"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 Mantu Rahasia
Melihat segerombolan orang nyamperin dengan muka garang, Rama nggak banyak mikir. Tanpa basa-basi, dia langsung bergerak.
Bam! Bam! Bam!
Gerakan Rama cepet banget, kayak kilat nyambar. Dalam sekejap, semua orang udah tumbang satu per satu ke tanah.
Bahkan Pak Sodik sendiri telat bereaksi. Anak buahnya udah ambruk semua, pada meringis kesakitan sambil ngelus-ngelus badan.
“Kamu... kamu pernah belajar silat ya?” tanya Pak Sodik, wajahnya udah panik setengah mati.
Rama cuma senyum tipis. “Paman, aku lupa bilang... aku juga punya masalah sama emosi.”
Dia maju pelan, terus nepak bahu Pak Sodik.
Tepukan itu kelihatannya biasa aja, tapi si Sodik langsung “Bruk!” jatuh berlutut ke tanah, lemes kayak habis disetrum.
“Mau ngapain kamu?” suara Sodik gemetar. Jelas-jelas dia ketakutan.
Rama menatapnya dari atas, senyumnya agak nyebelin. “Paman, pernah denger nggak, ada jurus bela diri yang bisa bikin orang mati tanpa ninggalin luka sama sekali? Bahkan dokter forensik paling jago pun nggak bakal bisa nemu penyebab kematiannya.”
Rama menyeringai, “Mau coba, Paman?”
“Jangan! Jangan! Aku nggak mau, beneran nggak mau!” Sodik langsung pucat pasi. Dia nggak nyangka, menantu yang selama ini diremehin ternyata punya kemampuan segila ini.
“Aku sih udah nebak gitu.”
Sodik buru-buru berubah sikap. “Rama, kita ini keluarga. Tadi aku memang agak keras kepala, maaf ya. Asal kamu maafin aku, mau minta tolong apa juga aku siap bantu.”
Rama mengangguk santai. “Nggak usah sok kerja sama. Aku tetap bakal ngehajar kamu kalau perlu.”
Mendengar itu, Sodik langsung gugup. “Siap! Siap! Aku pasti bantu sebisa mungkin!”
“Bagus.” Rama nyengir. “Sekarang juga, kirim orang buat beliin beberapa barang. Buku pengobatan, jarum akupuntur, buku-buku bela diri, sama beliin Buku Petunjuk sama Push Back Diagram juga.”
Sodik langsung mikir keras. “Kalau jarum sama kitab, masih gampang. Tapi buku bela diri… susah cari sekarang.”
Rama nyipitkan mata. “Terserah mau cari di mana. Pokoknya kalau sampe nggak dapet, siap-siap aja aku patahin tulang kamu satu-satu.”
Sodik langsung kecut. “Baik… aku usahain semaksimal mungkin.”
“Bagus. Sekarang, silakan angkat kaki, Paman.”
Rama tersenyum santai.
Sodik buru-buru berdiri. Dia tendang satu-satu anak buahnya yang masih meringkuk. “Hei, bangun! Dasar sampah nggak berguna! Ayo cepat, kita disuruh belanja!”
Nggak lama setelah itu, Sodik pergi bareng anak buahnya yang masih pincang-pincang. Rama pun balik ke kamar Kakek, kali ini bisa duduk santai. Soalnya si paman lagi sibuk beli barang-barang yang dia minta tadi.
Waktu terus berjalan. Langit mulai gelap, dan akhirnya Rama melihat Sodik datang lagi.
Tapi kali ini beda.
Sodik datang bawa lebih dari dua puluh orang, masing-masing pegang pisau panjang yang mengilap. Di antara mereka, ada juga yang bawa kotak besar isinya buku, jarum, dan barang-barang lain yang tadi Rama minta.
Rama berdiri, tangan nyilang di dada. Wajahnya tenang, nggak kelihatan takut sedikit pun.
