“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Langit sore di bandara tampak mulai meredup ketika Aditya baru saja menyelesaikan penerbangan dalam negeri perdananya setelah sekian lama.
Tubuhnya masih mengenakan seragam pilot lengkap saat ia berjalan menuju ruang transit kru.
Di dalam benaknya, hanya ada satu hal yaitu pulang dan memeluk istrinya, Risa.
Ia membuka ponselnya hendak menelepon Risa, namun sebelum sempat menekan tombol, sebuah panggilan masuk dengan nomor asing.
“Ya, halo?” Aditya menjawab sambil berjalan santai.
Namun suara di seberang sana membuat langkahnya terhenti.
“Tuan Aditya kami butuh Anda tetap tenang. Istri anda Kemungkinan besar Risa telah diculik.”
Aditya membelalakkan matanya. Napasnya tercekat.
“A-a-a…pa? Apa maksud kamu?!” suaranya nyaris bergetar, dadanya bergemuruh. Jantungnya seperti ditarik keluar paksa dari dadanya.
“Kami menemukan mobil istri Anda di dekat supermarket. CCTV menunjukkan ia dibawa seseorang ke gang sempit. Kami sedang menyelidiki. Pak Stefanus sudah turun langsung, dan… kami punya dugaan pelakunya Elyas Leonardo.”
Aditya mengenal betul siapa Elyas yang merupakan anak dari pria yang menjebloskan Aditya ke lembah kehancuran dan membuat istrinya jungkir balik membela nama baik keluarga mereka.
Di mana Stefanus sekarang? Aku akan ke sana!”
“Dia sudah menunggu di Posko Darurat. Kami kirimkan koordinatnya.”
Aditya memutuskan sambungan dan tangannya bergetar saat ia meraih tas dan mulai berlari meninggalkan ruang transit.
Seorang kru memanggilnya, namun ia tak peduli dan yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu:
"Tolong Tuhan, jangan biarkan dia terluka. Jangan biarkan aku kehilangannya..."
Di sisi lain dimana di ruang bawah tanah tempat Risa ditahan
Ia berusaha tetap sadar dengan nafasnya terengah dan di perutnya, rasa nyeri datang seperti gelombang pasang.
Risa tahu tubuhnya sedang merespons tekanan yang ada di kandungannya.
"Mas Aditya, tolong aku.." gumam Risa.
Kamar pengap itu hanya diterangi lampu gantung tua yang menggantung rendah dan menciptakan bayangan panjang di dinding beton yang lembab.
Di sudut ruangan Risa terikat pada kursi besi berkarat.
Tangan dan kakinya terjerat erat, tubuhnya melemah, napasnya berat dan peluh membasahi dahinya yang memucat.
Cambukan demi cambukan mendarat di tubuhnya sampai ia terkulai lemas.
“Ini, untuk membuatmu tahu siapa yang paling berkuasa,” ucap Elyas sambil tertawa dingin.
Di tangannya ada sabuk kulit, ujungnya sudah mulai robek oleh amarah.
Risa menggigit bibirnya, menahan suara agar tidak terdengar lemah. Ia menolak memberi Elyas kepuasan itu.
“Kamu pikir bisa mempermalukan keluargaku di depan dunia?” Elyas mendesis, wajahnya penuh dendam.
“Ayahku dipenjara karena kamu dan suamimu! Aku akan pastikan kamu menyesalinya sebelum kamu mati pelan-pelan.”
Tubuh Risa terguncang, namun dari matanya, ia menatap Elyas tajam.
“Kamu tidak akan menang,” bisiknya lirih.
Sementara itu, Aditya berdiri di depan peta besar di Posko Darurat bersama Stefanus. Sorot matanya penuh ketegangan.
“Bagaimana? Apakah Risa sudah ditemukan?” tanyanya cemas, suaranya bergetar, hampir tak sanggup mengucapkannya.
Stefanus menunduk, lalu menggelengkan kepala pelan.
“Belum. Kami sudah telusuri semua rekaman CCTV di sekitar lokasi terakhir Risa. Mobilnya ditemukan tidak jauh dari gang kecil, dan ada rekaman seseorang membimbingnya ke arah gelap. Kemungkinan besar itu Elyas atau orang suruhannya.”
“Berarti dia masih hidup. Aku harus menemukannya, Stef.”
“Kami sudah bentuk tim pencari tapi Elyas sangat licik. Dia tidak tinggal di rumah atau tempat usaha. Kami curiga dia memakai salah satu properti keluarga mereka yang disita dan tidak pernah terdaftar atas namanya.”
“Tapi dengar, Dit… kamu harus siap untuk kemungkinan terburuk.”
Aditya mendongak dengan Matanya merah. Tapi jawabannya pasti, tegas
“Tidak. Aku tidak akan menerima kemungkinan terburuk. Risa sedang mengandung anakku. Aku tidak akan kehilangan keduanya.”
Stefanus mengangguk. Lalu meletakkan tangan di pundak Aditya.
