Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
•
Karina tidak bergerak, bahkan dirinya tidak berkedip. Ia melakukan sebisanya untuk mempertahankan barikadenya yang mulai goyah. Namun, perlahan tapi pasti, pertahanannya itu roboh juga.
Karina merasa seperti ada yang mengganjal di tenggorokannya, membuatnya merasa sedikit sesak. Perasaan sesak itu kemudian membesar, bertambah berat dua kali lipat hingga membuat tubuhnya merosot turun dari bangku mini-bar yang tinggi dan jatuh tepat di dada bidang milik Steve.
Sangat mudah bagi tangisannya untuk pecah di bawah tatapan dan ucapan Steve. Karina membiarkan dirinya menangis sampai ia rasanya tidak mengenali suara tangisan yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya mulai bergetar, seluruh perasaan yang campur aduk di dalam dadanya tumbah dalam bentuk isak tangis yang panjang, membuatnya kesulitan bernapas. Tangan Steve yang kokoh merangkul tubuhnya, memeluknya dengan erat dan mencoba menenangkannya. Bahan sutra dari baju tidur yang Steve kenakan sedikit membantu untuk meredam tangisan Karina yang tak kunjung reda.
Sepanjang hari, pikiran menggangu yang ada di dalam kepalanya terasa bagaikan segumpalan benang yang kusut. Dan Karina dengan susah payah berusaha membetulkan gumpalan itu, berusaha mencari ujung benang untuk memperbaikinya.
Tapi dalam prosesnya, tanpa Karina sadari, benang-benang yang saling bertautan tersebut bukannya terlepas malah menjadi semakin kusut hingga menjerat dirinya, melilit seluruh tubuhnya dan menyumbat tenggorokannya, menahan nafasnya, membuat Karina semakin terjebak. Dan saat ini, begitu mudah bagi Steve untuk menolongnya dan melepaskan helai-helai kusut itu, menariknya hingga gumpalan benang yang kusut kini perlahan terurai menjadi satu benang yang lurus.
Di antara tangisannya, Karina dapat merasakan tangan Steve yang kini sedang menepuk-nepuk punggungnya pelan, dagunya bertumpu pada puncak kepalanya. Karina sungguh menghargai bagaiman Steve tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya menawarkan kehadirannya sebagai penghibur. Dan itu sudah cukup untuk seseorang seperti Karina, yang tidak suka bergantung pada siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Apa yang tidak Karina sadari adalah bagaimana suara tangisannya yang tak henti itu kini meningkat tiga kali lipat. Mendadak, Steve mendengar derit pintu dari ujung koridor dan memutuskan untuk menghentikan suara tangisan Karina. Ibu mereka tidak boleh melihat keadaan Karina yang seperti ini.
“Hei, lihat aku,” Steve berbisik lembut, dia melepaskan pelukannya dan sedikit mundur untuk menangkupkan wajah Karina yang berlinang air mata di telapak tangannya. Dari sudut matanya, Steve dapat melihat ada bayangan dua orang yang mengintip dari koridor, tampaknya khawatir dengan suara tangisan yang terdengar. Steve dengan lembut dan pelan berbicara pada Karina, “Aku rasa ibu kita mendengar suara tangisanmu.”
Tangisan Karina seketika berhenti. Ia mencoba menggigit bibirnya yang gemetar dan mengangkat kedua tangannya untuk menyeka air mata yang terus mengalir di pipinya. “Be-benarkah? Kalau begitu haruskah aku–”
Steve langsung memotong ucapan Karina, kedua ibu jarinya mengusap pelan pipi Karina sambil tersenyum lembut. Karina menatapnya, masih dengan air mata yang terus mengalir. Mengapa Steve tersenyum selembut itu padanya ketika ibu mereka bahkan tidak bisa melihatnya?
Steve menggelengkan kepalanya dengan lembut, menarik wajah Karina mendekat hingga dahi mereka bertemu. “Tidak apa-apa, kamu tidak perlu melakukan apa pun, menangis saja sepuasnya. Aku yang akan mengurus sisanya.”
Pada awalnya, Karina tidak memahami apa yang Steve maksud dengan ‘mengurus sisanya’.
Ia dapat mendengar derap langkah kaki dari koridor, yang menandakan bahwa sebentar lagi akan ada saksi lain yang akan melihat momen kerapuhan dirinya. Dan bahkan sampai saat ini Karina masih belum bisa menghentikan air matanya yang terus berjatuhan, walaupun ia bersusah payah berusaha untuk menghentikannya.
Karina menunduk, menarik napas dengan gemetar, dan memberitahu dirinya sendiri untuk mempercayakan semuanya pada Steve. Walau pria di depannya ini terkadang sangat menyebalkan, tapi Karina tahu bahwa dia selalu bisa diandalkan.
Matanya bergetar, dengan bulu mata yang basah oleh air mata yang menempel di sudut-sudutnya. Air mata turun semakin deras di pipinya. Karina tidak dapat memikirkan apa yang akan Steve lakukan atau katakan pada ibu mereka saat melihat dirinya seperti ini, Karina hanya melakukan apa yang Steve katakan padanya, yaitu menangis sepuasnya. Mungkin di akhir semua ini, ia akan benar-benar merasa lebih baik.
