Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Pelarian ke pelabuhan
Malam itu angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin dan dingin yang menusuk tulang. Di kejauhan, suara klakson kapal barang sesekali terdengar, menambah suasana suram di pelabuhan timur yang remang-remang.
Surya, Raka, dan Iman berlari sekuat tenaga di jalan setapak yang basah, napas mereka terengah-engah. Koper berisi uang yang mereka bawa terasa begitu berat, tapi Surya tak bisa berhenti. Mereka tahu Boris tidak akan tinggal diam.
“Cepat! Ke mobil!” Surya berteriak sambil menunjuk sebuah mobil hitam yang terparkir di ujung jalan pelabuhan.
Raka langsung membuka pintu depan sementara Iman melempar koper ke kursi belakang. Surya masuk ke kursi pengemudi, tangannya gemetar tapi matanya menyala penuh amarah.
Begitu mesin menyala, suara tembakan kembali terdengar di belakang mereka.
DORRR! DORRRR!
Kaca belakang mobil pecah, serpihannya beterbangan mengenai wajah Iman.
“Bos! Mereka sudah dekat!” teriak Iman sambil menunduk.
Surya menginjak gas sekuat-kuatnya. Mobil melaju kencang di jalan sempit pelabuhan, ban belakang memercikkan air genangan ke segala arah.
Di belakang mereka, dua mobil hitam lain muncul, lampu depannya menyala garang. Boris ada di mobil depan, wajahnya tetap tenang walau matanya memancarkan kemarahan yang nyaris membakar malam itu.
“Kejar mereka. Jangan kasih keluar dari pelabuhan,” perintah Boris datar.
Mobil-mobil itu melaju gila-gilaan. Klakson bersahut-sahutan, suara mesin meraung memecah kesunyian malam.
Jalan pelabuhan timur dipenuhi kontainer besar yang terparkir sembarangan. Lampu jalan sebagian mati, membuat suasana semakin mencekam. Surya berusaha mengemudi secepat mungkin, tapi jalannya licin karena hujan siang tadi.
“Bos, hati-hati! Jalan depan sempit!” Raka berteriak, melihat ada dua truk besar terparkir hampir menutup jalan.
Surya menggertakkan gigi, memutar setir tajam. Mobil mereka nyaris terguling, tapi berhasil melewati celah sempit di antara dua truk itu.
Mobil Boris mengejar di belakang, tidak kalah cepat. Suara tembakan kembali memecahkan udara.
DORRR! DORRR!
Peluru menghantam bodi mobil Surya, membuat Iman menjerit ketakutan.
“Bos! Ban kita bisa pecah kalau kena peluru!”
Surya tidak menjawab. Matanya fokus ke depan, tapi di dalam hatinya, amarah berkecamuk. Boris, orang yang selama ini jadi tangan kanan Pak Arman, kini berbalik menyerang dirinya. Surya tahu, ini bukan lagi soal bisnis. Ini soal harga diri dan nyawa.
Di ujung pelabuhan, ada sebuah jembatan tua yang menghubungkan jalan utama dengan gudang penyimpanan barang. Jembatan itu sempit, di bawahnya mengalir sungai kotor yang menuju ke laut.
Surya mengarahkan mobil ke jembatan itu. Ban mobil berdecit keras saat melewati kayu-kayu tua jembatan.
“Kalau jembatan ini ambruk, kita tamat, Bos!” teriak Raka, wajahnya pucat.
Tapi Surya tak punya pilihan lain. Mobil melaju di atas jembatan reyot itu, berderak-derak setiap kali roda menghantam papan kayu.
Mobil Boris mengikuti, suara mesinnya meraung di belakang.
Surya sempat menoleh ke spion, melihat wajah Boris yang tetap dingin seperti patung.
“Orang itu… dia nggak pernah takut mati rupanya,” gumam Surya dengan rahang mengeras.
Setelah melewati jembatan, Surya menghentikan mobil di dekat gudang tua yang tampak sudah lama tak dipakai. Catnya mengelupas, pintunya berkarat, dan sebagian atapnya bolong.
“Kita sembunyi di sini sebentar. Tunggu mereka lewat, lalu kita kabur,” ujar Surya cepat.
Mereka bertiga berlari masuk ke gudang. Bau debu dan tikus mati menyeruak, tapi mereka tak peduli.
Di luar, suara mobil Boris terdengar mendekat. Lampu depannya menyapu area gudang, membuat bayangan panjang di dinding.
“Bos… mereka turun dari mobil,” bisik Iman ketakutan.
Surya mengangkat pistolnya, wajahnya dingin. “Kalau mereka masuk, kita tembak sampai habis.”
Raka mengangguk, memeriksa peluru di senjatanya yang tinggal separuh.