"Paman, ini kan cuma nganter barang. Kenapa bawa pasukan segala?” tanya Rama dengan nada santai, tapi matanya waspada.
Kalau Rama yang dulu, mungkin udah lari terbirit-birit.
Tapi sekarang? Rama udah bukan bocah kemarin sore lagi.
Sodik menyeringai sinis. “Dasar bocah kurang ajar! Berani-beraninya kamu ngelawan Pamanmu sendiri. Malam ini, kamu bakal mati di Vila ini juga!”
Dia menendang kotak di depan kaki Rama. “Ini barang-barangmu. Tapi tenang aja, nanti habis kamu mati, paman bakal bakar semuanya buat kamu di alam baka!”
Rama senyum santai. “Nggak usah repot-repot, Paman. Aku lebih suka barang-barangnya tetap di dunia... dan kamu juga tetap hidup, supaya bisa serahin semuanya ke aku dengan sopan.”
Sodik meludah ke tanah. “Ngimpi! Semuanya, serang dia! Bunuh sekarang juga! Aku yang tanggung jawab, dan uangnya bakal langsung cair!”
“BUNUH DIA!”
“TANGKAP!”
Dalam hitungan detik, lebih dari dua puluh orang langsung menyerbu Rama. Suara langkah dan teriakan memenuhi vila itu.
Kali ini beda dari yang tadi siang. Jumlah mereka lebih banyak, dan semuanya bawa senjata tajam.
Rama pun langsung pasang kuda-kuda. Nggak ada waktu buat santai. Tatapannya jadi tajam, setiap gerakannya lincah dan penuh konsentrasi.
Satu demi satu, serangan datang menghujani, tapi Rama selalu bisa menghindar dengan gerakan cepat-cepat banget, bahkan kayaknya sepuluh kali lebih cepat dari manusia biasa.
Di matanya, gerakan lawan kelihatan lambat semua, kayak slow motion.
Setiap kali ada celah, Rama langsung kasih serangan balik yang akurat dan mematikan. Tendangan, pukulan, sampai hantaman siku semuanya kena tepat sasaran.
Beberapa detik berlalu, dan sudah lebih dari separuh orang itu tumbang. Meringis, terkapar, atau nyaris nggak bisa berdiri lagi.
Di tengah perkelahian, Rama berpikir dalam hati: "Kalau aku udah kuasai jurus-jurus bela diri beneran, mungkin mereka semua bisa roboh dalam satu serangan."
Meskipun begitu, kemampuan Rama sekarang aja udah bikin semua orang melongo.
Di mata Sodik, Rama udah kayak bukan manusia lagi. Lebih mirip dewa perang turun ke bumi.
Dua puluh orang lebih, bawa senjata tajam, nyerang bareng-bareng... tapi nggak ada satu pun yang bisa nyentuh Rama.
Sebaliknya, Rama malah ngejatuhin mereka satu per satu dengan santai.
Sodik berdiri gemetaran. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. Dia bener-bener nyesel berat.
“Gila… aku harusnya nggak nyuruh orang buat habisin dia. Ini bukan orang biasa… ini monster!”
Terjebak dalam situasi kacau, Sodik benar-benar nggak punya waktu buat mikir panjang. Dalam sekejap, semua anak buahnya udah ambruk kayak dominos jatuh beruntun.
Rama menatapnya sambil nyengir. “Gimana, Paman? Aku kasih kesempatan deh. Mau coba panggil bala bantuan lagi?”
Wajah Sodik pucat pasi. Seluruh tubuhnya gemetar. “Rama… aku salah. Sumpah, aku sadar kali ini bener-bener salah. Aku bakal sujud, aku mohon… tolong lepaskan aku…”
Sodik langsung jongkok, siap-siap sujud. Tanpa malu, tanpa harga diri. Udah mentok.
Dia tahu sekarang, menantu satu ini bukan orang biasa. Rama udah di level lain. Jelas-jelas bukan tipe orang yang bisa dia kendalikan.
