Percintaan anak sekolah dengan dibumbui masalah-masalah pribadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Andra
"Ra, muka lo asem banget dah, dari jam pelajaran tadi sampai pulang sekolah," Sella memecah kesunyian, suaranya sedikit khawatir. Ia dan Dela telah memperhatikan raut wajah Dara yang masam dan gelisah sejak tadi. Ada sesuatu yang jelas mengganjal di hati Dara.
Dara tersenyum singkat, sebuah senyuman yang tak mampu menyembunyikan kekhawatiran di matanya. "Nggak papa," jawabnya singkat, namun kedua temannya tahu itu hanya kamuflase.
"Kalian pulang dulu deh, gue ada sesuatu yang mau diurus," ujar Dara, suaranya terdengar sedikit terburu-buru.
Dela dan Sella mengangguk, mereka mengerti bahwa Dara sedang ada masalah dan ingin menghadapinya sendiri. Mereka meninggalkan area sekolah, meninggalkan Dara yang melangkah cepat menuju ruang guru.
Ruangan itu sudah sepi, hanya deru angin yang sesekali masuk melalui jendela yang terbuka. Dara dengan sigap mencari sesuatu di atas meja guru, gerakannya tampak tergesa-gesa. Ia mencari berkas, berkas yang berisi data pribadi seseorang yang membuatnya gelisah sejak tadi: Andra. Ketidakhadiran Andra di sekolah telah memicu rasa cemas yang begitu besar dalam dirinya.
"Yap, ketemu," Dara bergumam lirih, menemukan berkas yang ia cari. Di sana tertera nama Andra, tempat tanggal lahir, nomor telepon, alamat rumah, dan nama kedua orang tuanya. Informasi yang dibutuhkannya ada di tangan.
Keputusan telah diambil. "Nggak jauh-jauh amat lah, gue ke sana aja kali ya? Soalnya Andra udah banyak bantu gue, nggak papa gue ke sana aja," gumam Dara, membulatkan tekad untuk mengunjungi rumah Andra. Kekhawatirannya telah mengalahkan keraguannya. Ia harus memastikan keadaan Andra.
Dara bergegas keluar dari ruang guru, langkahnya lebih cepat dari biasanya. Ia mengeluarkan ponselnya, memeriksa kembali alamat Andra yang tertera di berkas yang ia pegang. Setelah memastikan alamat tersebut, ia segera mencari angkutan umum menuju rumah Andra. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Apakah Andra sakit? Atau terjadi sesuatu yang buruk padanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menambah rasa cemas yang telah menguasainya.
Sesampainya di alamat yang dituju, Dara merasa sedikit ragu. Rumah Andra terlihat megah dan luas, bergaya arsitektur klasik Eropa dengan sentuhan modern. Terlihat dari luar, bangunannya berwarna putih krem, terbuat dari material yang tampak kokoh dan mewah. Jendela-jendela besar dan tinggi membiarkan cahaya masuk dengan melimpah, menambah kesan lapang dan terang di dalam.
Pintu masuk utama yang besar dan megah menjadi pusat perhatian, diapit oleh pilar-pilar tinggi yang elegan dan kokoh. Halaman depan yang luas dihiasi paving stone yang tertata rapi, menciptakan kesan bersih dan teratur. Lampu-lampu taman yang tertanam di sekeliling halaman memancarkan cahaya lembut, menambah keindahan di malam hari. Secara keseluruhan, rumah itu memancarkan kesan kemewahan, keanggunan, dan kemegahan yang tak terbantahkan. Dara tertegun sejenak, kagum dengan kemegahan rumah ini, jauh berbeda dengan bayangannya tentang rumah Andra.
Ia mengatur napas sejenak, mencoba menenangkan debar jantungnya yang berpacu kencang. Dengan sedikit ragu, ia menekan bel yang berada di samping pagar tinggi yang membatasi rumah dengan jalan. Detak jantungnya semakin bergemuruh, menunggu respon dari dalam rumah mewah itu.
Pagar terbuka perlahan, menampakkan seorang pria paruh baya dengan seragam rapi dan wajah ramah. "Ada yang bisa saya bantu, Non?" tanya pria itu, suaranya lembut dan sopan.
Dara memperkenalkan diri, menjelaskan maksud kedatangannya dengan gugup. Ia menceritakan kekhawatirannya karena Andra tidak masuk sekolah hari ini. "Sebentar ya, Non. Bapak mau bilang dulu sama Nyonya," ucap pria paruh baya itu, kemudian mengeluarkan sebuah protofon dari sakunya dan berbicara sebentar.
Dara terlihat sedikit gugup, jari-jarinya meremas ujung bajunya sambil menunggu persetujuan dari penghuni rumah. Ia merasa sedikit tidak percaya diri berada di depan rumah semewah ini.
"Silahkan, Nona. Boleh masuk," ucap pria paruh baya itu setelah selesai berbicara melalui protofon.
Dara tersenyum sopan, mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya. Ia melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu, berharap bisa segera bertemu Andra dan mengetahui keadaannya. Kemegahan rumah itu kontras dengan kesederhanaan yang selama ini ia bayangkan tentang kehidupan Andra. Rasa penasaran dan kekhawatirannya bercampur aduk.
Dara mengikuti satpam tersebut, langkah kakinya tak mampu menyembunyikan kekagumannya. Rumah Andra benar-benar mengagumkan. Meskipun rumah Dara sendiri bisa dibilang mewah, kemegahan rumah Andra jauh melebihi apa yang pernah ia bayangkan. Arsitektur bangunan yang indah, taman yang terawat dengan sempurna, semuanya menunjukkan kemewahan yang tak terbantahkan.
