di tempat ini. Anya malah bersikap tidak tahu diri dan sama sekali tidak berterima kasih.
"Natali, kau pikir aku perlu berterima kasih padamu?" Mata Anya memancarkan amarah. Jika tatapan itu bisa membunuh, mungkin ia sudah mencabik-cabik wanita di depannya.
"Kau masih belum sadar, berkat siapa kau bisa tinggal di rumah sebagus ini? Berkat siapa ibumu selamat? Semua berkat aku!" teriak Natali tanpa rasa malu.
Anya tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Natali membela diri dengan cara seperti ini. Ia mengklaim sebagai orang yang telah membantu Anya sehingga bisa hidup nyaman. Betapa mengada-ngada itu!
"Saat Ibu dalam bahaya, Ayah sama sekali tidak mau membantu. Kau bilang akan meminjamkan uang dan aku percaya padamu. Tapi apa yang kudapat? Kau menidurkanku. Kau mencampur minuman ku. Sekarang, sejak aku bertemu Aiden, kau bilang semua ini berkatmu?" Tangan Anya gemetar saat mengatakan itu. Sepanjang hidupnya, ia belum pernah merasa semarah ini. Saat ini, ia tak bisa lagi menahan emosinya.
Sebelum ia melampiaskannya, Deny menampar wajah Natali dengan keras, "Siapa yang menyuruhmu berdiri? Berlututlah dan akui kesalahanmu. Minta maaf pada kakakmu!" bentaknya.
Tamparan itu membuat Natali jatuh terduduk. Sebelumnya, kakinya terasa pegal dan kaku karena terlalu lama berlutut. Saat ayahnya menamparnya, kakinya tidak cukup kuat untuk menahan tubuhnya yang gemetar.
Aiden hanya menyaksikan semuanya dengan tatapan dingin. Matanya tampak misterius dan tak terduga, "Anya, aku ingat ibumu hanya memiliki satu anak perempuan. Kok sekarang kau punya saudara?" tanyanya dengan sinis.
Mata Anya berkedip seakan ia telah kembali sadar. Ia menarik dan membuang napas teratur, berusaha menenangkan diri, "Aku tidak punya adik perempuan!" jawab Anya sekali lagi, mengulangi pernyataan sebelumnya dengan lebih tegas.
"Anya Tedjasukmana!" Deny berteriak keras.
Pria itu murka melihat perilaku Anya yang membuat suasana semakin buruk. Alih-alih membantu ayahnya menyelesaikan masalah, putrinya malah membuat keadaan semakin rumit. Betapa lancangnya!
Jeritan Deny membuat tubuh Anya sedikit tersentak. Ia segera bersembunyi di belakang tubuh Aiden. Tangannya memegang ujung baju Aiden, sedikit gemetar.
Ia belum pernah mendengar ayahnya membentaknya sekeras ini. Ayahnya tidak pernah peduli padanya, jadi ia tidak mau membuang waktu untuk memarahinya seperti ini saat itu.
Melihat ketakutan Anya, Aiden berbisik lembut, "Tidak perlu takut. Aku di sini!" Kalimat itu saja sudah cukup membuat Anya merasa lebih tenang. Tapi tangan Anya masih memegang ujung kemeja Aiden seolah ia bisa mendapatkan ketenangan lebih dari sana.
Sementara itu, Deny sangat marah dan tidak tahu harus melampiaskan amarahnya kepada siapa. Kemudian ia melihat Natali di dekatnya.
Sepertinya hari ini bukanlah hari keberuntungan bagi Natali.
Deny menendang tubuh Natali dengan keras, membuat Natali merintih kesakitan, "Minta maaf pada kakakmu!" bentaknya, menendang tubuh Natali berulang kali. Melihat ayahnya yang kalap, kali ini Natali benar-benar ketakutan. Ia merangkak cepat ke arah Anya dan memohon, "Kakak! Tolong aku! Ayah benar-benar akan membunuhku!"
Air mata membanjiri matanya saat ia mencoba meraih Anya. Air mata itu bukanlah air mata penyesalan, melainkan air mata karena ketakutan dan rasa sakit yang dialaminya akibat sikap Deny.
Aiden menghalangi begitu Natali mencoba mendekati Anya. Ia memanggil pengawalnya dan menyuruhnya menyeret Natali keluar.
"Kakak! Jangan… aku minta maaf! Tolong aku!" teriaknya, menangis dan meronta saat para pengawal menyeretnya keluar. Namun, tak seorang pun datang untuk menyelamatkannya.
Melihat Natali diseret dan dipaksa pergi, Deny panik. Ia panik, bukan karena takut putrinya mungkin salah, tetapi karena takut usahanya untuk memperbaiki hubungan dengan Aiden akan gagal, "Aiden, Anya dan Natali adalah anak-anakku. Mereka berdua anakku. Tidak masalah siapa yang kau pilih…"
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Anya. Tidak hanya menusuk, tetapi juga memutar luka itu, membuat luka menganga itu terendam darah. Aiden merasakan kesedihan Anya dan itu membuatnya semakin marah.
Senyum dingin dan sinis mengembang di bibirnya, "Anya bukan anak keluarga Tedjasukmana. Ia anak Diana Hutama."
Tubuh Deny menegang saat mendengar nama mantan istrinya keluar dari mulut Aiden. Ia menatap Anya, tetapi putrinya tidak membantah dan membelanya.
Deny mengepalkan giginya dan berkata, "Anya, pulanglah dengan Ayah!"
Anya tersentak mendengar permintaan tiba-tiba Deny. Tangannya meraih tangan Aiden dan menggenggamnya erat, "Ini rumahku. Rumahku adalah tempat Aiden berada…"
Aiden tersenyum tipis mendengar kata-kata Anya. Tatapannya melembut saat melihat Anya yang menggenggam tangannya erat dan menjawab ayahnya dengan tegas.
"Anya Tedjasukmana! Wanita macam apa kau ini, tinggal di rumah pria? Ibumu masih sakit. Aku tidak akan membiarkanmu sendirian tanpa pengawasan!" Deny sepertinya kehabisan cara untuk membuat Aiden memaafkannya, jadi sekarang ia mencoba memisahkan Anya dari Aiden.
Sebagai ayah, ia berhak membawa putrinya pulang. Ia akan memberi pelajaran berharga pada putrinya agar lain kali Anya tidak menentangnya seperti ini. Ia akan menghajar putrinya yang lancang itu!
Anya merasa panik dan ketakutan saat melihat sorot mata ayahnya. Ia tahu bahwa ayahnya sedang marah besar. Ia tahu bahwa begitu ia kembali ke rumah ayahnya, ayahnya tidak akan memperlakukannya dengan baik. Ditambah lagi, ada Mona di rumah ayahnya. Wanita itu sama jahatnya!
Tubuhnya tak sadar gemetar ketakutan dan air mata mulai menggenang di matanya. Cengkeramannya pada tangan Aiden semakin kuat. Ia benar-benar takut. Ia tidak mau ikut dengan ayahnya.
"Aiden…" gumam Anya sambil menatap Aiden dengan panik.