Rama menghela napas, nada suaranya santai tapi menusuk. “Paman, ngapain sih repot-repot? Udah tahu sakit, kok nyari masalah lagi? Ayo, berdiri.”
Dengan santai, Rama bantu Sodik berdiri. Tapi baru juga berdiri, PLAK! sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Sodik.
Darah langsung muncrat dari mulutnya, gigi copot satu. Dia terhuyung-huyung, belum sempat ngomong, Rama sudah nanya lagi dengan senyum ramah.
"Paman, sakit nggak?”
Pak Sodik memaksakan senyum, darah masih ngucur. “Enggak… enggak sakit, cuma... kaget aja.”
Rama ngangguk. “Oh, yaudah.”
PLAK! Tamparan kedua mendarat tanpa ampun di pipi satunya.
Sodik langsung oleng, hampir jatuh. Kepalanya berdenging, pandangan berputar.
Dalam hati, Rama sadar. Ngadepin orang kayak Sodik nggak bisa pakai logika. Harus pakai bahasa yang dia ngerti: rasa sakit.
“Paman, denger ya.” Nada suara Rama berubah dingin. “Urusan Paman sama ayah-ibu mertuaku, silakan aja. Aku nggak mau ikut campur. Tapi, kalau Paman nggak bisa hormatin aku dan istriku, Ayu… aku cuma butuh beberapa detik buat ngelenyapin Paman. Ngerti?”
Sodik cepat-cepat angguk, mukanya tegang. “Ngerti… ngerti banget.”
“Satu lagi,” lanjut Rama. “Aku bakal tinggal di Vila beberapa hari. Jangan ganggu kecuali penting banget.”
“Silakan… silakan banget. Rumah ini rumah kamu sekarang, Rama. Mau minta apa juga tinggal bilang!”
Rama mengibaskan tangan, malas. “Udah, pergi sana. Bawa orang-orangmu sekalian. Bikin berantakan aja.”
Pak Sodik langsung kabur, kayak anjing abis dikejar. Keringatnya ngucur deras, mukanya bonyok, tapi hatinya lega karena masih hidup.
Rama berdiri di tengah ruangan, melihat punggung Sodik yang menjauh dengan rasa puas.
Iya, punya kekuatan itu enak. Bisa bikin dunia tunduk tanpa perlu banyak bicara.
Sementara itu, di ruang tamu…
Sodik baru sampai, mukanya babak belur, langkahnya pincang.
“Ayah, kenapa? Siapa yang mukulin Ayah?” tanya seorang gadis muda ber- rok mini. Cantik, matanya bening, tapi wajahnya sekarang penuh khawatir.
Gadis itu adalah Juli.
“Nggak papa… jatuh tadi,” jawab Sodik cepat-cepat.
Juli mengerutkan dahi. “Tapi darahnya banyak banget…”
“Ayah bilang jatuh, ya udah percaya aja! Nggak penting. Yang penting, kakak iparmu udah datang. Dia sekarang di kamar sama kakekmu, dan bakal tinggal di sini beberapa hari.”
“Terus?”
“Kamu ikut pindah ke sana juga. Bantu rawat kakekmu, dan bantu apapun yang Rama butuhkan. Jangan cuekin dia.”
Juli makin bingung. “Lho, ini nggak kayak Ayah biasanya…”
Sodik langsung menghela napas berat. “Aku sadar, menantu itu datang buat jaga Kakek. Masa aku yang anak kandung malah nggak ngapa-ngapain? Dengerin Ayah. Ini juga kesempatan buat kamu kenal lebih dekat sama Rama. Kita ini keluarga, jangan saling asing.”
Dia melambaikan tangan. “Udah, sana. Sekarang.”
Juli mengangguk pelan. Wajahnya bingung, tapi dia nggak berani membantah. Dalam hati, dia bertanya-tanya, Siapa sebenarnya pria bernama Rama ini, sampai Ayah tunduk begitu?