Pintu gudang berderit pelan. Seorang anak buah Boris mendorongnya perlahan, mencoba mengintip ke dalam.
DORRR! Surya menembak tanpa pikir panjang. Orang itu terjatuh di ambang pintu, membuat dua rekannya langsung membalas tembakan.
Boris sendiri melangkah pelan dari kegelapan. Suaranya berat tapi tenang.
“Surya… keluar. Jangan bikin aku habisin semua peluru buat kamu.”
Surya berteriak balik, “Kamu sudah ambil jalur pelabuhan dari aku, sekarang mau ambil nyawa juga? Datanglah kalau berani!”
Boris tidak menjawab. Ia memberi kode, dan anak buahnya mulai mengepung gudang dari dua sisi.
Hening sesaat setelah Boris memberi kode. Angin malam berhembus melalui celah-celah dinding gudang yang bolong, membawa bau laut yang amis bercampur bau mesiu dari peluru yang sudah dilepaskan.
Di dalam gudang, Surya, Raka, dan Iman menahan napas. Mereka tahu lawan di luar sana bukan orang sembarangan. Boris dikenal sebagai tangan kanan Pak Arman yang paling ditakuti. Sekali dia turun tangan, jarang ada yang bisa lolos hidup-hidup.
Surya berbisik pelan ke Raka dan Iman.
“Dengar, kita nggak bisa cuma nunggu mati di sini. Kalau mereka masuk, tembak di kepala. Jangan kasih mereka kesempatan nembak balik.”
Raka mengangguk, wajahnya penuh keringat. Iman memeriksa magasin pistolnya, peluru tinggal enam butir.
Di luar, suara langkah kaki semakin mendekat. Boris memimpin dua belas orang bersenjata lengkap. Mereka bergerak seperti bayangan, menyebar mengelilingi gudang.
“Surya… ini kesempatan terakhir. Keluar dan serahkan diri. Kalau tidak, kami masuk,” suara Boris terdengar berat tapi jelas.
Surya menjawab dengan teriakan penuh amarah, “Jangan mimpi, Boris! Aku nggak bakal nyerah sama pengkhianat!”
Boris tidak berbicara lagi. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat kepada anak buahnya.
Dan tiba-tiba
DORRRRR! DORRRRRR!
Peluru pertama ditembakkan ke dalam gudang. Kaca jendela pecah berhamburan, pintu besi berkarat berlubang-lubang. Anak buah Boris menembak bertubi-tubi, suara tembakan memekakkan telinga.
Surya langsung membalas.
DORRR! DORRRRR!
Peluru dari pistolnya menghantam salah satu penyerang yang mencoba masuk lewat pintu samping. Orang itu jatuh tersungkur, senjatanya terlepas, tapi yang lain terus maju.
Raka ikut menembak ke arah jendela, memecahkan lampu mobil Boris yang menyorot ke dalam gudang. Seketika cahaya padam, membuat suasana jadi semakin gelap.
“Bos, kita dikepung dari dua sisi!” teriak Iman sambil menembakkan pistolnya ke arah pintu depan.
Surya menggertakkan gigi. “Kalau begitu, jangan kasih mereka lewat pintu belakang. Bertahan di sini!”
Surya langsung membalas.
DORRR! DORRRRR!
Peluru dari pistolnya menghantam salah satu penyerang yang mencoba masuk lewat pintu samping. Orang itu jatuh tersungkur, senjatanya terlepas, tapi yang lain terus maju.
Raka ikut menembak ke arah jendela, memecahkan lampu mobil Boris yang menyorot ke dalam gudang. Seketika cahaya padam, membuat suasana jadi semakin gelap.
“Bos, kita dikepung dari dua sisi!” teriak Iman sambil menembakkan pistolnya ke arah pintu depan.
Surya menggertakkan gigi. “Kalau begitu, jangan kasih mereka lewat pintu belakang. Bertahan di sini!”
Peluru Surya makin menipis. Raka sudah terkena tembakan di bahu, darahnya membasahi lantai gudang.
“Bos… peluru tinggal dua butir,” suara Iman terdengar putus asa.
Surya mengumpat kasar. “Bertahan! Kita harus cari jalan keluar dari sini!”
Boris terus maju perlahan. Tatapannya dingin, seperti pemburu yang tahu mangsanya sudah tak punya tempat lari.
“Aku kasih satu kesempatan lagi, Surya. Serahkan dirimu. Mungkin aku masih bisa kasih mati yang cepat buatmu,” ucap Boris datar.
Surya membalas dengan tawa sinis, meski keringat dan darah menetes di wajahnya. “Kalau mau bunuh aku… datang sini sendiri, Boris! Jangan cuma ngumpet di belakang anak buahmu!”