“Kalau begitu, kita harus kerja sama. Kita akan temukan dia. Apa pun risikonya.”
Sementara itu di tempat lain dimana tubuh Risa gemetar, tak ada bagian tubuhnya yang tidak terasa nyeri.
Bekas cambukan, tendangan, dan pukulan menyatu menjadi rasa perih yang tak bisa dijelaskan.
Namun yang paling ia khawatirkan bukanlah dirinya sendiri. Ia memegangi perutnya tempat kecil kehidupan yang tengah ia perjuangkan.
"Ya Tuhan, selamatkan anakku." bisiknya lemah, napasnya tersendat.
Namun Elyas, sosok yang tak punya hati itu, hanya tertawa terbahak-bahak melihat Risa masih menyebut nama Tuhan.
Lelaki itu melangkah mendekat, lalu dengan keji mengangkat kakinya dan menginjak keras perut Risa.
“INI... untuk membuatmu kehilangan segalanya!” teriaknya penuh amarah dan gila kuasa.
Jeritan tertahan Risa terdengar di antara napasnya yang mulai kabur.
Dunia di sekelilingnya mulai memudar dengan tubuhnya lunglai, napasnya pelan, dan akhirnya ia tak sadarkan diri, tergeletak tak berdaya di lantai dingin berdebu.
"Bakar tempat ini sampai tak tersisa. Jangan biarkan siapa pun tahu dia pernah di sini.”
Anak buahnya mengangguk, mulai menyiramkan bensin ke penjuru bangunan tua yang hanya dihuni keheningan dan rasa sakit.
Sementara itu Stefanus dan Aditya berada di dalam mobil SUV hitam, memandangi layar GPS dan peta digital.
Stefanus membelokkan mobil ke gang kecil tak terjamah danmenekan tombol interkom pada rompinya.
“Unit 3, kalian temukan simbol elang yang aku maksud?”
“Saya temukan, Pak! Tercetak samar di tembok bata belakang gudang kosong. Ada sisa tapak ban besar di depan pintu.”
"Itu dia. Aku yakin, Elyas menyembunyikan Risa di tempat itu."
Tanpa menunggu waktu, mobil itu melaju kencang ke arah lokasi.
Di kejauhan asap mulai membumbung tinggi ke langit malam. Api telah mulai menjalar.
“Tidak!” teriak Aditya.
Stefanus menginjak gas, mengaktifkan sirene, dan berteriak ke radio, “Semua unit ke titik koordinat! Ada kebakaran! Kemungkinan target berada di dalam!”
Asap tebal memenuhi lorong tua itu. Lidah api mulai menjilati kayu dan dinding, membuat suhu di dalam ruangan semakin panas. Stefanus menendang pintu dengan bahunya, debu dan bara beterbangan ke udara.
“RISAAA!!” suara Aditya nyaring memecah kegaduhan api. Ia berlari, meski langkahnya terhuyung karena asap yang menusuk mata.
Dan di sanalah Risa terikat di sudut ruangan, tubuhnya berlumuran darah, pakaian robek tak karuan dan wajah pucat seperti tidak bernyawa. Perutnya yang hamil nyaris tak bergerak.
Nyawa yang ia perjuangkan tergantung pada detik-detik ini.
“RISAAAAA!” Aditya langsung berlari, menghampiri dan melepaskan ikatan yang menjerat pergelangan tangan istrinya.
Tangannya gemetar saat menyentuh tubuh Risa yang dingin.
“Risa… sayang… bangun… aku di sini. Aditya di sini…”
Tanpa berpikir panjang, Aditya mengangkat tubuh istrinya yang penuh luka dan darah ke dalam pelukannya, meski api mulai menyambar bagian belakang bajunya. Bahunya mulai melepuh, namun ia tak peduli.
"Aditya! Cepat! Jalan ini mulai ambruk!" Stefanus menjerit dari belakang, menyibak kobaran api dengan mantel tahan panas yang ia kenakan.
Dengan seluruh tenaga dan cinta yang tersisa, Aditya membopong tubuh Risa, melewati puing dan api, keluar dari neraka yang hampir menelan mereka.
Begitu berada di luar, petugas medis langsung menyambut mereka.
Aditya nyaris roboh, tubuhnya gemetar dan wajahnya penuh luka terbakar. Tapi pelukannya terhadap Risa tak ia lepaskan.
Paramedis memeriksa detak jantung janin dan langsung memberikan oksigen untuk Risa.
“Detaknya... ada! Janinnya masih hidup!” seru salah satu paramedis.
Air mata tumpah di wajah Aditya. Ia memeluk kepala Risa yang masih pingsan sambil berbisik,
“Aku di sini… kamu selamat… anak kita selamat…”
Stefanus berdiri di belakang, menggenggam erat pistolnya dan menatap ke arah api yang kini mulai dipadamkan.
“Elyas, kamu akan menyesal menyentuh wanita ini,” gumamnya dingin.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending