sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 29
Arga dan Irma merasa kurang diperhatikan oleh Ibu Mega. Ibu Mega lebih perhatian pada Indra dan Risma. Mereka berdua seolah mengalami nasib yang sama dan menyebabkan mempunyai kesamaan karakter, ya karater tertindas sih.
“Tapi kamu tidak boleh menghindar seperti ini. Setidaknya beritahu aku,” ucap Arga. Pandangannya sendu melihat Irma.Hamil oleh lelaki tak bertanggungjawab badannya kurus kurang makan.
“Iya, Kak. Aku takut sekali, Kak. Makanya aku nggak bilang.”
“Terus selama ini kamu dapat makan dari mana?”
Irma terdiam. “Aku kerja apa saja, Kak. Memungut sampah, jaga warung, jualan gorengan, Kak.”
Hampir saja Arga meneteskan air mata mendengarkan hal itu. Adik bungsunya yang dulu diperlakukan bak tuan putri di rumah, kini harus hidup menderita hanya karena seorang lelaki.
“Jangan mencari uang lagi. Fokus saja pada kehamilanmu,” ucap Arga sambil membelai lembut rambut Irma.
“Aku tidak mau menyusahkan banyak orang, Kak.”
“Aku kakakmu, bukan orang lain. Aku marah kalau kamu tidak memberitahuku.”
Irma menggenggam tangan Arga erat. “Terima kasih, Kak. Kak Melati apa kabar, Kak?”
Arga melepas genggaman tangan Irma. Dadanya terasa sesak. Selama tiga bulan ia berusaha melupakan sosok Melati, namun justru semakin lekat dalam ingatan.
“Kakak sudah cerai.”
Irma tampak menarik napas berat. “Sayang sekali.”
Arga menaikkan alis. “Kenapa? Bukankah kamu membenci kakak iparmu itu?”
Irma meremas ujung gaunnya. “Dulu aku membencinya, Kak. Tapi setelah satu bulan terakhir, aku banyak merenung. Apa yang dikatakan Kak Melati banyak benarnya, Kak.”
Arga menghela napas berat. “Ibu menyuruhku segera menikahi Mawar.”
Irma tersenyum getir. “Kakak memang terlalu takut sama Ibu, beda sama Kak Indra.”
“Aku penyebab Ayah meninggal, Irma" ucap embun putih menggenang dipelupuk mats " Aku nggak mau Ibu benci sama aku.”
“Itu takdir, Kak,” ucap Irma pelan. “Jangan terus menyalahkan diri sendiri. Lagipula waktu itu Kakak juga terluka.”
“Kamu memaafkanku, Irma?”
“Awalnya aku juga benci sama Kakak. Tapi setelah kupikir berulang-ulang, emang bisa apa anak sepuluh tahun menyelamatkan orang tua? Aku berdamai dengan keadaan, Kak. Kalau tidak begitu, rasanya aku mau bunuh diri saja.”
Arga kembali memegang tangan Irma. “Jangan pernah lakukan itu, Ma.”
“Tidak, Kak. Kak Arga juga harus semangat, ya. Aku harap Kakak jangan ikut membenci Kak Melati.”
“Aku tidak pernah benci, Irma" Ucap arga dengan nada berat "Sekarang malah terus teringat. Andaikan tidak takut mengecewakan Ibu, Kakak akan cari segala cara untuk kembali bersama Melati.”
Suasana mendadak hening dengan pemikirannya masing-masing.
“Kakak tahu dari mana keberadaanku?” tanya Irma.
“Dari temanmu, Sinta.”
“Sinta?” gumam Irma.
“Kenapa?”
“Selama ini aku selalu berselisih sama Sinta, Kak.”
“Lho, kok dia bisa tahu keberadaanmu?”
“Di mana dia sekarang, Kak?” tanya Irma lagi.tidak menjawab pertanyaan arga
Arga baru sadar, Sinta memang hanya menunjukkan kontrakan Irma, tapi tidak ikut masuk.
“Astaga, aku lupa mengajaknya masuk.”
“Aku heran, Kak. Kenapa Sinta bisa tahu tempatku? Apakah dia mengawasiku?”
“Kakak tidak tahu. Tapi sepertinya dia orang baik,” kata Arga.
Irma menaikkan alisnya. “Kenapa bisa menilai begitu?”
“Berkali-kali dia mengingatkanku agar tidak memarahimu,” jawab Arga.
Irma hanya menghela napas berat. Saat dia senang, teman-temannya banyak mendekat. Namun ketika ia terpuruk, tak ada satu pun yang membela. Sinta adalah orang di luar dugaan — diam-diam mengamati, tahu keberadaan Irma, dan yang paling penting, memohon pada Arga agar tidak memarahinya.
Arga keluar dari kontrakan mencari keberadaan Sinta, namun tak menemukannya.
“Anak itu sudah nggak ada,”Kata arga
“Dia memang begitu,” jawab Irma.
“Kenapa?”
“Sok misterius, Kak.”
Waktu terus berlalu. Langit sudah gelap, tapi kota ini tak pernah mati. Selalu saja ada aktivitas orang-orang yang mencari nafkah
Arga meninggakan Irma, dan memberikan beberapa lembar uang dan berpesan agar menguhubungi dirinya setelah Irma membeli ponsel, ponsel Irma sudah di jual untutk biaya hidup,
..
Melati terpaku menatap gelas kopi yang sudah dingin di atas meja. Kopi itu ia buat sejam lalu, tapi belum juga disentuh.
“Besok mungkin akan menjadi hari-hari burukku,” gumamnya lirih.
“Kenapa juga aku bisa lengah sampai menabrak orang itu?”
Ia memejamkan mata sebentar. “Dan kenapa juga dia bekerja di tempat Mawar? Sudah pasti Mawar dan Sumi akan bekerja sama untuk menyakitiku nanti.”
Berbagai pikiran terus bergulung di kepalanya, menyesakkan dada. Lamunannya buyar ketika terdengar ketukan di pintu. Melati bangkit, melangkah pelan, lalu membuka pintu.
Tampak Laras sudah berdiri tegak di depan rumah, senyum khasnya menampilkan gigi gingsul di pinggir yang selalu membuatnya terlihat manis—mirip Revalina S. Temat, pikir Melati sekilas.
“Maaf tadi ponselku lowbat,” ucap Laras sambil melangkah masuk.
“Tidak apa-apa,” jawab Melati datar.
“Gimana, besok kamu sudah mulai kerja?” tanya Laras antusias.
Melati menghela napas panjang. “Kamu tahu Bu Mawar?” tanyanya, alih-alih menjawab.
Laras mengerutkan dahi. “Kamu kenal Ibu Mawar?”
Melati menyilangkan tangan di dada. “Dia janda yang membuat aku jadi janda.”
Laras spontan menutup mulutnya. “Astaga! Jadi Bu Mawar itu pelakor?”
“Ya, begitulah. Pelakor yang direstui keluarga suamiku,” jawab Melati, nadanya entah antara marah atau sinis.
“Tapi dia baik, loh, di kampus. Suka kasih aku uang lebih,” kata Laras, mencoba menenangkan. “Cuma, ya, ngasihnya di depan banyak orang.”
“Baik sekali, kan? Saking baiknya, Mas Arga sampai tergila-gila,” sahut Melati ketus.
Laras merasa tidak enak karena sudah memuji mawar di depan melati.
“Tapi aku sering lihat cowok ganteng jemput dia di kampus. Bukan suamimu, Mel. Kayaknya mereka pacaran.”
“Itu bukan urusanku,” jawab Melati dingin. “Sebenarnya aku malas kerja di tempat kamu karena ada dia. Tapi tadi aku menabrak mobil orang.”
Laras langsung memegang tangan Melati. “Kamu nggak apa-apa, Mel?”
“Telat,” jawab Melati datar. “Harusnya dari tadi dong perhatiannya.”
Laras terkekeh kecil. “Ih, gitu aja marah.”
“Kamu tahu Panji Sukmana?” tanya Melati tiba-tiba.
Laras mengerutkan dahi, mencoba mengingat. “Nggak tahu. Kenapa emang?”
“Aku menabrak mobilnya. Dia minta ganti rugi seratus juta.”
“Astaga! Itu bukan ganti rugi, itu pemerasan!” seru Laras.
“Mobilnya Mercedes, baru keluar dari dealer,” jelas Melati pelan.
“Yah... itu sih apes,” gumam Laras akhirnya.
Melati menatapnya heran, tak menyangka perubahan pemikiran laras yang begitu cepat awalnya bilang pemerasan setelah tahu Mercedes baru langsung bilang apes.
“Terus gimana? Kamu punya uang segitu?”
“Dari mana? Untuk makan saja aku bingung Ras.”
“Terus dia nggak minta kamu jadi istrinya, atau... ginjal kamu?”
Melati melotot. “Kamu senang banget aku kehilangan ginjal, ya?”
“Bukan gitu, Mel! Aku hanya khawatir sama kamu.”
“Dia nggak minta ginjalku, juga nggak mau aku jadi istrinya. Katanya, aku bukan seleranya.” Nada Melati meninggi, mengingat wajah lelaki itu—tampan, berwibawa, tapi menyebalkan.
“Lalu, gimana kamu ganti ruginya?” tanya Laras hati-hati.
“Dia menyuruhku kerja di Universitas Mekar Buana. Artinya, aku harus ketemu Mawar setiap hari.”
Laras menghela napas panjang. “Yah, sepertinya nggak ada jalan lain. Andai dia minta ginjalku, aku mungkin akan kasih,” ujarnya dramatis.
Melati menatapnya tajam. “Kalau aku yang minta ginjal kamu, gimana?”