Satpam itu mengetuk pintu utama. Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya yang sangat cantik dan anggun. Rambutnya yang terurai rapi, kulitnya yang putih bersih, dan senyumnya yang lembut membuat Dara merasa sedikit terpesona.
Dara tersenyum lembut, mencoba untuk tetap bersikap sopan dan tenang. "Selamat sore, Tante. Maaf, kedatangan saya menganggu waktu luang Tante," ujarnya dengan suara halus.
Wanita itu membalas senyum Dara dengan senyum yang sama ramahnya. "Tidak, Nak. Sama sekali tidak menganggu." Suaranya lembut dan menenangkan.
Dara tersenyum lega, kemudian memperkenalkan diri. "Saya Dara, Tante, teman satu bangkunya Andra."
"Oh, begitu," Wanita itu mengangguk, "Masuk saja ya, biar ngobrolnya lebih enak." Ia menggeser sedikit tubuhnya, memberi isyarat pada Dara untuk masuk.
Dara memasuki rumah mewah itu, langkahnya terasa sedikit kaku karena terpesona oleh kemewahan yang terpancar dari setiap sudut ruangan. Ia berjalan di belakang wanita itu, hati yang tadinya dipenuhi kekhawatiran kini bercampur dengan rasa ingin tahu yang besar terhadap kehidupan Andra di balik kemegahan rumah ini.
Mereka duduk di ruang tamu yang luas dan elegan. Dara masih merasa canggung, Wanita itu, tersenyum ramah. "Mbak, tolong panggilkan Andra, ya," ujarnya kepada seorang pembantu rumah tangga yang baru saja masuk.
"Nak Dara, kamu mau minum apa?" tanya wanita itu, suaranya lembut.
Wajah Dara masih menunjukkan sedikit kecanggungan. "Emm, nggak usah, Tante. Saya ke sini cuma mau memastikan, Andra baik-baik saja kan, Tante? Soalnya tadi Andra nggak berangkat sekolah," ujarnya, mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangannya.
Wanita itu tersenyum lembut. "Tuh, lihat aja. Anaknya kayaknya baru bangun." Ia menunjuk ke arah tangga yang menghubungkan lantai atas dan bawah.
Andra muncul di tangga, langkahnya malas-malasan, matanya masih setengah tertutup, rambutnya sedikit berantakan. Ia tampak baru saja bangun tidur.
Andra menghampiri ibunya, belum menyadari kehadiran Dara. "Ada apa, Mom? Panggil Andra?" tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
Ibu Andra tersenyum, "Ada teman kamu tuh, emang nggak lihat?"
Pandangan Andra tertuju pada Dara. Wajahnya langsung bersemu merah, seolah-olah ia baru menyadari kesalahan karena tidak menyadari kehadiran Dara. Ia segera berbalik, berlari kecil menuju tangga, kembali ke kamarnya sambil berteriak, "Mommy, nggak bilang kalau ada Dara!"
Ibu Andra, Ira Saraswati, tertawa kecil. "Lah, Andra kok malah lari sih!" ujarnya, suara tawanya terdengar riang. Ia tampak menikmati reaksi Andra yang malu dan salah tingkah. Kehadiran Dara telah memicu reaksi yang tak terduga dari Andra.
Dara menahan tawanya, melihat reaksi Andra yang begitu berbeda dari biasanya. Di sekolah, Andra selalu tenang dan pendiam, namun di rumah, ia tampak seperti anak kecil. "Maafkan anak Tante ya, Ra. Emang agak aneh kelakuannya," ucap Ira, suaranya terdengar lembut dan sedikit malu.
Dara tersenyum, mengangguk mengerti. "Iya, Tante. Lucu aja lihat Andra kayak gitu. Padahal kalau di sekolah beda banget," ujarnya, mengungkapkan kesan pertamanya tentang Andra.
Ira tampak tertarik dengan pembicaraan tentang Andra. "Oh, iya kah? Emang gimana perlakuan Andra kalau di sekolah? Dia bandel? Atau dia nakal sama kamu?" Ia penasaran dengan perbedaan sikap Andra di sekolah dan di rumah.
Dara menjelaskan, "Enggak, Tante. Andra baik banget sama aku. Dia juga nggak nakal sama sekali. Tapi Andra lebih ke pendiam aja sih, Tan." jelas Dara.
Ira tertawa kecil, terkejut mendengar penjelasan Dara. Ia tidak menyangka bahwa sikap anaknya begitu bertolak belakang di sekolah dan di rumah. "Andra itu kalau di rumah kelakuannya kayak anak kecil, nggak bisa diem. Kalau diem berarti dia lagi sakit," ujarnya, menjelaskan sifat anaknya yang sebenarnya.
Mereka berdua asyik berbincang, hingga tidak menyadari kehadiran Andra yang telah kembali. "Lagi ngomongin aku ya," ujar Andra, suaranya sedikit terdengar cemberut.
Ira tersenyum melihat Andra yang telah rapi berganti baju dan merapikan rambutnya. "Kenapa udah ganti baju aja? Sama rambut rapih banget," sindirnya, menunjukkan rasa geli melihat perubahan sikap Andra yang tiba-tiba.
Andra terlihat malu-malu. "Mom, udah diem," ucapnya dengan suara lirih.
Ira tertawa, kemudian mengusap rambut Andra. "Ya udah, kalian berdua ngobrol aja. Tante mau ke belakang." Ia meninggalkan Dara dan Andra berdua di ruang tamu.
Suasana canggung kembali menyelimuti mereka. Keheningan singkat terjadi, hanya suara detak jantung mereka yang terdengar. "Ra," Andra memecah kesunyian, memanggil Dara yang sedari tadi tampak terdiam.