Ia dapat merasakan hembusan napas Steve di bibirnya saat pria itu berbisik pelan, memberitahunya untuk tidak khawatir karena ibu mereka tidak bisa melihat wajahnya. Jari-jari Steve menangkap setiap tetesan air mata yang mengalir, mengusapnya pelan. Karina merasakan detak jantungnya yang berkecamuk perlahan menjadi tenang di dalam dadanya.
Karina menutup matanya, kini benar-benar membiarkan Steve mengurus sisanya. Namun, dirinya tidak menyangka bahwa cara yang Steve lakukan adalah dengan menempelkan bibir lembutnya pada bibir Karina, menelan semua tangisannya yang pecah.
Dan tentu saja, yang dilakuka Steve berhasil, walaupun itu membuat Karina membelalakkan matanya kaget, namun tangisannya perlahan mereda. Matanya yang membulat kaget perlahan terpejam, merasakan setiap sapuan bibir halus Steve pada bibirnya sendiri, membuat badai yang mengamuk di dalam dadanya berubah menjadi gerimis yang tenang.
Karina merasa sedikit malu dengan fakta bertapa mudah dirinya menjadi tenang hanya karena apa yang Steve lakukan saat ini. Bahu yang tadinya tegang dan gemetar kini berganti menjadi tenang, seiring dengan Steve yang menurunkan tangan dari wajah ke pinggangnya, mendorong Karina pelan hingga punggungnya menyentuh tepian meja bar.
Cengkeraman Steve pada pinggangnya terasa erat namun lembut, dan itu membuat Karina semakin tenggelam. Bibir keduanya yang bertemu terasa bagaikan ombak halus yang bertemu dengan tepian pantai. Steve memadamkan semua rasa sesak dan tangis Karina dengan ciumannya yang dalam, membuat Karina merasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang menari-nari di dalam perutnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Steve untuk membebaskannya dari semua ikatan yang menjerat dirinya, membuat Karina akhirnya dapat bernafas dengan lega. Guncangan dan badai yang bergejolak kini berganti menjadi hembusan angin yang lembut dan tenang. Nafas Karina yang tersendat-sendat akhirnya menemui ujungnya, dan dadanya kini dapat naik turun dengan tenang. Samar-samar, Karina dapat merasakan degup jantung Steve yang beraturan karena tubuh mereka yang saling berdempetan. Irama detak jantung itu juga lah yang membuat jantungnya sendiri berdetak dalam keselarasan yang sempurna.
Ketika Steve akhirnya menarik diri, Karina bahkan hampir tidak ingat bahwa dirinya tadi menangis sesegukan.
“Gimana? Apa kamu sudah merasa lebih tenang?” ada senyum di bibir Steve saat dia bertanya pada Karina, menyenggolkan hidungnya pada hidung Karina, sebuah gerakan yang terasa terlalu intim, namun anehnya disambut oleh dirinya dengan tatapan yang lembut.
Karina bergumam pelan, menjilat bibirnya sendiri, masih bisa merasakan sensasi ciuman dari Steve yang menggelitik kulitnya bagaikan listrik statis yang pelan. Kobaran api di dalam dadanya kini berubah menjadi percikan kunang-kunang yang indah. “Mmm, jauh lebih baik.”
Steve mengangguk sekali, dan mengintip ke belakang Karina. Bayangan dari dua orang yang mengintip dari koridor kini sudah tidak terlihat lagi. “Baguslah. Kurasa lebih baik kita kembali ke kamar dan tidur sekarang.”
Ketika Steve akhirnya melepaskan tangannya dari Karina, Karina berbalik dan hampir saja jatuh terduduk karena kakinya yang terasa lemas. Karina tiba-tiba lupa bagaimana caranya berjalan, ia merasa seperti balita yang sedang belajar menyeimbangkan tubuhnya untuk pertama kalinya. Sungguh memalukan betapa besar pengaruh Steve terhadap dirinya saat ini. Rasionalitasnya sama sekali tidak menyukai hal ini, namun hatinya malah merasakan yang sebaliknya. Jadi, mana yang harus ia akui, hati atau pikirannya? Karina tidak tahu mana yang harus dipercayainya.
Ketika Karina berpegangan pada meja bar dan berusaha berjalan keluar dari area dapur, Steve berbalik.. mengumpulkan gelas-gelas mereka dan mencucinya di wastafel. Karina tidak menyadari Steve yang sesekali melirik ke arahnya sambil tersenyum karena melihat ujung telingan Karina yang memerah, entah karena malu atau karena hal lain. Namun Steve tidak mengatakan apa pun, menahan komentar yang ada di kepalanya untuk dirinya sendiri. Sementara Karina kini sudah mencapai pintu dapur, ia berniat untuk tidak menunggu Steve.
“Sebenarnya,” Steve tiba-tiba bersuara. “Ada hal menarik yang aku temukan.”
Ucapan Steve itu membuat Karina berhenti berjalan, perlahan-lahan menoleh ke arah Steve dengan tatapan penuh tanya, menunggu pria itu melanjutkan kalimatnya.
Steve mengeringkan tangannya dan berjalan ke arah Karina. Dia menatap istrinya itu dengan senyum tipis, berjalan melewatinya menuju kamar tidur mereka, meninggalkan Karina yang tercengang di tempatnya.
Tanpa berhenti dan berbalik menatap Karina, Steve melanjutkan. “Wine nya terasa sangat manis di bibirmu.”
Karina merasa wajahnya memanas mendengar ucapan itu. Ia ingat pernah mengatakan hal yang sama pada Steve beberapa waktu yang lalu.
•
•